Sejarah pemikiran politik adalah sejarah kehidupan manusia. Ini bukan semata karena manusia butuh politik demi eksistensinya, melainkan politik menjadikan manusia demi esensinya.

Bicara politik, agaknya yang harus banyak menuai perhatian kita adalah sistemnya. Saya sama sekali tak berempati pada perdebatan seputar apa itu politik atau mengapa politik harus direalisasikan.

Di sini, saya lebih memilih mempertanyakan bagaimana politik harusnya dijalankan. Hemat kata, atas dasar mekanisme apa Negara harus menjalankan perannya sebagai kekuasaan tertinggi dalam sebuah komunitas hidup manusia.

Sebagai konsekuensi, bahasan ini akan merujuk pada satu mekanisme pengelolaan Negara, yakni demokrasi. Kita tahu, demokrasi adalah sistem terbaik di antara sistem Negara lainnya. Tetapi sebaik apapun sistemnya, jika dikelola secara tidak memadai, hasilnya pun bisa ditebak. Dengan demikian, antara sistem dengan tim pengelolanya harus berjalan sinergis.

Model Demokrasi

Hingga hari ini, ada banyak sekali model demokrasi yang sudah ditawarkan oleh beragam pemikir. Misalnya saja, dalam Models of Democracy, David Held menyuguhkan model-model demokrasi yang pernah dikenal masyarakat dunia. Di antara model tersebut adalah demokrasi klasik, demokrasi republikanisme protektif dan developmental, demokrasi langsung, demokrasi deliberatif, partisipatif, pluralisme, legal, kosmopolitan, dan lain sebagainya (Edisi Ketiga, 2007).

Semua model tersebut paling tidak menawarkan kritik tentang pemikiran suksesi demokrasi: apa arti yang seharusnya dari demokrasi yang ada hari ini?

Di Indonesia sendiri, ada Luthfi Assyaukanie yang juga turut memberi suguhan terkait model demokrasi apa yang ideal, sesuai, atau dimungkinkan pelaksanaannya. Model-model tersebut adalah Demokrasi Islam, Demokrasi Agama, dan Demokrasi Liberal.

Model demokrasi yang terakhir itulah, yang bagi Luthfi, merupakan gagasan yang paling banyak menarik perhatian. Terutama di kalangan generasi muda, model tersebut dinilai mengindikasikan kemajuan (Luthfi Assyaukanie, 2011).

Memang, gagasan seperti demokrasi liberal, pluralisme agama, dan sekularisme, adalah gagasan-gagasan yang dulu terkesan “dibenci”. Tapi fakta membuktikan bahwa pertumbuhan dan perluasan dukungan atasnya, jauh lebih besar daripada upaya penafiannya.

Sebagai contoh, partai politik Islam di dua pemilihan umum pasca reformasi mendapat suara tidak lebih dari 14% (pada 1999) dan 17% (pada 2004). Itulah mengapa saya pun memandang bahwa Demokrasi Liberal patut terus kita perbincangkan. Bahwa model ini adalah model demokrasi yang punya masa depan cerah di kemudian hari.

Menyegarkan Kembali Demokrasi Liberal

Bagi saya, ada dua penyebab utama mengapa sistem terbaik tidak mampu menghasilkan buah yang baik. Pertama, Negara dalam menjalankan perannya memang tidak pernah menurut pada nilai demokrasi.

Kedua, pemahaman Negara sendiri yang kurang memadai dalam memandang demokrasi itu sendiri. Jelas, problem terakhir inilah yang bagi saya cukup mengerikan.

Memang, makna demokrasi itu tidak tunggal. Selalu ada perbedaan dalam pemaknaan hingga berimbas pada perealisasiannya. Dan itu tergantung pada tingkat kebutuhan. Bisa juga karena tingkat intelektualitas manusianya sendiri sebagai subjek dan objeknya sekaligus. Maka tak ayal, model-model demokrasi pun bertebaran. Yang satu menghendaki ini, dan yang lain menghendaki yang lainnya pula.

Tanpa menafikan perbedaan, sesuai dengan judul tulisan ini, saya mengunggulkan Demokrasi Liberal sebagai bentuk atau sistem Negara terbaik. Hal ini tentu saja tidak hanya terbukti oleh maraknya kaum intelektual yang resah pada mekanisme pengelohan Negara dengan sistemnya yang tak jelas hari ini, melainkan karena Demokrasi Liberal punya inner beauty yang terpancar dari dalam dirinya sendiri. Itulah mengapa optimisme saya terhadap Demokrasi Liberal sangatlah besar.

Sebagai sistem Negara, tentu yang khas dari Demokrasi Liberal adalah ide pemisahan Negara dan agama (sekularisme). Merujuk pada pandangan Thomas Aquinas, antara Negara dan agama punya wilayah kerja yang senantiasa berbeda. Negara dalam hal keduniawian, dan agama dalam hal kerohanian.

Jika sampai yang satu, entah Negara ataupun agama, mengambil dua wilayah ini sekaligus, maka yang terjadi bukan hanya ketimpangan dalam pengelolaannya, melainkan yang utama adalah bahwa ini akan melanggar prinsip azali dari Negara atau agama itu sendiri.

Jika dilihat, ketidakmungkinan Demokrasi Liberal ini hanya dilandaskan pada fakta luarannya saja, yakni praktik-praktiknya. Padahal, esensi atau subtansi dari Demokrasi Liberal itu sendiri sama sekali tidak dirujuk secara utama dalam peninjauannya. Inilah kegagalan kita dalam berpikir, oleh Arendt sebut sebagai suatu “banalitas”.

Kegagalan kita dalam menilai suatu konsep adalah bukti kedangkalan (banalitas) kita dalam berpikir. Suatu konsep, entah apa dan dari manapun itu, harus kita nilai berdasar nilai konsep itu sendiri. Nilai itu tidak tampak. Ia terkandung di dalam, bukan dari apa yang ditampakkannya (implikasi-implikasinya).

Secara esensi, Demokrasi Liberal adalah model demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan di mana individu menjadi titik tolaknya. Eksistensi masing-masingnya sangat dihargai, tidak hanya untuk beraspirasi tapi juga berpartisipasi, terutama di ruang-ruang publik. Tidakkah ini adalah dambaan kita?

Di Indonesia, adalah benar bahwa Demokrasi Liberal gagal dipahami oleh karena kecenderungan negatif yang terlalu kuat terhadap makna kebebasan individu. Kebebasan diidentikkan sebagai keliaran. Kebebasan dianggap sebagai pahamnya para penjajah. Ini cara pandang yang sangat keliru.

Sesuai esensinya, antara demokrasi dengan Demokrasi Liberal adalah serupa tapi berbeda. Istilah “liberal” dalam Demokrasi Liberal hanya hendak mempertegas bahwa sebuah kebijakan konstitusional harus mempertimbangkan kepentingan-kepentingan tiap individu bukan mayoritas. Sebuah kebijakan adalah apa yang diingini oleh masing-masing individu. Tiap-tiap di antaranya adalah objek sekaligus subjek perumusan, penetapan, serta penerapannya.