we have to speak clearly, no matter how uncomfortable that may be. You only speak of green eternal economic growth because you are too scared of being unpopular. You only talk about moving forward with the same bad ideas that got us into this mess, even when the only sensible thing to do is pull the emergency brake. 

You are not mature enough to tell it like is. Even that burden you leave to us children. But I don’t care about being popular. I care about climate justice and the living planet. — Greta Thunberg, pernyataannya dalam pidato di depan delegasi dunia pada Konferensi Perubahan Iklim dunia di Katowice, Polandia, pada Desember 2018.

Adalah seorang Greta Thunberg. Di tengah siksaan musim dingin Swedia pada Agustus 2018, Greta yang saat itu kelas sembilan berusia 15 tahun, berdiri di depan gedung Parlemen setiap hari dengan papan bertuliskan “bolos sekolah untuk iklim” (scolstrejk för klimatet, dalam bahasa Swedia).

Dipicu oleh gelombang panas (heatwaves) dan kebakaran hutan besar-besaran di Swedia, Greta berdiri di sana setiap hari hingga pemilihan umum pada 9 September 2018, menuntut anggota parlemen yang berusia satu, dua, bahkan tiga generasi di atasnya untuk mengurangi emisi gas-gas rumah kaca penyebab pemanasan global sesuai dengan komitmen di Perjanjian Paris, demi masa depan anak-anak seusia Greta.

Sesudah pemilihan umum Swedia itu, dia hanya membolos pada tiap hari Jumat (Crouch 2018).

Gambar 1. Greta Thunberg, 15, memegang plakat yang berbunyi ‘Bolos sekolah untuk iklim’, pada aksi protesnya di luar gedung parlemen Swedia di Stockholm November 2018 yang lalu.  Foto: Hanna Franzen/EPA, diambil dari The Guardian.


Apa yang dilakukan Greta sontak menginspirasi anak-anak sekolah lain di seluruh dunia. Pada Desember 2018, hanya beberapa bulan kemudian, lebih dari 20.000 anak sekolah melakukan “bolos sekolah untuk iklim” di paling tidak 270 kota di dunia (Carrington 2018, Carrington 2019).  

Greta bercerita bahwa aktivis muda di Florida, Amerika Serikat, yang mengorganisir Gerakan Untuk Hidup Kita (March For Our Lives) setelah terjadinya penembakan massal di sana, sebagai sumber inspirasinya (CNN 2018). Pada November 2018, Greta diminta untuk berbicara di TEDxStockholm.  

Pada Desember 2018, dia memberikan pidato di depan Konperensi Perubahan Iklim di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dan pada Januari 2019 diminta berbicara pada World Economic Forum di Davos.  

Dia adalah Greta, seorang anak berkebutuhan istimewa. Dia hidup dengan asperger, sebuah sisi pada spektrum autisme, dengan sindroma selective mutism, yaitu “kebisuan selektif”: dia hanya bicara bila sungguh-sungguh ada gunanya. Dan, menurutnya, inilah saatnya dia bicara (seperti yang dia nyatakan pada pidato TEDx-nya).  

Pengaruh Greta begitu kuatnya hingga pada Maret 2019, anggota parlemen Norwegia, Freddy André Øvstegård mencalonkan Greta untuk menjadi pemenang Hadiah Nobel Perdamaian. Pencalonan ini mendapat dukungan masif dari seluruh dunia (Carrington 2019).

Greta Thunberg adalah bagian penting dari sejarah pergerakan masyarakat sipil yang sangat tidak puas dengan apa yang telah dilakukan oleh generasi di atasnya untuk memberikan solusi pada ancaman perubahan iklim. Ini adalah sejarah pergerakan yang panjang, dimulai dari penemuan-penemuan ilmiah yang memperlihatkan bahwa bumi kita memanas, dan gas-gas rumah kaca akibat industrialisasi adalah penyebab utamanya.

