Desa adat atau yang disebut dengan nama lain, seperti Nagari, Huta, Marga, dan seterusnya, merupakan unit sosial dan politik masyarakat adat. Desa adat adalah susunan asli yang mempunyai hak-hak asal-usul, berupa hak untuk mengurus wilayah (hak ulayat) beserta segi kehidupan masyarakat adat.
Pada masa rezim Orde Baru, desa adat mengalami tekanan luar biasa dari negara akibat pemberlakuan sistem pemerintahan desa yang seragam dan sentralistik. Situasi ini menjadikan desa (adat) hanya sebatas “sekrup” administrasi negara yang sentralistik melalui UU 5/79 (UU Desa Lama).
Akibatnya, desa (adat) mengalami kemerosotan sumber daya, inovasi, dan partisipasi dalam mengurus persoalan-persoalan masyarakat desa dan atau masyarakat adat. Dengan kata lain, Orde Baru menjadikan desa sebatas objek agenda-agenda pemerintah pusat semata, dan tak lagi menjadi subjek.
Seiring dengan berkurangnya kapasitas desa adat sebagai subjek, wilayah (desa) adat atau penguasaan wilayah adat masyarakat adat mengalami pembelahan pengurusan sumber daya alam berbasis sektor melalui perundang-undangan yang ada, seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan, dan lain-lain.
Implikasinya, wilayah adat terpecah-pecah dalam persil-persil sektor, yaitu tanah, hutan, tambang, dan lain-lain. Sektoralisme ini memperlemah akses dan kontrol masyarakat adat atas wilayah adatnya.
Desa (Adat) Masa Otonomi Daerah
Runtuhnya rezim Orde Baru melahirkan Reformasi pada tahun 1999 yang mendorong perubahan struktur pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik, atau lazim disebut dengan otonomi daerah. Otonomi daerah ternyata tidak mengubah banyak kondisi desa adat dan atau masyarakat adat.
Reformasi hanya menggeser pendulum kekuasaan dari pusat ke daerah melalui pendelegasian kekuasaan. Desa dalam konteks ini masih tetap menjadi unit pemerintahan yang hanya menjalankan fungsi administratif belaka, yang sebelumnya didominasi oleh pemerintah pusat menjadi oleh pemerintah daerah.
Di beberapa tempat, beberapa pemerintah daerah menangkap perubahan sistem pemerintahan tersebut untuk memperkuat desa melalui basis UU Pemda dan PP 72/2005 tentang desa. Implementasi penguatan tersebut dilaksanakan dengan pengaturan desa (adat) melalui Peraturan Daerah (provinsi dan kabupaten), seperti halnya yang terjadi di Provinsi Sumatera Barat dengan nagarinya dan Provinsi Bali dengan desa adatnya.
Penguatan tersebut belum sepenuhnya mampu mengembalikan keutuhan desa adat dan kewenangan desa adat berdasarkan hak asal-usul, terutama terhadap wilayah (desa) adat. Model desa pada masa itu masih memosisikan desa sebagai unit pemerintahan administratif saja yang menjalankan pelimpahan pemerintah pusat dan pemerintah daerah di desa, sedangkan wilayah desa adatnya tetap terbagi-bagi ke unit-unit desa administratif.
Walaupun terdapat desa administratif yang mempunyai wilayah yang sama dengan desa adat, seperti nagari di Sumatra Barat, tetap saja mengalami dualisme kewenangan antara kewenangan administratif desa yang dijalankan pemerintah Nagari dengan desa adat yang dijalankan Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Dualisme kelembagaan desa tersebut melahirkan tumpang-tindih kewenangan, terutama dalam hal melaksanakan pengurusan wilayah (desa) adat atau hak ulayat. Hal tersebut mengakibatkan peluang pengakuan hak adat (hak asal-usul) yang diberikan oleh rezim hukum otoda (Pemda) belum berjalan efektif.
Pada sisi lainnya, penguasaan sumber daya alam di desa masih di tangan kekuasaan pemerintah pusat. Pemerintah pusat masih menguasai tanah, hutan, dan sumber daya alam lain. Tanah-tanah adat (ulayat) tetap berada pada posisi marginal dan terbagi-bagi secara sektoral.
