Dalam resensinya atas karya Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban, dalam Tempo 11 April 1992, M. Dawam Rahardjo menutup analisisnya dengan kalimat, "Inti dari seluruh gagasan Nurcholish Madjid agaknya telah bergeser dari sekularisasi ke pluralisme, baik sebagai doktrin Islam maupun lingkungan budaya yang harus disadari dalam memasuki zaman modern."
Penilaian Dawam ini jeli sekaligus sangat membantu melihat perkembangan pemikiran Nurcholish Madjid serta kecenderungan dan perspektif pemikiran keagamaan pada umumnya memasuki era globalisasi informasi. Tulisan singkat ini hanya mencoba mencari hubungan kausalitas antara sekularisasi dan pluralisme dalam paham keagamaan yang muncul ke permukaan dalam pelataran historis-sosiologis.
Banyak sosiolog dan teolog, mulai dari Max Weber hingga Harvey Cox yang memberikan ulasan mengenai pergeseran dan perampingan peran agama dalam kehidupan sosial akibat berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi, dan menguatnya sistem birokrasi modern. Perkembangan ini pada urutannya telah menggerogoti (atau membantu meringankan?) peran dan klaim-klaim agama yang tadinya begitu sarat dan kompleks.
Kalau dalam masyarakat tradisional, lembaga agama dan tokohnya dianggap sebagai sosok sentral sehingga kepada mereka berbagai persoalan akan dimintakan fatwa dan penyelesaiannya. Memasuki zaman modern, orang mengadukan sebagian besar persoalan pada ilmu pengetahuan, teknologi, dan lembaga sekuler.
Oleh karena itu, posisi tokoh agama menjadi tidak sentral lagi, bahkan cenderung tergeser ke pinggir. Secara psikologis dan teologis, masyarakat modern lebih mudah dan terbiasa berterima kasih kepada sesama manusia dan kepada hasil karyanya ketimbang kepada Tuhan.
Di mata masyarakat teknokratik, posisi dan keterlibatan Tuhan semakin kecil dalam menyelesaikan beberapa persoalan hidup. Kaum profesional semacam bankir, pengacara, dan psikolog telah menggeser dan mengambi alih tugas-tugas kemanusiaan yang semula dikalim sebagai tugas tokoh-tokoh agama.
Menghadapi kenyataan ini, secara umum kita bisa membedakan dua mcam sikap yang ditampilkan oleh tokoh-tokoh agama. Pertama, mereka yang merasa posisinya tergeser sehingga cenderung mengutuk modernisasi yang dianggap bersifat materialistik dan rasionalistik. Kutukan ini kadangkala mendapat pembenaran dengan adanya kenyataan bahwa modernisasi selalu melahirkan ekses-ekses negatif bagi pembangunan moral dan ekses negatif lainnya.
Kedua, tokoh agama yang berpandangan positif yang memiliki apresiasi tinggi terhadap modernisasi. Mereka ini bahkan merasa berterima kasih pada perkembangan sains, teknologi, dan birokrasi modern yang justru dengan perkembangan ini sekian tugas-tugas keagamaan dalam melayani manusia sangat terbantu dan teringankan bebannya.
Perampingan ataupun pengambilalihan sebagian tugas-tugas agama oleh ilmu pengetahuan dan birokrasi modern ini secara sosiologis sering disebut sebagai proses sekularisasi. Meskipun proses sekularisasi ini terjadi pada dataran sosiologis-pragmatikal, ia juga berimplikasi pada wilayah kesadaran teologis, yaitu munculnya proses demitologisasi terhadap objek pemujaan yang bersifat duniawi.
Ketika hukum alam semakin terlihat transparan berkat kemajuan sains dan teknologi, mitos, dan misteri alam yang semula ditabukan kini tidak lagi dianggap sakral. Alam raya dan penghuninya tidak lagi disembah oleh manusia, tetapi bahkan dijinakkan dan dieksploitasi.
Proses sekularisasi ini senantiasa berlangsung terlepas dari apakah kita setuju atau tidak. Hal ini rupanya bagian dari sunnatullah (hukum sejarah). Masyarakat Muslim di Timur barangkali perlu belajar dari pengalaman masyarakat Barat-Kristen yang lebih dahulu menyaksikan dan terlibat dalam pergulatan seru antara misi dan klaim agama di satu pihak dan klaim serta misi ilmu pengetahuan dan filsafat yang rasionalistik-sekularistik di pihak lain.
Ketika proses sekularisasi telah bergeser menjadi ideologi sekularisme yang berkonotasi anti-Tuhan dan menurunkan martabat luhur manusia sebagai hamba Tuhan, pihak yang berhadapan dan harus merasa prihatin tidak hanya Kristen, tetapi juga semua agama besar dunia pada umumnya.
Khususnya umat Islam, yang klaim ajaran agamanya demikian besar dan meliputi semua aspek kehidupan, proses sekularisasi ini merupakan isu yang serius dan tidak jarang membuat para ulamanya mengutuk kemajuan sains dan teknologi sehingga mereka jarang berterima kasih. Sekularisasi dilihat sebagai ancaman, bukan sebagai kekuatan baru yang bisa diajak berkawan dan menjadi mitra dialog untuk ikut meringankan beban agama dan bahkan kemanusiaan.