Bumi yang Semakin Panas, dan Kita Tidak Punya Waktu Lagi

Saat saya membaca email pemberitahuan itu, saya sedang berada di Swiss bersama teman-teman, napak tilas perjalanan hidup maestro ilmu pengetahuan yang jenius Albert Einstein. Einstein (1879-1955) tinggal di Swiss antara 1895 dan 1914.  Einstein mendapatkan diplomanya dari Sekolah Politeknik Federal Swiss, yang kemudian diganti namanya menjadi Sekolah Tinggi Teknik Swiss (Eidgenössische Technische Hochschule, ETH) pada 1900, dan doktoralnya dari Universitas Zurich.  Pada 1905 saat usianya 26 tahun, Einstein mempublikasikan empat karya tulisnya yang membuatnya mulai diperhitungkan dalam dunia keilmuan. Tahun itu disebut sebagai “annus mirabilis” (tahun istimewa).  Pada 1933, Einstein pergi ke Amerika Serikat, dan pada 1940 mengambil kewarganegaraan Amerika.  Saya sangat tertarik mempelajari riwayat hidupnya, karena kebetulan setahun sebelumnya saya baru saja menyelesaikan residensi sebagai peneliti tamu (visiting scholar) di ETH di Zurich.

Email yang saya terima datang dari Komite Nobel, yang memberitahukan bahwa the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), bersama-sama dengan Al Gore, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian 2007 (Nobel Price Committee 2007).  Saya mendapatkan email itu melalui R.K. Pachauri, sahabat saya yang saat itu menjadi Ketua IPCC, di mana saya menjadi salah satu anggotanya.

Tahun 2007 adalah tahun terakhir saya menjadi satu dari sekitar tiga-ribuan ilmuwan yang saat itu menjadi anggota IPCC yang secara sinambung mengamati dan mengkaji progres pengetahuan ilmiah mengenai perubahan iklim.  Saat itu, IPCC baru saja menyelesaikan sebuah lagi kajiannya, keempat dari serialnya.  Saya menyumbang dengan menjadi Lead Author Laporan Kajian Keempat itu, utamanya pada bab mengenai kerjasama internasional dan kajian ilmu-ilmu sosial tentang perubahan ekosistem dunia.  Tahun itu pula saya diminta untuk menjadi Senior Advisor Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar saat Indonesia menjadi tuan rumah Conference of the Parties ke-13 (COP13) dari United Nations Framework Convention on CLimate CHnage  di Bali, di mana Laporan Kajian Keempat IPCC diluncurkan.

Saat itu, IPCC sudah menjadi lembaga yang paling berpengaruh dalam penyebaran informasi ilmiah mengenai krisis iklim sejak lama, dan menjadi pionir dalam upaya penyadaran masyarakat dunia mengenai krisis iklim yang sedang terjadi. IPCC adalah lembaga keilmuan acuan untuk topic pemanasan global dan perubahan iklim.  

Dibentuk pada 1988 oleh Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization, WMO) dan Program Lingkungan PBB (United Nations Environment Program, UNEP), IPCC bertujuan untuk memberikan informasi kepada semua pemerintah dari berbagai lapisan untuk mengembangkan kebijakan negara mereka.  Laporan-laporan kajian yang diterbitkan oleh IPCC juga menjadi acuan penting dalam proses negosiasi perjanjian perubahan iklim dunia. Sejak menerima Hadiah Nobel Perdamaian, tentu saja peran dan arti-penting IPCC dalam upaya untuk menghadapi krisis iklim semakin kuat.

Laporan Kajian Pertama (First Assessment Report) diterbitkan pada 1990, bertepatan dengan Konferensi Iklim Dunia Kedua (Second World Climate Conference) di Geneve, Swiss. Dalam konferensi itu, laporan IPCC ini menjadi dasar untuk mengeluarkan Pernyataan Menteri (Ministerial Declaration) mengenai bagaimana dunia harus menghadapi perubahan iklim.  Kajian Pertama ini menyebutkan dengan pasti bahwa emisi yang dihasilkan oleh aktivitas manusia telah meningkatkan konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer, menyebabkan permukaan Bumi menjadi semakin panas. Kajian ini juga menyimpulkan bahwa peningkatan suhu yang akan terjadi adalah sebesar 0,3 °C per dekade (IPCC 1990).

