Kita cukup sering mendengar bahwa Indonesia itu menganut sistem demokrasi. Demokrasi merupakan tuntutan dari reformasi yang terjadi pada 1998 setelah mengalami peralihan dari rezim otoriter Orde Baru.
Namun, di sini kita tidak akan berbicara banyak tentang definisi atas demokrasi karena hal tersebut dapat kita cari melalui internet atau literatur umum yang mendeskripsikan tentang apa itu demokrasi.
Di sini kita akan merefleksikan ulang bagaimana sebenarnya demokrasi di Indonesia. Kita akan menguji klaim bahwa Indonesia merupakan negara yang betul-betul demokratis.
Jika kita diperkenankan untuk mengukur, memangnya seberapa demokratis Indonesia itu? Indikator apa yang digunakan untuk menyatakan Indonesia itu negara yang demokratis atau tidak? Demokrasi model bagaimana yang dianut oleh Indonesia?
Pada laporan Indeks Demokrasi Dunia pada tahun 2021, Indonesia menduduki peringkat ke-52 dengan skor 6,71. EIU atau The Economist Intelligence Unit mengkategorikan Indonesia sebagai demokrasi cacat atau flawed democracy.
Indonesia masih memiliki persoalan fundamental dalam demokrasi seperti iklim sosial-politik yang antikritik, penegakan hukum yang bermasalah, minimnya partisipasi warga dalam politik, dan kinerja pemerintahan yang problematis.
Dengan adanya data seperti itu, apakah Indonesia masih layak menyandang statusnya sebagai negara yang demokratis? Bandingkan dengan kategori yang harus dipenuhi oleh negara yang disebut sebagai full democracy.
Suatu negara disebut sebagai full Democracy apabila memiliki jalannya pemerintah yang baik dan optimal, hukum yang adil, kontrol dari dan untuk negara yang tepat dan proporsional, dan banyaknya media independen yang beragam serta minimnya media yang partisan.
Kita dapat saksikan dalam kehidupan sehari-hari kita, baik di media sosial maupun kehidupan nyata, bagaimana kognisi massa kita.
Masyarakat masih begitu terpolarisasi akibat populisme dan politik identitas yang semakin meruncing beberapa tahun belakangan.
Demokrasi kita hanya diisi oleh fanatisme dan sikap narsistik atas versi kebenaran yang masing-masing kita anut. Politik kita masih bergantung pada figur tertentu, bukan terhadap suatu nilai yang diperjuangkan.
Sering kali, kondisi seperti ini justru meretakkan solidaritas dalam hidup bersama kita dan semakin mengarahkan tatanan sosial kita pada perpecahan serta nuansa hidup yang dikotomis.
Kebebasan berekspresi merupakan elemen penting lain yang harus dimiliki sistem demokrasi.
Akan tetapi, kebebasan tersebut sering diisi dengan narasi-narasi yang anti-demokrasi namun justru memanfaatkan iklim demokratis untuk menyampaikannya.
Contohnya seperti obsesi atas perubahan bentuk negara dan pemerintahan serta hendak mengabsolutkan suatu gagasan tertentu.
Masyarakat kita juga masih sering terjebak cara hidup yang menghamba pada apa yang disebut Francis Bacon sebagai idola, khususnya jenis idola pasar.
Idola pasar dapat berupa suatu opini yang diamini begitu saja tanpa telaah kritis sehingga dapat membentuk worldview dan mengarahkan tindakannya.
Hal ini merupakan paradoks lain dari demokrasi yang mengijinkan orang bersuara, tetapi diisi oleh hoax dan pengetahuan palsu dan keliru. Sehingga, dapat dikatakan suara yang dihasilkan adalah suara-suara yang sumbang.
Salah satu komposisi yang harus dimiliki oleh demokrasi yang ideal adalah negara harus melindungi minoritas yang tertindas. Namun, akhir-akhir ini pemerintah malah hendak mengriminalisasi kaum LGBT lewat KUHP.
Belum lagi persoalan kesulitan membangun rumah ibadah umat minoritas seperti gereja, vihara atau bahkan masjid namun masjid yang berafiliasi dengan Syiah dan Ahmadiyah.
