Beberapa teman bertanya ke saya tentang film Losmen Bu Broto yang saya tonton kemarin. Saya katakan film yang manis, ceritanya juga manis dan tidak terjebak dalam drama berlebihan.

Losmen Bu Broto diadaptasi dari serial TVRI berjudul Losmen dan menceritakan keseharian Pak Broto dan Bu Broto mengelola losmen keluarga bersama ketiga anaknya. Film ini langsung menghembuskan aura Yogyakarta yang kental sejak awal. Dari bangunan losmen dengan detil-detil khas Jawa, hingga suasana kota Jogja yang ayem tentrem dan masyarakatnya gemar saling menyapa. Saat Mathias Muchus sebagai Pak Broto sedang jogging di pagi hari, film menampilkan adegan masyarakat yang ramah saling menyapa.

Sayang nuansa Yogya yang terasa cenderung melempar kita ke masa lalu, era 80an saat drama Losmen versi TVRI diproduksi, dan bukan jaman now seperti yang dikisahkan dalam film. Yogya masa kini, bukan lagi kota bertempo largo. Penduduknya begitu sibuk saat di ruang publik hingga tak lagi saling menyapa. Keadaan lalu lintas terlalu padat, dan seseorang harus benar-benar konsentrasi saat melintas di jalan raya, kalau tidak ingin diteriaki,  “Nggir…ra minggir tabrak..”

Losmen Bu Broto patut kita acungi jempol saat mengadaptasi busana Jawa menjadi pas busana modern. Kostum Jawa yang semarak dalam film itu, tak terasa ribet dan tak praktis seperti jarik lilit di masa lampau. Menjadi busana yang terlihat layak dipakai bahkan bila dikenakan oleh komunitas di luar busana Jawa. Busana yang layak  meng-enternesyenel karena praktis, estetik, nyaman di iklim tropis dan secara filosofis menggambarkan kebersahajaan.

Jalan cerita cukup menarik meski bagi saya, ada sedikit pertanyaan tentang sikap Bu Broto yang keras terhadap kehamilan pra nikah yang dialami anaknya. Sikap ini rasanya tidak lazim bagi orangtua dalam bingkai budaya Jawa. Tradisi Jawa dalam kasus kehamilan pranikah cenderung sesuai peribahasa ‘anak polah bapak kepradah’. Artinya tingkah polah anak, menjadi tanggung jawab orang tua. Bila anak belum mandiri, orang tua akan menikahkan dan mengambil alih pembiayaan rumah tangga si anak hingga mereka siap secara ekonomi.

Mungkin Bu Broto tak ingin terjebak menjadi orang tua yang ‘welas tanpo alis’, batin saya. Pepatah Jawa yang sering dikatakan Bude saya saat memarahi saya dulu. Bude tak ingin menjadi orang tua yang  kasih sayangnya menjerumuskan anak menjadi manja, nakal, tak tahu sopan santun dan aneka sifat lainnya. Seingat saya, pepatah welas tanpo alis tak pernah menyertai kasus-kasus ‘nasi yang telah menjadi bubur’, sesuatu yang sudah terlanjur. Pepatah itu bersifat pencegahan. Bila sesuatu yang kurang baik terjadi, tak perlu ribut. Yang terpenting adalah penyelesaian yang bijak.

Saya kemudian bertanya-tanya dalam hati, apakah sifat keras Bu Broto itu dikarenakan film tersebut diluncurkan karena konservativisme (bahkan ultra konservativisme) kembali ramai disuarakan sat ini. Pergeseran nilai dalam cara orang tua menyelesaikan permasalahan anaknya.

Pergeseran nilai adalah sesuatu yang logis terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia. Dan sastra, juga film tentunya, tak pernah lepas dari kisah tentang pergeseran nilai-nilai yang terjadi di masyarakat. Saya teringat dua karya sastrawan F. Scott Fitzgerald yang juga banyak mengilustrasikan pertentangan-pertentangan nilai yang berlaku di masyarakat.

Dalam Great Gatsby, dikisahkan tentang Jay Gatsby, seorang kaya dan flamboyan namun santun dan terpelajar. Gatsby populer dan gemar menyelenggarakan pesta. Hingga akhirnya ia jatuh cinta pada Daisy Buchanan, seorang perempuan yang telah menikah.