Salah satu langkah lanjut dari deklarasi itu adalah pembentukan International Negotiating Committee for a Framework Convention on Climate Change (INC-FCCC, atau biasa disebut sebagai INC saja), dan pembentukan Sistem Pengamatan Iklim Dunia (Global Climate Observing System, GCOS), yang pada ujungnya menelurkan sebuah perjanjian internasional yang mengatur komitmen semua negara di dunia dalam menghadapi perubahan iklim: United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), atau Kerangka Kerja Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim, yang diadopsi pada 1992.

Dari Pengetahuan Ilmiah Menjadi Kebijakan Dunia

Holding the increase in the global average temperature to well below 2°C above pre-industrial levels and pursuing efforts to limit the temperature increase to 1.5°C above pre-industrial levels … — Pasal 2, Perjanjian Paris untuk United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Pada 1992, saat dunia memperingati 20 tahun United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) — saat konsep “pembangunan berkelanjutan” mulai digulirkan — UNFCCC diadopsi oleh semua negara di dunia. Pada 1995, UNFCCC resmi berkekuatan hukum.  

Pada 1997, Protokol Kyoto diadopsi sebagai perjanjian operasionalnya. Dan pada akhirnya, pada 2015, Perjanjian Paris diadopsi sebagai perjanjian operasional lanjutannya, meneruskan Protokol Kyoto yang habis masa berlakunya pada 2012.

Tujuan utama Perjanjian Paris adalah untuk menjaga kenaikan suhu bumi jauh di bawah 2 °C, bahkan melakukan upaya untuk membatasinya pada 1,5 °C saja di atas suhu di zaman pra-industri, sekitar 1850.  

Perjanjian Paris yang disepakati pada 2015 di Paris, Perancis, adalah bagian dari UNFCCC. Setelah menyepakati tujuan utama Perjanjian Paris itu, UNFCCC kemudian meminta IPCC untuk melakukan kajian mengenai implikasi ilmiah dari tujuan umum pembatasan kenaikan suhu bumi itu. Hasilnya, kita mungkin hanya memiliki hanya hingga 2030 untuk melakukan sesuatu, sebelum kesempatan itu tertutup dan pemanasan global lebih sulit lagi ditangani (IPCC 2018).

Perjanjian Paris adalah sebuah perjanjian dunia tentang perubahan iklim yang, untuk pertama kalinya, mencakup semua negara di dunia tanpa kecuali. Negara maju dan negara berkembang sama-sama berkomitmen untuk membatasi emisi gas-gas rumah kaca mereka. Pembatasan ini berbeda-beda, tergantung kemampuan dan kesepakatan politik masing-masing negara itu.  

Komitmen pembatasan ini disebut dengan Kontribusi Yang Ditentukan Secara Nasional (Nationally Determined Contributions, NDC). Laporan Dua Tahunan akan dikirimkan secara berkala ke UNFCCC untuk memperlihatkan kemajuan tiap-tiap negara itu dalam pelaksanaan komitmen Perjanjian Paris mereka.  

Setelah lima tahun sesudah Perjanjian Paris diadopsi (berarti pada 2020 nanti), semua negara akan memberikan review atas NDC mereka, untuk melihat kemungkinan meningkatkan lagi ambisi pembatasan emisi dunia lewat kumpulan NDC negara-negara.

