Menelaah perihal demokrasi, tak pernah selesai di negeri yang mengklaim dirinya demokratis dan mengutamakan kepentingan rakyat. Reformasi sudah berjalan lebih dari dua puluh tahun, nampaknya perlu dipahami kembali capaian dan tujuan sebenarnya atas keberjalanan demokrasi di negeri ini.
Demokrasi di Indonesia dengan landasan dasar Alinea keempat dan pasal 1 ayat 2, kita ketahui bahwa konsep kedaulatan bangsa, itu ditangan rakyat. Apakah rakyat benar-benar mendapatkan makna kebebasan berpendapat sebagai poin penting kedaulatan rakyat?
Petani jagung dan mahasiswa menyuarakan pendapat ketika Presiden Jokowi mengunjungi kedua kota tersebut, terpaksa dibredel dengan dalih mengganggu ketertiban. Sungguh keterlaluan, dikarenakan apa yang mereka lakukan jelas-jelas tindak mencelakai ataupun mempunyai unsur hujatan.
Mereka hanya membentangkan kertas lusuh, dengan guratan “Tolong” kepada negara yang mempunyai janji dan kewajiban menyejahterakan rakyatnya. Naas, harapannya dibalas dengan pembredelan. Bila peristiwa semacam itu tetap dilestarikan, manifestasi alinea keempat UUD 1945, patut dipertanyakan kembali.
Gubahan Karl A. Wittfogel berjudul Oriental Despotism (1981) menjabarkan perihal demokrasi. Wittfogel secara terang-terangan mengulas demokrasi sebagai ruang bebas para penghuninya untuk berkumpul dan berkelompok serta bebas dalam mengutarakan gagasan ataupun kritik.
Demokrasi pengemis. Begitu, Wittgofel mengistalahkan bangsa menggunakan demokrasi hanya sebatas metafora saja. Rakyat selalu terbelenggu dengan paksaan dan disfemisme yang dikemas melalui hukum untuk memotong lidah ketika melantuntakan rasa cinta melalui kritik untuk negeri ini.
Berbicara demokrasi tak luput untuk mengulas perihal kebebasan dan kedaualutan rakyat. Ada beberapa temuan mengenai kebebasan, seperti yang disampaikan oleh Lee Kuan Yew. Gagasan Yew mempunyai beberapa ciri dengan kondisi pemerintahan hari ini, kala mengilhami kebebasan.
Yew menghalalkan adanya Otoritarian dalam pemerintahan, dengan alasan untuk memperlancar kebijakan pembangunan. Baginya keluh kesah terlalu banyak dari masyarakat akan menghambat proses-proses pembangunan. Pemahaman itu, pernah digunakan di era orde baru guna membentengi REPELITA dari segala kritik. Lalu, bagaimana dengan hari ini?
Sebelumnya, peraih nobel ekonomi di tahun 1998, Amartya Sen dengan berani mengkritik pola kebebasan melalui publikasi berjudul The Idea Of Justice (2009) menurut Lee Kuan Yew yang terkesan sangat institusionalistik. Yew disini mengartikan institusi sebagai jaring-jaring dari negara untuk menentukan keadilan dan kebijakan walaupun itu otoriter, tetapi dibenarkan Yew.
Bagi Yew, otoriter dan pembatasan untuk rakyat memang perlu adanya untuk mempertahankan regulasi kebijakan. Gagasan itu, sampai hari ini masih digunakan oleh beberapa negara termasuk Tiongkok. Amartya sen mengutuk segala bentuk otoritarian di dalam kehidupan manusia.
Bagi Sen, kebebasan itu ada dua bagian yaitu kebebasan secara demokrasi dan pembangunan. Kebebasan demokrasi diartikan sebagai kebebasan bagi individu untuk menjadi publik penalar (public reasoning). Tidak bisa ada tekanan atau batasan bagi individu, karena merekalah yang berhak atas kedua kebebasan tersebut.
Rasa takut sampai dengan mengakarnya penderitaan rakyat karena tak bebas untuk berekspresi menyuarakan pendapat, secara gamblang digambarkan melalui novel gubahan George Orwell berjudul 1984. Secara ekspresionis, novel tersebut menggambarkan rasa pedih karena teleskrin selalu memantau dan menekan rakyat hingga kaum prol dikotakan oleh sistem.
Kegelisahan dan rasa takut itu, perlu adanya perlawanan secara pribadi, untuk menyampaikan isi dalam nurani. Albert Camus, dalam hal ini akan bersuara sampai leher mengurat guna tak takut menentang absurditas, -hilang atau hidup kala memperjuangkan kebebasan.
Tidak jalan lain selain dengan menguatkan mental untuk menjalankan peranan individu secara bebas bagi kehidupan. Intelektual dan kelompoknya hari ini, patut untuk disokong dan diperkuat daya ledaknya. Gerakan mahasiswa itu sebagai daya ledak menyisir kebijakan sebagai tanda pengingat penguasa kepada rakyatnya.
Peran Intelektual
Hari ini mahasiswa yang hobi berbincang perihal negara dan kebijakan, patut dilestarikan. Pasalnya, mereka sudah larut dalam kenyaman efek dari peopulisme dan ilusi simulakra yang sengaja dibuat. Keruntuhan orde baru menjadi reformasi, bukan hal final. Harus ada rekonstruksi kembali melalui proses sisir kebijakan secara fokus,
Begitu juga dengan gaya karismatik pemimpin hari ini, mampu menampakkan aura positif dengan didukung kemajuan teknologi sebagai daya dobrak gerakan mereka. Intelektual, berperan disini, sebagai penyeimbang, dari apa yang disampaikan oleh penguasa.
Dualisme intelektual sampai hari ini masih ada dan akan tetap ada. Menjadi intelektual konform dengan tutup mulut seperti Stephen Dedalus dalam novel gubahan James Joyce, atau berani membuka tabir walau risiko besar menghadang seperti Veblen, Dreyfusard hingga Munir yang berani dan termaktub berani menyampaikan taji.
Ketika Wittfogel mengartikan demokrasi dengan mengemis, intelektual menjadi tameng utama mempertahankan dan menjaga api itu tetap menyala. Max Weber kala menjelaskan charismatic authority, perlu dibaca kembali, menemukan titik simpul penyebab dibredelnya kritik rakyat hari ini.
Dari analisis Weberian karismatik itu didapat dari jenis kekuasaan. Karismatik dibuat melalui regulasi kekuasaan yang dilaksanakan secara berlanjut. Pemberedan dan titik balik pemanggilan korban ke istana, Weber sudah dahulu merumuskan itu. Intelektual contra conform, perlu ada dalam menjaga dinamisnya demokrasi kita. Sekian.