Memastikan penerapan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa dapat berjalan di seantero negeri, khususnya dalam mengoperasionalisasikan pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk dapat ditetapkan menjadi desa adat. Begitu pula salah satu janji politik duet Jokowi-Kalla dalam Nawacita.

Namun, janji hanya tinggal janji. Desa adat menghadapi kondisi dilematis ketidakjelasan pengaturan. Bahkan, nomenklatur strategis ini terancam mandul akibat turunan peraturan yang melemahkan peraturan di atasnya.

Hadirnya nomenklatur desa adat dalam sistem pemerintahan di Indonesia adalah upaya mewujudkan UUD 1945 Pasal 18B Ayat (2) yang memang mengakui hak masyarakat adat dan desa (Jawa dan Bali), nagari (Minangkabau), gampong (Aceh), dan ratusan sebutan lain di seantero negeri.

Situasi mulai berubah sejak Mahkamah Konstitusi melalui suatu keputusannya merumuskan kriteria dan kondisionalitas yang harus dipenuhi desa adat. Versi UU Desa, verifikasi desa adat ditetapkan melalui peraturan daerah (perda) kabupaten/kota.

Selain itu, penyelenggaraan desa adat di suatu provinsi diatur pula melalui perda provinsi. Namun, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015, menyimpang dari UU Desa, penetapan desa adat diatur melalui peraturan menteri dalam negeri.

Ketidakjelasan administratif tersebut menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Alhasil, menurut catatan Epistema Institute (2016), setidaknya ada 133 desa adat yang telah ditetapkan pemda setempat. Desa adat itu tersebar di Kabupaten Siak dan Rokan Hilir, Riau, serta Kabupaten Jayapura.

Namun, belum satu pun yang bisa diregistrasi. Mengapa? Karena persoalan kewenangan penetapan desa adat masih belum juga terselesaikan antara pemerintah daerah atau kemendagri. Hal itu membuat banyak desa adat yang sampai hari ini belum ditetapkan dan diakui secara hukum.

Pengaturan yang Menyimpang

Akar masalah sebenarnya muncul karena aturan peralihan mengatakan perubahan status desa pasca penetapan UU Desa harus dilakukan dalam dua tahun setelah UU Desa diberlakukan. Padahal, peraturan menteri yang dimaksud baru saja muncul awal tahun ini setelah UU Desa berjalan tiga tahun.

Selesaikah persoalan dengan terbitnya Permendagri Nomor 1 Tahun 2017 tentang penataan desa? Tidak! Penyusunan permendagri dapat dikatakan keliru dengan menyeragamkan seluruh bentuk penataan desa di Indonesia.

Hal ini sama saja dengan perilaku Orde Baru yang saat itu menyeragamkan bentuk desa melalui UU Nomor 5 Tahun 1979. Permendagri No 1/2017 ini melakukan pengaturan yang berlebihan.

Menurut UU Desa, peran para pihak dalam penataan desa dapat dibeda-bedakan. Masing-masing adalah pihak yang mengambil inisiatif, pihak yang melakukan evaluasi, dan pihak yang melakukan registrasi.

Seharusnya, inisiatif penetapan desa adat harus dari masyarakat desa itu sendiri, melalui musyawarah desa, karena penataan desa termasuk hal yang bersifat strategis. Karakter desa adat yang berbeda-beda, juga menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan.

Oleh karena itu, yang paling mendesak untuk diatur lebih lanjut adalah kriteria-kriteria dasar yang dijadikan ukuran untuk penetapan dan pembentukan desa adat sebagaimana diatur pada Pasal 97 dan Pasal 98 UU Desa. Hal ini belum terelaborasi dalam kebijakan yang lebih rendah.

Dalam hal lain, Permendagri No 1/2017 cenderung mengikis otonomi desa adat dalam keberlangsungannya. Hal ini tentu bertentangan dengan UU Desa, karena yang menjadi ciri khas dari UU Desa, bahkan sampai dianggap sebagai ‘dewa penyelamat’, adalah desa adat tidak lagi dilihat sekadar sebagai fakta sosial dan budaya belaka, melainkan ‘ditinggikan derajatnya’ sebagai fakta politik dan hukum.

Tafsir Sepihak Penetapan Desa Adat

Penyimpangan kebijakan turunan tentang desa adat tak kunjung terselesaikan sampai saat ini. Sementara, 133 desa adat yang telah melalui proses verifikasi menghadapi prahara ketidakjelasan administratif.

Perlu dicatat, dalam Permendagri No 1/2017, persyaratan pembentukan desa adat diberlakukan sama dengan pembentukan desa.

Padahal, sebagaimana diatur pada Pasal 98 Ayat (2) UU Desa, proses pembentukan desa adat tidaklah sama dengan proses pembentukan pemerintahan desa adat. Alhasil, niat membayar utang konstitusional pada masyarakat adat yang tertunda 70 tahun tak segera terlaksana.