Review NDC ini penting adanya, karena bahkan bila semua NDC negara-negara dunia ini tercapaipun, suhu dunia masih akan meningkat jauh lebih tinggi dari 2 °C, apalagi 1,5 °C. United Nations Environment Program (UNEP, Program Lingkungan PBB) membuat sebuah kajian yang melihat gap antara penurunan emisi gas-gas rumah kaca yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan umum Perjanjian Paris pada 1,5 °C dan 2 °C dan penuruan emisi yang akan terjadi yang akan dicapai melalui NDC negara-negara dunia yang telah ada di Perjanjian Paris tersebut (UNEP 2018).

Gambar 2.  Emisi gas-gas rumah kaca dalam berbagai skenario dan gap penurunan emisi pada 2030 (estimasi median), dari UNEP (2018).


Tanpa Perjanjian Paris, emisi total dunia akan menjadi 65 gigaton (Gt, miliar ton, dengan range antara 60 dan 70 Gt) pada 2030. Kebijakan-kebijakan saat ini menjaganya pada 59 Gt (56 – 60 Gt).  

Porsi “unconditional” dari NDC negara-negara — porsi di mana negara-negara tersebut membatasi emisi secara unilateral — akan menurunkannya hingga 56 Gt (52 – 58 Gt). Porsi “conditional” — porsi di mana negara-negara tersebut membatasi emisi hanya bila ada bantuan dari negara-negara maju — akan menurunkannya lagi menjadi 53 Gt (49 – 55 Gt).  Tabel 1 di bawah memperlihatkan hal ini.


Tabel 1.  Gap penurunan emisi antara proyeksi emisi tanpa kebijakan apa-apa, kebijakan yang ada saat ini, dan perkiraan penurunan akibat NDC unconditional dan conditional, dibandingkan dengan penurunan emisi yang dibutuhkan untuk menjaga kenaikan suhu agar tidak lebih dari 2 °C dan 1,5 °C.  Angka didapat dari UNEP (2018), disederhanakan.


Komitmen “conditional” dalam NDC negara-negara dunia dalam Perjanjian Paris akan mengurangi emisi dari 65 Gt menjadi sekitar 53 Gt per tahun pada 2030, atau sekitar 12 Gt. Bahkan bila semua negara berhasil memenuhi komitmen mereka dengan sempurna, dan kebijakan serta tindakan yang menyebabkan penurunan emisi tersebut dilanjutkan terus setelah 2030, suhu rata-rata bumi masih akan meningkat sekitar 2,9 hingga 3,4 °C di atas suhu era praindustri (UNEP 2018).

Untuk menjaga kenaikan temperatur tidak melebihi 2 °C, emisi gas-gas rumah kaca dunia tidak boleh lebih dari 40 Gt per tahun, atau penurunan sekitar 25 Gt, pada 2030. Ini adalah penambahan jumlah emisi yang diturunkan sebanyak 13 Gt lagi dari 12 Gt — lebih dari melipatduakan — yang telah ada dalam Perjanjian Paris.  

Untuk menjaga kenaikan temperatur tidak melebihi 1,5 °C, emisi dunia tidak boleh melebihi 24 Gt per tahun, atau penurunan sekitar 41 Gt, pada 2030, yaitu 29 Gt lebih banyak dari yang telah ada dalam Perjanjian Paris (UNEP 2018). 

Ini berarti, negara-negara di dunia harus melipat-tigakan komitmen mereka dalam Perjanjian Paris agar suhu rata-rata bumi tidak memanas melebihi 1,5 °C, dan sampai 2050 dan sesudahnya terus menurunkannya hingga gas-gas rumah kaca yang dilepaskan sama jumlahnya dengan yang diserap (UNEP 2018).

Perjalanan Panjang Menuju Paris

Perjalanan menuju diadopsinya Perjanjian Paris bukannya mulus. Dari awal, kontestasi berbagai kepentingan dunia berusaha membentuk perjanjian-perjanjian itu melalui proses negosiasi yang ada sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Saya beruntung bisa mengikuti proses ini sejak awal, baik proses negosiasi antar-pemerintahnya mulai 1991 maupun proses ilmiahnya sebagai anggota IPCC hingga 2007.  