Desa Adat dalam UU Desa
UU 6/2014 (UU Desa) berupaya mengoreksi kesalahan-kesalahan negara dalam mengatur desa dan masyarakat adat. UU desa ingin mengembalikan hak asal-usul yang melekat pada desa adat untuk mengurus kehidupan masyarakat adat dan wilayah (desa) adatnya.
UU ini mengakomodasi pengakuan hak asal-usul desa adat tersebut melalui nomenklatur baru yang disebut “desa adat”. Nomenklatur baru desa adat ini membuka harapan baru dalam menjawab persoalan hak-hak masyarakat adat, seperti yang diurai di bawah ini.
1. Desa Adat sebagai Subjek Hukum Masyarakat Adat
Desa adat, dalam UU Desa, adalah pengakuan masyarakat adat sebagai subjek hukum dalam sistem pemerintahan, yaitu menetapkan unit sosial masyarakat adat seperti nagari, huta, mukim, dan seterusnya sebagai badan hukum publik.
Desa adat sebagai badan hukum publik mempunyai kewenangan tertentu, berdasarkan hak asal-usul (pasal 103), yaitu sebagai berikut:
- Pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli atau dengan kata lain pemerintahan berdasarkan struktur dan kelembagaan asli, seperti nagari, huta, marga dan lain-lain,
- pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat,
- pelestarian nilai sosial dan budaya adat,
- penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat yang selaras dengan Hak Asasi Manusia,
- penyelenggaraan sidang perdamaian desa adat yang sesuai dengan UU yang berlaku,
- pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa adat berdasarkan hukum adat, dan
- pengembagan kehidupan hukum adat.
Selain menjalankan tugas kewenangan berdasarkan hak asal-usul di atas, desa adat juga menjalankan kewenangan yang dilimpahkan pemerintah pusat dan daerah. Dengan demikian, desa adat adalah perpaduan unit sosial masyarakat adat dengan unit pemerintahan. Dalam konteks ini, desa adat adalah quasi-negara.
2. Pengakuan Hak Asal-Usul
Kewenangan desa adat secara hukum lebih kuat dibandingkan pengaturan desa dalam UU Pemda. Sifat kewenangan desa dalam UU Pemda adalah delegatif, yaitu menjalankan kewenangan Pemda oleh desa.
Sementara itu, dalam UU, desa bersifat atributif, yaitu menjalankan kewenangan berdasarkan UU secara langsung sebagai perwujudan pelaksanaan UUD 1945, khususnya pasal 18 dan 18 B ayat 2. Konsekuensi hukumnya adalah desa adat mempunyai kewenangan yang kuat dalam menjalankan hak asal-usulnya yang dijamin UU.
3. Mempertegas Posisi Batas Antara Desa Adat dengan Kerajaan
Susunan asli dalam pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) terdiri dari (1) kerajaan/kesultanan (Zelfbesturende Landschappen) dan (2) desa adat (Volksgemeenschappen). Kedua susunan asli tersebut mempunyai hak asal-usul yang diakui oleh negara.
Kerajaan dan desa adat adalah dua entitas yang berbeda. Kerajaan adalah negara tradisional yang hidup sebelum negara Indonesia lahir, sedangkan desa adat adalah unit sosial masyarakat adat. Namun, dalam kerajaan dimungkinkan bisa terdapat unit sosial masyarakat adat tersebut.
Implementasi pengakuan kerajaan dalam sistem pemerintahan Indonesia hanya terjadi terhadap DIY Yogyakarta, yaitu melalui UU 13/2012. UU ini mengakui keberadaan DIY Yogyakarta beserta hak-hak asal-usulnya dalam sistem pemerintahan sebagai unit Pemerintah Daerah.
Artinya, pengakuan kerajaan dalam sistem hukum Indonesia dilaksanakan melalui instrumen UU. Hal tersebut berbeda dengan desa adat. Desa adat adalah susunan asli dari unit sosial masyarakat hukum adat berupa nagari, huta, marga, dan lain-lain.
Hak-hak asal-usul desa adat adalah hak asal-usul yang melekat pada masyarakat adat, terutama terkait dengan hak ulayat. Dengan dilahirkannya UU Desa, ruang lingkup pengakuan hak asal-usul desa adat adalah pengakuan hak-hak masyarakat adat, bukan kerajaan.