Salah satu dampak dari sekularisasi yang ditandai dengan menguatnya kepercayaan terhadap kekuatan dan otonomi manusia ialah masyarakat modern merasa terbebaskan dari bayang-bayang otoritas doktrin agama yang membelenggu. Sebaliknya, kalaupun seseorang memilih dan menjalankan agama pilihannya itu lebih didasarkan pada kesadaran diri dan pertimbangan akan kebutuhan, bukan karena paksaan dan otoritas wahyu atau lembaga agama.
Pada tahap ini wahyu lebih berfungsi sebagai sumber inspirasi dan petunjuk, bukan kekuatan yang memaksa dan tidak boleh digugat. Dan, memang demikianlah semestinya, karena keberagaman seseorang yang tidak berdasarkan pilihan sadar dan bebas dari paksaan sesungguhnya mengandung kontradiksi.
Sikap keberagamaan seseorang pada akhirnya sangatlah bersifat pribadi dan tidak mungkin orang lain mampu memaksakannya karena inti keberagamaan yang terdalam berada pada sikap batin seseorang. Secara psikologis kita memang sering melihat fenomena pemaksaan ataupun bujukan keoada seseorang untuk memeluk suatu agama tertentu.
Namun sesungguhnya, keberagamaan yang demikian itu bukanlah keberagamaan yang sejati. Dan, karena tidak sejati, ia tidak akan tahan lama, tidak mendatangkan ketenteraman, dan peningkatan spiritual, malainkan malah mendatangkan kegundahan dan serba kepura-puraan.
Bila kita sepakat bahwa inti keberagamaan itu merupakan hasil pilihan sadar dan bebas, dan hal itu merupakan jalinan subjektif antara seseorang dan Tuhannya, paham pluralisme dan perilaku keberagamaan merupakan kenyataan yang niscaya.
Pemaksaan dalam hal beragama adalah bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri dan juga bertentangan dengan martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka. Menjunjung tinggi nilai-nilai agama berarti menghargai kebebasan orang untuk mengembangkan potensi kemanusiaannya. Menganggap bahwa agama adalah pilihan dan urusan pribadi tidak berarti keberagamaan seseorang, lalu terlepas dari tanggung jawab sosial.
Justru sebaliknya, keberagamaan yang berakar kuat pada kesadaran dirilah yang akan memberikan nilai limpah secara maksimal terhadap upaya-upaya perbaikan masalah kemanusiaan. Jadi, sikap menghargai pluralisme keberagamaan adalah sikap yang natural, logis, dan merupakan bagian dari perwujudan tingkat kedewasaan seseorang dalam menerima kenyataan sejarah.
Mengakui dan menghargai keragaman serta perbedaan agama sesungguhnya juga merupakan bagian dari doktrin Al-Qur'an, walaupun tidak berarti Al-Qur'an membenarkan semua agama yang ada.
Namun yang pasti, baik menurut Al-Qur'an maupun berdasarkan kenyataan historis, proses sekularisasi dan munculnya pluralisme agama dan keberagamaan merupakan bagian dari hukum sejarah (sunnatullah) ketika Al-Qur'an sendiri memberikan isyarat bahkan akomodasi bagi perkembangan tersebut.
Salah satu persoalan yang sering muncul di kalangan tokoh agama adalah mereka sering mengingkari kenyataan ini, lalu mendambakan terwujudnya agama tunggal di muka Bumi. Ini suatu kemustahilan dan bertentangan dengan cetak biru Tuhan. Terdapat kesan bahwa peran agama semakin ramping dan tergeser, sejarah mengajarkan bahwa agama tidak pernah lenyap dari panggung kehidupan manusia.
Agama dan realitas sosial selalu menampilkan hubungan dialektis yang mengisi dan mengkritik sehingga yang satu berjasa bagi yang lain dalam upaya meningkatkan kualitas dan peran masing-masing. Begitupun hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan. Agama bisa memberikan kritik etis pada ilmu pengetahuan, sementara ilmu pengetahuan memberikan kritik dari sisi rasionalitas.
Kita melihat bahwa semua agama akhirnya dihadapkan pada ujian mahkamah sejarah. Dalam pada itu,manusia sendirilah yang tampil sebagai subjek dan hakim yang merasa berkepentingan untuk menentukan sikap dan hakim yang merasa berkepentingan untuk menentukan sikap dan pilihan terhadap agama-agama yang ada. Kemanusiaan yang sejati akan merasa tenteram dan pas hanya jika bertemu dengan pemahaman dan penghayatan agama yang sejati.
Namun, kesejatian beragama bukanlah ibarat peninggalan pakaian yang telah jadi dan tinggal pakai serta pas ukurannya untuk semua orang. Kesejatian dan kenikmatan bergama adalah hasil sebuah pencarian melalui pergulatan panjang, berupa upaya untuk menemukan makna hidup yang kadangkala muncul sebagai akumulasi pencarian oleh generasi yang satu diteruskan oleh generasi berikutnya.
Dalam pencarian ini, para rasul utusan Tuhan merupakan guru-guru utamanya, yang sayangnya kita tidak hidup semasa dengan mereka, sementara Tuhan juga sudah menyatakan mengakhiri misi kerasulan. Jadi, bukankah keragamaan itu suatu keniscayaan positif sepanjang masing-masing berniat mancari kebenaran secara tulus dan konsisten?