Pertama, ada dua kelompok besar, yaitu negara-genara maju (developed countries) dan berkembang (developing countries). Dua penggolongan ini adalah pemisahan yang paling kuat dan paling dalam, karena sangat erat hubungannya dengan jumlah emisinya, kewajiban untuk mengurangi emisinya, dan kewajiban untuk membantu pembiayaannya. Hal ini pula yang menyebabkan pelaksanaan UNFCCC dibedakan antara negara-negara maju dengan berkembang.  

Yang dianggap — atau menganggap dirinya — sebagai negara maju dimasukkan ke dalam daftar pada Annex 1 dari UNFCCC, dengan demikian sering disebut sebagai “negara-negara Annex 1”. Negara berkembang adalah yang tidak dimasukkan dalam daftar Annex 1 tersebut, sehingga disebut juga sebagai “negara-negara Non-Annex 1”.  

(Ada kasus lucu di sini, di mana Turki, yang pada awalnya dimasukkan ke dalam daftar Annex 1 sebagai negara maju, berusaha untuk dikeluarkan dari daftar Annex 1 tersebut, walaupun saat itu juga sedang berjuang mati-matian untuk masuk Uni Eropa, yang mana semua anggotanya otomatis masuk ke dalam daftar Annex 1 itu.  Tapi, pada saat yang bersamaan, Turki menganggap dirinya tidak cukup maju sebagai negara yang bisa memenuhi tuntutan UNFCCC seperti negara-negara lainnya. Di lain pihak, Kazakhstan berusaha dan meminta untuk dimasukkan ke dalam daftar Annex 1 itu, di mana pada awalnya dia dianggap sebagai negara berkembang.)

Selain cara penggolongan dikotomis itu, ada pula "penggolongan" yang lebih informal berdasarkan kepentingan. Negara-negara penghasil dan pengekspor energi fosil, utamanya negara-negara Timur Tengah dan negara-negara anggota Organization of Petroleum Exporting Countries, OPEC, yang bukan cuma selalu menghalangi ajakan pembatasan emisi karbon (karena kemungkinan besar akan menurunkan ekspor bahan-bakar fosil mereka), tapi juga menuntut kompensasi atas gangguan ekonomi yang terjadi akibat penurunan ekspor tersebut. 

Negara-negara berhutan, utamanya di Amerika Tengah dan Selatan (dengan Brazil sebagai yang terbesar di antaranya), dan sedikit di Afrika, memperjuangkan peran hutan sebagai penyerap dan penyimpan karbon.  

Negara-negara kepulauan kecil mengorganisir diri dalam sebuah blok negosiasi bersama, yaitu Asosiasi Negara-Negara Pulau Kecil (Association of Small Island States, AOSIS), karena kesamaan kepentingan: mereka adalah negara-negara yang akan paling terdampak bila perubahan iklim terjadi. 

Beberapa di antaranya malah terancam hilang dari peta dunia akibat tertelan kenaikan permukaan air laut. Indonesia selalu berada di tengah-tengah konflik kepentingan ini karena posisi geopolitisnya yang unik: saat itu sebagai pengekspor minyak, berhutan, berpenduduk besar dengan pendapatan per kapita yang tidak terlalu tinggi, dan negara dengan banyak sekali pulau-pulau kecil yang akan terdampak oleh perubahan iklim.

Proses negosiasi perubahan iklim dimulai pertama kalinya saat Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (United Nations General Assembly, UNGA) membentuk INC dalam rangka merespons penemuan para ilmuwan akan adanya gejala pemanasan global dan perubahan iklim pada Second World Climate Conference (SWCC), saat IPCC meluncurkan Laporan Kajian Pertamanya pada 1990.

