Climate strike, aksi protes krisis iklim pertama di Indonesia yang digelar pada 20 September 2019 mengingatkan kita betapa memprihatinkannya keadaan bumi saat ini.

Menyusutnya luas hutan, polusi yang tak tekendali, dan punahnya beberapa spesies hewan sepertinya masih belum cukup menggerakkan hati pemerintah untuk sadar bahwa krisis iklim sudah ada di depan mata.

Berdasarkan data yang dicatat oleh Kementrian ESDM, dari keseluruhan sumber listrik di Indonesia, setidaknya 85,31% pembangkit tenaga listrik masih menggunakan fosil sebagai sumber energinya. Akibatnya, Indonesia masuk ke dalam daftar negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.

Seakan menutup mata dan telinga, pemerintah justru gencar dalam proyek pembangunan PLTU dan mengesampingkan dampak penggunaan energi fosil terhadap lingkungan. Padahal kenyataannya, penggunaan PLTU batu bara ini hanya akan membuat emisi gas rumah kaca makin tak terkontrol.

Bumi sedang dalam Keadaan Kritis

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang telah menjadi bencana tahunan juga turut menyumbangkan gas metana, jenis gas rumah kaca yang berbahaya 21 kali lipat daripada CO2. Akibatnya, saat karhutla terjadi, sejumlah besar gas rumah kaca terbang ke atmosfer dan membuat proses pemanasan global bergulir lebih cepat.

Mengingat Indonesia merupakan salah satu negara pemilik hutan dan lahan gambut terluas di dunia. Bencana karhutla di Indonesia yang terus-menerus terjadi ini seharusnya cukup membuat pemerintah sadar bahwa deklarasi darurat krisis iklim ini perlu segera digaungkan.

Jika perubahan iklim tidak diantisipasi dengan cepat, suhu bumi akan terus meningkat. Mengacu pada laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), walaupun pemanasan global dapat ditekan sampai dua derajat Celcius pun, permukaan air laut akan tetap naik 0,5 meter. Akibatnya, beberapa kota pesisir diprediksi akan tenggelam.

Selain itu, berdasarkan riset peneliti geodesi ITB, jika krisis iklim diabaikan, Jakarta, kota metropolitan yang menjadi rumah untuk 10 juta manusia terancam tenggelam 95 persen pada tahun 2050.

Masifnya penggunaan sampah plastik juga memperparah kerusakan alam. Sampah plastik tersebut pada akhirnya akan menggunung dan memicu terjadinya krisis air bersih, krisis ekosistem laut, dan krisis bahan pangan.

Sampah plastik yang pada akhirnya bermuara di laut pun turut menjadi mimpi buruk bagi terumbu karang. Karena jika terumbu karang yang berkontak langsung dengan plastik, sebanyak 89% di antaranya cenderung akan terjangkit penyakit (Joleah B Lamb, 2018)

Jika kerusakan terumbu karang ini terus terjadi, populasi fitoplankton yang menghasilkan oksigen melalui proses fotosintesis akan terancam. Alhasil, produksi oksigen dari laut pun akan menurun. Padahal oksigen yang berasal dari laut ini sebetulnya dapat menjadi solusi untuk mengurangi emisi karbon dioksida.

Keseriusan Pemerintah

Namun, sangat disayangkan pemerintah Indonesia belum menunjukan keseriusannya dalam menghadapi krisis iklim ini. Hal ini dapat dilihat dari pengesahan UU Cipta Kerja dan pembangunan destinasi wisata Pulau Komodo yang dilakukan baru-baru ini.

Pemerintah telah mengesahkan UU Cipta Kerja yang malah menjadi mesin penghancur ekosistem di Indonesia. Bukannya membuat eksositem kita lebih terjaga, UU tersebut justru menghilangkan aturan dari pasal 18 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Pasal ini mewajibkan pemerintah untuk menetapkan dan mempertahankan luas hutan dan tutupan hutan di setiap wilayah sungai minimal 30 persen.

Tak hanya itu, penghapusan analisis dampak lingkungan (AMDAL) atas alasan investasi dan menggantinya menjadi hanya persetujuan lingkungan, tentunya juga berdampak buruk bagi keberlangsungan iklim di Indonesia.

Parahnya lagi, baru-baru ini pemerintah juga berencana membangun wisata premium yang mengancam keutuhan wilayah konservasi komodo di Pulau Rinca, Nusa Tenggara Timur.

Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya pemerintah lakukan, terlebih lagi negara ini turut menandatangani Perjanjian Paris pada peringatan Hari Bumi tanggal 22 April 2016 silam di New York, Amerika Serikat.

Semestinya, Indonesia menjalankan komitmennya dalam mencegah dan mengatasi dampak buruk dari perubahan iklim di dunia.

Dibutuhkannya Deklarasi Krisis Iklim

Pada tanggal 2 Desember 2020 lalu, Selandia Baru telah menyusul 32 negara lainnya mendeklarasikan darurat krisis iklim. Anggota parlemen dan entitas politik dari negara-negara tersebut juga telah menyetujuinnya. Bahkan mereka telah merencanakan kebijakan radikal untuk merespons krisis iklim. Lantas Indonesia kapan?

Bumi kita sedang dalam masa krisis lingkungan hidup. Jika tidak ditangani secara cepat dan tepat, maka planet ini akan mengalami kepunahan masal.

Masalah yang bersifat darurat ini harus segera ditangani. Sebab, berdasarkan perhitungan Mercator Research Institute mengenai Persamaan Global dan Perubahan Iklim, tenggat waktu yang tersisa untuk mencegah terjadinya pemanasan global kurang lebih hanya tersisa 7 tahun lagi (Golan dan Boyd, 2020)

Keadaan sudah mendesak, larangan penggunaan kantong berbahan plastik saja masih belum cukup untuk mencegah terjadinya krisis iklim. Kita butuh terobosan dan langkah baru untuk memperlambat laju pemanasan global.

Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas. Masyarakat Indonesia pun harus turut bahu-membahu menangani masalah yang dapat merusak masa depan kita ini.

Di samping itu, pemerintah juga diharapkan dapat bekerja sama dengan media massa dan lembaga edukasi untuk mengomunikasikan kondisi krisis iklim kepada publik agar segera mendorong perubahan lebih cepat.