Demokrasi Indonesia yang dianggap cacat tersebut dapat kita perbaiki dengan menggunakan pendekatan Jurgen Habermas tentang demokrasi deliberatif.
Demokrasi deliberatif menekankan bahwa narasi atau wacana publik harus berjalan dengan tepat dan dapat diterima secara intersubjektif dengan selalu terbuka pada kritik dan pembaharuan.
Fokus demokrasi deliberatif adalah pada proses karena jika kita fokus ke proses, maka kita akan mendapatkan hasilnya.
Untuk mendapat hasil yang baik dan ideal, diperlukan suasana komunikasi yang argumentatif, inklusif, memiliki kebebasan dalam berpendapat dan konsensual.
Untuk mencapai hal tersebut, andaianya adalah masyarakat haruslah benar-benar rasional dengan mampu memproduksi argumen dan struktur bahasa yang logis.
Aspek yang lain adalah memiliki sikap keterbukaan, mengakui eksistensi orang lain secara setara, bertanggung jawab, dan tidak mementingkan kepentingannya sendiri atau kelompoknya.
Lalu, bagaimana agar masyarakat Indonesia dapat memenuhi syarat-syarat tersebut sehingga demokrasi deliberatif dapat terwujud?
Pertama adalah dengan mengatasi stunting melalui perbaikan gizi. Gizi masyarakat yang baik juga akan mempengaruhi kemampuan kognitif dan memproses pengetahuan atau informasinya.
Kedua, fokus dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang berorientasi pada science dan reason dengan membuat standariasi tertentu seperti tes PISA agar kesetaraan itu bisa benar-benar terwujud.
Hal ini juga diikuti dengan kualitas SDM pengajar yang mumpuni, distribusi literasi dan infrastruktur pendidikan yang merata, dan mengubah sistem belajar yang kompetitif menjadi yang kolaboratif.
Intinya, masyarakatnya harus dibuat cerdas dan rasional terlebih dahulu. Begitu juga pendidikan politik yang harusnya diberikan kepada masyarakat dan juga para politisi serta pejabat negara.
Setelah masyarakat memiliki kemampuan kognitif yang sesuai dengan indikator yang disepakati sebagai cara berpikir rasional, demokrasi bisa berjalan lebih baik.
Selanjutnya menurut Habermas, setelah masyarakat menjadi logis dan rasional, komunikasi reflektif yang dipicu lewat diskursus dan perdebatan dapat dimunculkan secara kualitatif.
Hal tersebut secara ideal dapat menjembatani kita kepada terwujudnya suatu tatanan demokrasi yang ideal di mana privilese atas demokrasi dapat dimanfaatkan sebaik mungkin.
Salah satu wujudnya adalah dengan melahirkan begitu banyak gagasan sekaligus berupaya mencapai suatu konsensus atas lebenswelt.
Paradoks lain yang muncul adalah ketika lebenswelt justru memunculkan sistem-sistem yang justru ingin membajak lebenswelt itu sendiri. Sistem-sistem tersebut meliputi religiusitas, uang dan negara.
Apabila ketiganya mencapai suatu dominasi tertentu, maka mereka dapat menghasilkan fundamentalisme dari sistem religiusitas, masyarakat kapitalis dari sistem uang dan otoritarianisme dari sistem politik atau negara.
Demokrasi deliberatif yang dicapai melalui komunikasi reflektif diharapkan bisa mencegah laju dari dominasi pada sistem-sistem yang muncul dari lebenswelt.
Hal ini dikarenakan ia senantiasa ikut berpartisipasi penuh dalam menjaga hidup bersama kita dan merawat agar demokrasi berjalan secara optimal.
Hal ini menjadi cukup relevan dengan kasus aktual yang ada di Indonesia kontemporer.
Fundamentalisme dalam beragama, hasrat untuk mengakumulasi kapital dengan mengeksploitasi alam dan mencegah suatu kondisi totaliter dalam hidup sosial yang hendak mengabsolutkan suatu nilai tertentu adalah tantangan yang nyata.
Demokrasi deliberatif dapat menjadi bekal untuk memperbaiki tata ruang publik kita demi menghadapi persoalan-persoalan yang telah disebutkan di atas serta menumbuhkan nilai-nilai yang berdasar pada solidaritas, empati dan keadilan.