Pertemuan INC pertama diadakan di Chantilly, sebuah kota kecil dekat Washington, DC, Amerika Serikat, pada Februari 1991. Beberapa pertemuan INC diadakan lagi, biasanya di markas besar PBB di Geneva, hingga rancangan UNFCCC diadopsi pada 1992, dan siap dibawa ke pertemuan akbar United Nations Conference on Environment and Development (UNCED), juga dikenal sebagai the Earth Summit atau Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi pada 1992 itu. 

Pada 1994, UNFCCC telah memenuhi syarat berkekuatan hukumnya, dan pada 1995, Conference of the Parties (COP1, Pertemuan Para Pihak) pertama UNFCCC diadakan di Berlin, Jerman.

Antara 1995 dan 1997, proses negosiasi kembali ramai.  Perjanjian di bawah UNFCCC untuk memulai pelaksanaannya mulai dirancang. Pada 1997, proses panjang — salah satunya dengan drama saat Menteri Lingkungan Hidup Jepang “dipanggil ke Tokyo” dan dengan demikian harus meninggalkan sidang (Banyak yang menduga Pak Menteri itu cuma putus asa melihat sidang negosiasi yang tidak memperlihatkan kemungkinan berhasil) — di COP3 di Kyoto, Jepang, itu akhirnya menelurkan Protokol Kyoto.  Protokol Kyoto adalah perjanjian internasional pertama yang memberikan target kuantitatif untuk penurunan emisi.  

Negara-negara maju — negara-negara Annex 1 — berkomitmen untuk menurunkan rata-rata tahunan dari emisi total mereka pada perioda 2008-2012 (perioda komitmen pertama) sebanyak 5 persen di bawah tingkat emisi mereka pada 2000. Penurunan emisi ini bisa dilakukan sendiri, atau bersama-sama dengan negara lain, termasuk bersama negara berkembang.  

Awalnya, ada ekspektasi bahwa perioda pertama Protokol Kyoto ini akan dilanjutkan dengan perioda kedua, ketiga, dan seterusnya. Tetapi ternyata perioda pertama itulah satu-satunya perioda untuk Protokol Kyoto.  Tahun 2012 praktis merupakan tahun terakhir berlakunya Protokol Kyoto.

Tahun 2007 harus diberi tanda sebagai tahun istimewa dalam rangkaian sejarah perkembangan kebijakan perubahan iklim internasional. Pertama, IPCC mendapat hadiah Nobel Perdamaian bersama Al Gore, sebagai pengakuan dunia atas upaya mereka mengangkat permasalahan perubahan iklim pada diskursus kebijakan dunia.  Kedua, Indonesia — Bali — menjadi tuan rumah COP13, sebuah COP yang cukup penting. Ketiga, konsep “reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan” (Reduction of Emissions from Deforestation and Degradation of Forests, REDD+), sebuah terobosan di mana pengurangan tingkat kerusakan hutan diakui sebagai upaya penurunan emisi yang layak diberikan insentif finansial oleh masyarakat internasional, diakui secara formal di dalam perjanjian Internasional.  Pada gilirannya nanti, REDD+ akan menjadi sebuah mekanisme penting untuk negara-negara berkembang dengan tutupan hutan dan laju kerusakan hutan yang tinggi seperti Indonesia.

Setelah jelas bahwa Protokol Kyoto tidak lagi mendapat tempat dalam proses kesepakatan kebijakan perubahan iklim dunia, sejak 2012 negosiasi terfokus pada penyusunan sebuah perjanjian baru yang digagas sebagai penggantinya. Perjanjian baru ini digadang akan segera diimplementasikan pada 2020.  Pada 2015, COP21 di Paris, Perancis, menelurkan Perjanjian Paris yang diadopsi oleh semua negara.  

Tujuan utama Perjanjian Paris, seperti tertuang pada Pasal 2, adalah “menjaga kenaikan rata-rata suhu bumi pada jauh di bawah 2 °C di atas tingkat suhu pra-industri dan mengupayakan agar menjaganya pada 1,5 °C di atas tingkat pra-industri.”  