Kisah pun mulai menampilkan paradoks-paradoks. Masyarakat mendadak mulai mencela Gatsby, terpecah antara memahami dan menghakimi. Semua paradoks itu berawal dari benturan nilai-nilai yang ada. Gatsby yang gentleman, baik hati, murah hati, memperlakukan Daisy bagaikan ratu, singkatnya Fitzgerald menempelkan semua sifat baik pada tokoh Gatsby. Termasuk juga fakta bahwa di masa lalu Gatsby adalah seorang miskin bernama James Gatz, yang kemudian menjadi kaya dan bahkan mampu mengubah dirinya menjadi terpelajar. Kisah semakin paradoks ketika akhirnya, Gatsby yang baik itu dibunuh oleh seseorang yang dibayar Tom, suami Daisy.

Jay Gatsby yang sangat mapan itu ternyata hanya bercita-cita sederhana: memenangkan hati Daisy Buchanan. Cita-cita sederhana yang tak mampu diraihnya. Bila kisah tersebut terjadi di Amerika masa kini, Daisy Buchanan akan lebih punya kesempatan untuk mengambil keputusan secara otonom, apapun keputusan yang diambilnya. Tak akan ada sekelompok masyarakat menjadi kelompok penekan. Dan tentu saja, tak ada yang melakukan pembenaran atas apa yang dilakukan Tom. Kisah Gatsby berlatar tahun 30an saat masyarakat Amerika masih lebih konservatif dalam hubungan personal di satu sisi, sekaligus masih belum terlalu berpegang bahwa penghilangan nyawa manusia apapun alasannya adalah pelanggaran HAM. Sekali lagi, ada pergeseran nilai di sini.

Selain Great Gatsby, kisah Bernice Bobs Her Hair adalah karya Fitzgerald lainnya yang menggambarkan pergeseran nilai. Bernice dikisahkan sebagai gadis remaja baik-baik dari keluarga menengah Amerika. Ia dibesarkan dengan nilai-nilai tradisional dari orang tuanya: bahwa perempuan baik-baik haruslah terpelajar, menjaga tutur katanya, dan tidak terlalu atraktif baik dalam penampilan maupun pergaulan. Ini masih ditambah dengan rambut panjang, pintar dan wajah cantik. Bernice mulai dipersiapkan menjadi debutante, perempuan muda yang dikenalkan ke masyarakat, agar kemudian mendapatkan jodoh dari kalangan baik-baik.  

Sepupunya Marjorie berkebalikannya: tidak terlihat pintar, cenderung terlalu atraktif namun sangat populer di antara para cowok. Semua berebut ingin menjadi pacarnya. Bernice menurut Marjorie adalah cewek garing, hanya akan disukai orang tua, tetapi tak diinginkan para pria.

Marjorie kemudian mengajari Bernice tentang sensualitas. Bagaimana memikat pria, membuat pria tergila-gila dan akhirnya mengajak menikah. Semua yang diajarkan Marjorie itu sangat jauh dari nilai-nilai yang selama ini dipegang Bernice, nilai-nilai warisan para sepuh. Pria, kata Marjorie, lebih suka digoda. Hati mereka kemudian akan berdebar-debar dan jatuh cinta. Selanjutnya pernikahan impian di depan mata.

Sebagai pembelajar cepat, Bernice berubah seperti yang diajarkan Marjorie. Bernice berubah menjadi gadis populer. Semua pria ingin mengencaninya. Berbeda dengan Great Gatsby yang berakhir pedih, kisah Bernice lebih berakhir ceria. Meski Bernice terpaksa memotong rambut kebanggaannya. Wajahnya menjadi buruk karenanya.

Kisah Bernice seperti juga Great Gatsby berlatar tahun 20an. Saat rambut panjang masih menjadi simbol feminitas dan merujuk pada perempuan baik-baik. Namun demikian, perempuan berambut pendek juga mulai marak, meski mungkin nilai-nilai sosial yang berlaku mengkonotasikan perempuan berambut pendek sebagai liar, bebas dan kurang bermoral. Berambut panjang ataupun memotong rambut menjadi pendek masih menjadi isu besar di lingkungan pergaulan mereka.

Bernice mewakili pergolakan perempuan pada masanya, tak ingin dicap tak bermoral karena berambut pendek di satu sisi, namun juga mulai menikmati keinginan untuk populer dan mengikuti hasrat-hasratnya. “Apakah kamu menyukai rambut pendek?” tanya pemuda tampan bermasa depan gemilang G. Reece pada Bernice suatu ketika.

I think it’s unmoral. But, of course, you’ve either got to amuse people or feed ‘em or shock ‘em.

Demikianlah, nilai-nilai selalu bergeser, karena yang pasti di semesta ini hanyalah perubahan itu sendiri.