Hadirnya tafsir sepihak dari Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Dalam Negeri, yang beranggapan masa transisi untuk menetapkan keberadaan desa adat itu telah berakhir pada tanggal 15 Januari lalu. Tafsir itu telah memakan korban.

Di Bali misalnya, karena kurangnya waktu untuk bermusyawarah guna menerapkan amanat Pasal 6 dan penjelasannya, timbul ketegangan antara pihak yang pro desa adat dan yang menolaknya.

Hal yang sama juga terjadi di nagari, Sumatera Barat. Di beberapa kabupaten Riau, proses legislasi untuk penetapan desa adat yang sudah sampai pada tahap paripurna, akhirnya dihentikan karena tenggat penetapan desa adat terlampaui.

Ringkasnya, ada tiga unsur penghalang mengapa desa adat belum juga ada yang diregistrasi. Selain soal adanya kendala kelengkapan kebijakan, masalah lain adalah soal kemauan politik, baik pemerintah pusat maupun pemda, serta persoalan yang terkait dengan ada-tidaknya kapasitas pemerintah, terutama di tingkat daerah dan komunitas yang bersangkutan.

Jika kemudian persoalan ini tak kunjung terselesaikan, maka boleh jadi hal ini menjadi bukti ketidaktulusan Negara dalam implementasi pengakuan hak-hak konstitusional.

Prahara kompleksitas administratif dan ketidakseriusan pemerintah, benar-benar mempersulit masyarakat. Sebab, dalam hal ini banyak masyarakat yang sudah menyambut baik kehadiran UU Desa, namun dikecewakan oleh peraturan turunan yang bahkan mengikis harapan pengakuan masyarakat adat oleh Negara.

Kenapa Penetapan Desa Adat Menjadi Menting?

Betapapun, suka atau tidak suka, logika penataan desa adat harus dimulai dengan penetapan desa adat untuk pertama kalinya. Tanpa itu, logika pembentukan, perubahan status, atau pun penghapusan, menjadi tidak jalan.

Ini sebab kenapa kepengaturan UU Desa menjadi peraturan mandul. Akibat peraturan di bawahnya justru mengeliminasi ketentuan perundang-undangan.

Pengalaman tidak termanfaatkannya peluang pengakuan hak masyarakat adat setempat atas penetapan hutan adat; kebijakan tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Kebijakan-kebijakan itu menjadi mandul akibat ketidakseriusan pemerintah mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat. Hal ini menjadi traumatik tersendiri bagi masyarakat adat terjadi pada UU Desa.

Penetapan desa adat menjadi hal yang begitu penting bagi masyarakat adat. Sebab, dengan diakui sebagai desa adat berdasarkan hak asal-usul dan secara hukum, maka hak-hak yang melekat secara turun-temurun di wilayah adat seperti ulayat dan kekayaan adat lainnya akan diakui pula oleh Negara.

Sebagian besar komunitas masyarakat adat menjadi miskin dan tertindas karena ketimpangan penguasaan sumber-sumber kehidupan. Tanah mereka dirampas dijadikan perkebunan sawit, pertambangan, ijin-ijin konsesi kehutanan dan konservasi.

Alih-alih mengakui dan melindungi hak masyarakat adat, kebanyakan undang-undang tersebut malah ‘merampas’ hak masyarakat adat atas sumber-sumber kehidupan serta membatasi hak mereka.

Jika kemudian UU Desa mengalami nasib yang sama dengan undang-undang sebelumnya, maka tidak menutup kemungkinan bahwa Negara ini sedang mengalami status quo dalam pengakuan terhadap masyarakat adat. Tidak menutup kemungkinan, perlawanan menagih janji pemerintah akan terjadi dan akan menganggu stabilitas keamanan negara.

Sebab, sudah sedemikian lama masyarakat adat berharap untuk diakui secara hukum, namun selalu ada kompleksitas yang terjadi sehingga mengikis harapan masyarakat adat tersebut.

Saat ini, penetapan desa adat sudah di depan mata, seiring target pemerintah mereformasi hutan adat. Yang dibutuhkan ialah sinkronisasi peraturan perundangan yang masih terserak, termasuk percepatan desa adat. Hal ini mengingat target 12,7 juta hektar reforma perhutanan pada 2019 setara 5.080 desa adat di Indonesia.

Jika kemudian persoalan penyimpangan peraturan turunan UU Desa tidak segera diatasi, maka simpang-siur administratif akan terjadi lebih kompleks lagi dan akan mengahambat pencapaian target pemerintah tersebut.

Maka, problem ketidakseriusan dalam mengakui hak masyarakat adat ini harus segera diatasi oleh Presiden Jokowi, jika tidak ingin dikatakan sebagai presiden yang tidak serius dengan janji kampanyenya.