Tujuan ini dicapai melalui komitmen dari negara-negara pihak yang dicantumkan sebagai Kontribusi Yang Ditentukan Secara Nasional (Nationally-Determined Contribution, NDC). Seperti juga Protokol Kyoto, Perjanjian Paris juga membolehkan pemenuhan kontribusi ini secara bersama-sama oleh lebih dari satu negara, seperti tercantum dalam Pasal 6.

Gambar 3.  Memimpin Contact Group on REDD+ Finance, bersama Prof. Christina Voigt dari Norwegia, di COP19 di Warsawa, Polandia, pada 2013.


REDD+ adalah bagian penting dari Perjanjian Paris.  REDD+ juga mekanisme penting untuk Indonesia. Antara 2013 dan 2014, selama setahun penuh, saya sempat diberi kepercayaan untuk menjadi Ketua Bersama (bersama dengan Prof. Christina Voigt dari Norwegia) pada Kelompok Kerja Pendanaan REDD+ di UNFCCC.  Kelompok Kerja ini pada COP20 di Warsawa, Polandia, kemudian berganti fungsi menjadi Kelompok Kontak (Contact Group) Pendanaan REDD+, sebuah kelompok yang secara khusus menegosiasikan keputusan UNFCCC mengenai bagaimana upaya penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dapat didanai. Keputusan Kelompok Kontak ini kemudian digabung dengan keputusan-keputusan lainnya yang membentuk Keputusan UNFCCC mengenai Perjanjian Paris, yang disepakati pada COP21 di Paris, Perancis.

Antara 2015 dan 2020, karena Perjanjian Paris akan mulai berlaku pada 2020, maka negosiasi berkisar pada pembuatan sebuah “buku peraturan” (rule book) pelaksanaan perjanjian tersebut yang harus selesai sebelum 2020.  

Di Katowice, Polandia, pada COP24 pada Desember 2018 — tempat di mana Greta Thunberg memberikan pidatonya yang menyentuh hati semua yang hadir di sana — satu demi satu isyu yang akan membangun buku peraturan ini dibangun.  

Pada pertemuan itu, cara mengukur, melaporkan, dan memverifikasi upaya-upaya penurunan emisi negara-negara akhirnya disepakati. Mendekati akhir waktu negosiasi, proses itu tersandera oleh isyu pasar karbon (bagaimana mempertukarkan penurunan emisi di sebuah negara untuk memenuhi komitmen penurunan emisi negara lain, utamanya diatur pada Pasal 6 Perjanjian Paris), dan isyu penghitungan penyerapan emisi oleh hutan (di angkat oleh Brazil, tentu saja karena dia adalah negara dengan tutupan hutan terluas di dunia). 

Walaupun demikian, isyu penting seperti bagaimana komitmen yang diberikan oleh negara-negara di seluruh dunia di NDC dapat ditingkatkan ambisinya (karena apa yang ada di dalam Perjanjian Paris belumlah cukup untuk mencapai tujuannya) justru luput didiskusikan. 

Finalisasi negosiasi mengenai pertukaran kredit penurunan emisi karbon (pelaksanaan Pasal 6 Perjanjian Paris) akhirnya harus ditunda hingga COP berikutnya, COP25 pada akhir tahun 2019 ini (Harvey 2018a, Harvey 2018b). Brazil tadinya akan menjadi tuan rumah COP25, tetapi Presiden Brazil yang baru terpilih, Bolsonaro, membatalkan tawaran itu.  Chile mengambil alih dengan menawarkan Santiago sebagai tempat pelaksanaan COP25 nanti.

Salah satu penyebab permasalahan sulitnya negosiasi perubahan iklim antar-bangsa ini adalah Amerika Serikat (AS). Sudah dua kali AS “mengkhianati” perjanjian dunia.  Yang pertama, segera setelah Protokol Kyoto diadopsi, Presiden George H. Bush menyatakan untuk tidak akan meratifikasinya. Posisi ini tampaknya diambil setelah 95 dari 100 anggota kongres (parlemen) menolak kemungkinan untuk meratifikasinya (dan 5 orang sisanya abstain).  

