Sabtu lalu, tanggal 14 September 2019, KPK digeruduk ratusan orang. Barangkali ini pertama dan sangat sensasional. Biasanya, kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kedatangan gerombolan orang untuk bersimpatik kepada lembaga anti-rasuah ini. 

Tapi, ini beda. Mereka meneriaki KPK, "Bubarkan, Pecat, dan dukung RUU KPK." Mereka pun bertindak sedikit 'anarkis' melempari gedung KPK dengan kayu. Alamakjang, apa gerangan? Apa seserius itu mendukung RUU KPK?

Laporan dari lama berita Tirto.id pada tanggal yang sama memberi sedikit pencerahan. Ternyata, demo itu berbayar. Dari hasil wawancaranya, seorang ibu paruh baya mengaku "Iya" setelah ditanya dibayar berapa. Katanya sih perjam 50 ribu. Lumayan, kan? Jika aksinya berkisar 3 jam, maka per orang diongkosi 150 ribu plus makan-minum.

Duit segitu lumayanlah untuk belikan anak jajan atau ngisi paket kuota internet. Saya berharap hal itu dapat kontinyu. 3 kali seminggu atau kalau perlu setiap hari minus hari Minggu. Jika dikalkulasi dalam sebulan ada 26 kali aksi, maka dapat duit 3,9 juta. Jauh lebih tinggi dari gaji honorer guru yang hanya ratusan ribu.

Dalam pekerjaannya tak butuh syarat tetek bengek. Ijazah, SKCK, Surat Keterangan Bebas Narkoba, Surat Keterangan Sehat, mengisi formulir, semua tak perlu. Mending, kan?

Daripada melamar kerja formal, repot menyiapkan berkas, keluar biaya, belum tentu diterima pula. Apalagi pendidikan terakhir, makin tingkat pendidikan Anda rendah, makin mudah diterima. Yang penting bisa teriak, sedikit tahan panas, dan tak malu di hadapan kamera jurnalis.

Eits, jangan pandang mereka rendah. Mereka kerja, mereka profesional, mereka rela berpeluh untuk menghidupi keluarga. Bagi keluarga, mereka pahlawan.

Bayangkan, seorang pria paruh baya pulang demo. Mengantongi uang 150 ribu. Sebelum pulang, ia beli oleh-oleh untuk anaknya dan beli 3 kilo beras. 

Sesampainya di rumah, ia disambut anaknya dengan riang. "Bapak pulang, bapak bawa apa?" Ayahnya menjawab dengan lugu, "Ini jajan buat adek." Sembari anaknya menangkap bingkisan itu, "Makasih, Bapak." Tiba-tiba mata pria itu berbinar-binar bahagia bercampur sedih. Entahlah.

Maka, saya yakin seyakin-yakinnya, demo berbayar punya sisi humanitas yang tak boleh diremehkan. Para netizen berdosa besar jika nyiyirin aksi itu. Ini soal penghidupan dan menurunkan angka pengangguran. Pemerintah tak perlu buat ini-itu untuk menarik investasi, toh akhirnya yang bekerja mereka yang berpendidikan. Cukup penguasa lempar kontroversi, dapur pun mengepul.

Kalaupun tak suka dengan argumentasi saya ini, serta tetap mencela mereka yang mendemo KPK. Barangkali menurut Anda, saya terlalu naif. Bukan, saya itu terlalu syuantai. Meski secara nurani saya pun berkata, "sebaiknya punya pekerjaan yang lebih bermartabat, walau gaji kecil. Kalau ada."

Hidup di Jakarta—teman saya memplesetkan Jekardah—tak mudah. Kepadatan penduduk, ketersediaan lapangan pekerjaan yang minim, dan tingginya biaya hidup, bagi mereka yang kurang beruntung, tidak cukup memiliki satu jenis pekerjaan, apalagi tidak sama sekali. 

Seorang buruh pabrik kadang kala harus jadi sopir ojek online sepulang kerja atau pedagang cilok harus jadi makelar di sela-sela menjaja. Bukan miris. Ini konsekuensi yang harus dituntaskan jika hidup di perkotaan.

Jika demikian adanya, siapa yang patut dituntut pertanggungjawaban atas demo berbayar itu? Pemerintah, politikus, investor, aktivis unyu-unyu yang gemar bermain PUBG, Mobile Legend, Winning Eleven, atau mereka para pendemo yang mau-maunya diperalat oleh orang berkepentingan?

"Kita harus adil sejak dalam pikiran," begitu kata Pramoedya Ananta Toer. Jika perut kenyang, sandang dan papan tercukupi secara layak, serta kebutuhan sekunder lain: paket internet, liburan, uang ngopi, dan lain-lain, apa benar mereka mau ikut demo yang gak jelas juntrungannya. Aku yakin tidak.

Bukan saya terlalu materialistis dalam menganalisis suatu kasus. Pun, jangan tuduh saya berpaham Marxisme. Yang mana persolaan itu semata-mata berangkat dari determinisme ekonomi atau latar belakang ekonomi semata. Ini hanya analogi tukang ngopi yang kerap ngutang. Sederhana.

Saya pun seperti Anda. Saya mencintai KPK. Meski cintaku ini sederhana, "dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada," kata Sapardi Joko Damono.

KPK itu layaknya Dian Sastro. Sedalam-dalamnya cintaku pada Dian, tak sangguplah aku memilikinya. Cukup sebagai fans club. Jika pun Dian teraniaya, aku pasti yang terdepan membelanya di Medsos. Toh, dia kan sudah ada yang punya. Sama kayak KPK. He.

Bagi mereka yang berdemo dibayar, tak hanya di KPK, di mana pun Akhi-Ukhti berada, salam hormat dari saya. Kalian pahlawan bagiku atau bagi keluarga kalian. Tanpa kalian, pemilik pick up barangkali tak dapat job penyewaan. Para pemilik jasa penyewaan sound system demikian adanya, ada job tambahan.

Ibu-ibu pemilik katering pasti juga girang dapat pesanan nasi kotak demo. Demikian juga, para penjual cilok, pedagang asongan, dan siapa pun yang barangkali berjualan di sekitaran aksi demo, sedikit banyak memberi imbas positif pada mereka.