“Syiar agama Rasul tidak bisa dimulai dengan menyakiti perasaan pemeluk keyakinan lain.”
Kalimat itu diucapkan Sunan Kudus, Panglima Perang Demak, sambil menatap satu demi satu senapati di hadapannya. Ia tengah menjelaskan perihal rencana Demak mengirim pasukan dan jung perang ke dua jurusan sekaligus, yakni Brang Kulon (Jawa belahan barat) dan Brang Wetan (timur).
Menurut warta telik sandi, ada kelompok yang akan mengekor pasukan Demak dalam kesempatan itu untuk sekaligus menyerang pemeluk keyakinan lain terutama di Tuban dan Majapahit. Karenanya, Sunan Kudus merasa perlu mengingatkan bahwa tujuan Demak menggempur kali ini adalah menyatukan Nusantara. Penyatuan tersebut diperlukan demi menghalau Portugis yang mulai mengukuhkan pengaruhnya di kawasan sekitar.
Tak pelak penjelasan ini membuat Senapati Walungan gerah. Ia yang paling bersemangat menghajar para penganut ajaran kafir. Baginya, tidak ada yang berhak tinggal di bumi Allah selain saudara seiman. Apalagi Ki Gede Basir, penghulu agama Rasul di tanah Prawata, telah meyakinkannya untuk mengikis habis ajaran Siwa Sogata, kemudian mendukung Raden Mukmin sebagai ahli waris kekuasaan Demak, dan pada akhirnya mengendalikan takhtanya.
Demikian sekelumit perselisihan yang dikisahkan dalam Ahangkara karya Makinuddin Samin. Lewat novel sejarah ini, penulis membeberkan kepelikan dunia telik sandi dalam konteks Nusantara yang masih asing bagi wawasan awam.
Bagaimana tidak pelik jika di tubuh Demak sendiri ada mata-mata yang disusupkan untuk mendompleng dalam perang yang akan dilancarkan. Belum lagi telik sandi Tuban dan Majapahit yang tidak kalah lihai bersiasat. Menegaskan betapa dikotomi hitam-putih tak pernah memadai untuk memahami setiap perang dan juga perseteruan. Selalu ada banyak warna, bendera, dan tentu saja kepentingan.
Misalnya Sagara, pemuda kelahiran Ambulu, Tuban, yang memutuskan menjadi prajurit laut Demak tapi kemudian ditugaskan sebagai telik sandi. Ia cucu Wanua Ambulu yang bernama Ki Garga, dan bapaknya, Dugda, tak lain Lurah Prajurit Tuban. Jadi, hatinya bergejolak mendapati dirinya terjepit di antara dua kepentingan: negeri tempatnya mengabdi (Demak) atau tanah tumpah darahnya (Tuban).
Toh, ketika perang tak lagi bisa dihindari, para mata-mata harus menunaikan peran untuk mencari kabar berita, memastikan kebenaran cerita, serta diam-diam menikam (adakalanya secara harfiah) kawan/lawan. Telik sandi Demak mencari titik lemah Tuban, sementara Tuban mengatur barisan untuk menahan dan memukul balik Demak, dan Majapahit menggalang sisa kekuatan guna mempertahankan harga diri.
Tidak ada pihak yang mau begitu saja kalah dalam perang, bahkan yang paling lemah sekalipun. Dan perang semakin rumit ketika kalkulasi politik digerakkan oleh hasrat kekuasaan tanpa batas. Awalnya, Demak di bawah kepemimpinan Panembahan Trenggana berhasil menaklukkan setiap daerah Brang Wetan. Hingga belasan tahun kemudian, setelah Dugda dengan telaten mengumpulkan orang-orang yang kalah dari Tuban dan Majapahit, Demak lumpuh di Panarukan.
Panembahan Trenggana pun meninggal dan digantikan Raden Mukmin, lalu muncul Arya Penangsang yang menggugat ketidakadilan atas pembunuhan ayahnya, Pangeran Surawiyata. Dan begitulah setiap perang, banjir darah. Namun, selain itu, di buku ini pembaca dapat menemukan bagaimana pertikaian baik berupa perang fisik maupun intrik politik dalam bingkai kekuasaan masih menerapkan pola yang serupa dan relevan dengan situasi sekarang.
Setiap pertikaian niscaya menumbuhkan dendam di pihak yang kalah. Sakit hati yang tak terampuni, yang tidak bisa tidak melanggengkan keinginan untuk membalaskan getir yang dirasakan. Apakah hasilnya akan berbeda jika perang sungguh dilakukan demi penyatuan kekuatan, dan tidak dicemari ambisi untuk menghanguskan ajaran lain?
Dalam konteks hari ini, ketika kita sudah “bersatu” dan (mungkin) tak lagi punya keinginan untuk meremukkan pemeluk keyakinan lain, apakah pertikaian membela agama bisa hadir dari ruang apolitis—paling tidak tanpa niat untuk mengendalikan kekuasaan (negara)?
Dalam Ahangkara, Ki Garga, yang memeluk agama Rasul, bersikukuh mempertahankan Candi Ambulu hingga meregang nyawa. Ia tak rela candi warisan leluhur yang masih menjadi tempat sakral bagi sekelompok orang di desanya itu dihancurkan atas nama keimanan (agama) oleh anak buah Senapati Walungan (aparat negara), yang ternyata memendam hasrat kekuasaan atas takhta Demak.
Juga ada aliran Lemahbang yang genealogi pengetahuannya bisa dilacak hingga Syekh Siti Jenar, ulama tasawuf yang dinyatakan sesat oleh para wali karena dianggap menyampaikan ajaran Rasul secara keliru. Mereka semua, mengutip kalimat dalam buku ini, menunjukkan rentannya persekutuan agama dan negara karena, “Orang yang berbeda dengan paham negara [serta-merta] dianggap sebagai musuh negara.”
Secara keseluruhan, novel ini menarik untuk disimak agar kita setidaknya dapat lebih jernih memahami jalin kelindan antara kekuasaan (negara) dan keimanan (agama), yang memaksa dan yang menyeru. Hanya saja memang peliknya peristiwa yang terjadi dan banyaknya tokoh yang ambil bagian di dalamnya menjadikan novel ini bukan tipe bacaan untuk sekali duduk. Bahkan, bagi yang memiliki daya ingat lemah seperti saya, butuh beberapa kali membolak-balik halaman untuk memastikan kembali nama tokoh, latar tempat, dan keterangan waktu dalam cerita.
Pun begitu Ahangkara, yang berarti keakuan, cukup berhasil menunjukkan betapa ego adalah persoalan terbesar manusia sepanjang hayat. Sebagaimana jawababan Sunan Kudus, yang disebut mengalami “perubahan dari dalam” setelah pertemuan dengan Ki Ageng Pengging, atas pertanyaan Senapati Walungan soal sampai kapan kita harus bersabar menunggu para penganut ajaran kafir itu berubah:
“Sampai kita bosan mendapat ganjaran dari Gusti Allah. Apakah kau telah bosan mendapat ganjaran dari Gusti Allah?”.
Judul: Ahangkara
Penulis: Makinuddin Samin
Penerbit: Javanica, Februari 2017
Tebal: 500 halaman