Alasan utamanya adalah bahwa Protokol Kyoto “tidak adil” karena melepaskan “penyumbang emisi besar” seperti Cina dan India dari tanggung jawab yang lebih konkrit dan kuantitatif untuk menurunkan emisi mereka, walaupun mereka negara berkembang dengan jumlah penduduk besar, dan dengan demikian memiliki jumlah emisi per kapita yang kecil saja, dan mereka masih membutuhkan pertumbuhan ekonomi untuk mengangkat sebagian rakyat mereka keluar dari kemiskinan.  

Yang kedua, segera sesudah Perjanjian Paris diadopsi — dengan ekspektasi tinggi untuk akhirnya bisa memenuhi “selera” AS karena telah memasukkan negara-negara berkembang, utamanya Cina dan India, untuk berkomitmen membatasi emisinya seperti dilakukan oleh negara-negara maju — Donald Trump terpilih menjadi Presiden AS dan, kali ini dengan alasan bahwa Perjanjian Paris akan mengganggu ekonomi AS, menyatakan keluar dari perjanjian tersebut. Jalan untuk memerangi perubahan iklim tampaknya masih sangat panjang.

Greta lagi, saat menutup pidatonya di Katowice tahun lalu. “Pada 2078, saya akan merayakan ulang tahun saya yang ke-75. Bila saya punya anak, mungkin mereka akan menghabiskan hari bersama saya. Mungkin mereka akan bertanya mengenai kalian. Mungkin mereka akan bertanya, mengapa kalian tidak melakukan apa-apa saat masih ada waktu untuk itu. Kalian bilang, kalian mencintai anak-anak kalian di atas apapun juga, tapi tetap saja kalian merampas masa depan mereka di depan mata mereka sendiri. Sebelum kalian fokus pada apa yang harus dilakukan, bukan hanya apa yang bisa, secara politis, tak ada lagi harapan. Kita tidak bisa menyelesaikan krisis tanpa memperlakukannya sebagai sebuah krisis.  Kita harus meninggalkan bahan bakar fosil di dalam tanah, dan kita harus fokus pada pemerataan. Dan bila penyelesaian di dalam sistem mustahil untuk ditemukan, mungkin kita memang harus mengganti sistem itu sendiri. Kami tidaklah datang ke sini untuk mengemis pemimpin-pemimpin kami untuk peduli. Kalian telah tidak mempedulikan kami di masa lalu, dan kalian akan tetapi tidak mempedulikan kami. Kita telah kehabisan alasan dan waktu. Kami datang kesini untuk memberitahu bahwa perubahan telah datang, disukai atau tidak.  Kekuasaan yang sebenarnya ada di tangan rakyat.”

Acuan

Carrington, D., 2018. “'Our Leaders Are Like Children,' School Strike Founder Tells Climate Summit”,The Guardian (4 Desember 2018). 

Carrington, D., 2019. “Greta Thunberg Nominated for Nobel Peace Prize”, The Guardian(14 Maret 2019).

“Teen Activist on Climate Change: If We Don't Do Anything Right Now, We're Screwed”, CNN(23 Desember 2018).  https://www.youtube.com/watch?v=rGmBkIUwYkA

Crouch, D., 2018. “The Swedish 15-Year-Old Who's Cutting Class to Fight The Climate Crisis”, The Guardian (1 September 2018). 

Nobel Prize Committee, 2007.  “The Nobel Peace Prize for 2007” (12 Oktober 2007) (https://www.nobelprize.org/prizes/peace/2007/press-release/).

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), 1990.  Climate Change: The 1990 and 1992 IPCC Assessments.  Intergovernmental Panel on Climate Change, Geneva, Swiss. 

PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa), 1992.  United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

PBB, 1997.  Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change.

PBB, 2015.  Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change.