Kertas merupakan salah satu produk yang masih sangat dibutuhkan dalam berbagai sektor kehidupan. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti internet dan media sosial ternyata belum mampu mengurangi penggunaan kertas secara signifikan.

Saat ini, kertas tidak hanya digunakan sebagai bahan pembuatan media cetak dan alat tulis kantor. Namun, kertas juga banyak digunakan sebagai bahan pembungkus makanan, karton, dan bahan kerajinan.

Penggunaan kertas yang masih sangat tinggi di masyarakat juga berimbas pada tingginya tingkat permintaan produk pulp dan kertas di pasaran. Meningkatnya permintaan terhadap produk berbasis pulp dan kertas sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh penggunaan kertas yang tinggi di Indonesia, tetapi juga sebabkan oleh permintaan masyarakat dunia terhadap kertas masih tinggi.

Hal ini menyebabkan industri pulp dan kertas menjadi salah satu pemegang utama perekonomian Indonesia. Berdasarkan data yang dikutip dari antaranews.com (2014), Indonesia telah mengekspor pulp dan kertas ke berbagai negara, seperti Malaysia dengan volume 3363,4 ribu ton, Vietnam 356,1 ribu ton, Filipina 163,16 ribu ton dan Thailand 125,86 ribu ton pada tahun 2013.

Tingginya tingkat permintaan produk pulp dan kertas di dunia tentu menjadi tantangan tersendiri bagi industri pulp dan kertas untuk mampu memenuhi permintaan pasar tersebut. Pemerintah dan pihak produsen berupaya untuk semakin meningkatkan produksi di sektor ini.

Melalui berbagai pengembangan dan inovasi, industri pulp dan kertas Indonesia telah mampu bersaing dengan negara-negara lain di dunia. Bahkan pada tahun 2013, Indonesia mampu menempati peringkat ke-9 untuk produsen pulp terbesar di dunia dan peringkat ke-6 untuk produsen kertas terbesar di dunia (Wulandari, 2013).

Melihat kenyataan bahwa perkembangan industri pulp dan kertas semakin meningkat, maka banyak hal yang harus dipikirkan oleh pemerintah sebagai pihak pengendali. Berbagai aspek perlu dievaluasi, khususnya ketersediaan bahan baku. Pada perkembangannya, industri pulp dan kertas di Indonesia masih sangat bergantung pada penggunaan serat kayu sebagai bahan baku pembuatan produk pulp dan kertas.

Secara tidak langsung, hal ini tentu memicu terjadinya permasalahan dalam bidang kehutanan, salah satunya adalah deforestasi. Deforestasi merupakan proses penghilangan hutan alam yang diakibatkan oleh adanya penebangan hutan untuk diambil kayunya atau mengubah hutan menjadi lahan non-hutan. Selain itu, deforestasi juga dapat disebabkan oleh kebakaran hutan baik yang terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja. Fenomena deforestasi di Indonesia saat ini telah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan.

Menurut analisis GFW, total hilangnya tutupan pohon secara global sepanjang tahun 2001-2016 mencapai 23.086.73 hektare, dengan jumlah pengurangan lahan pada tahun 2012 sebanyak 2.424.128 hektare. Berbeda dengan laporan GFW, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menyatakan bahwa tingkat deforestasi global telah mengalami perlambatan lebih dari 50 persen  dalam waktu 25 tahun terakhir.

Namun dalam laporan tersebut, FAO masih menempatkan Indonesia pada zona merah sebagai negara dengan pengurangan tutupan pohon terbesar di dunia. Bahkan bersama dengan brazil berkurangnya tutupan pohon di Indonesia telah berkontribusi terhadap lebih dari seperempat kehilangan tutupan pohon global (2017, Sukoco, kumparan.com).

Deforestasi hutan untuk berbagai kepentingan merupakan salah satu penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati. Selain itu deforestasi juga merupakan ancaman terhadap fungsi ekosistem dan penggunaan lahan secara berkelanjutan (Hoekstra et.al., 2005). Kerusakan dan perubahan lahan hutan akibat kegiatan industri maupun kegiatan lainnya bukan saja mengancam kelestarian keanekaragaman hayati.

Namun, banyak hal yang juga ditimbulkan akibat meningkatnya kasus deforestasi di Indonesia seperti kerusakan habitat, fragmentasi habitat, dan perubahan iklim. Berdasarkan data yang dirilis oleh Germanwatch (2017) menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-37 dalam bidang Climate Change Performance Index (CCPI).

Berdasarkan data yang dilansir dari dw.com (2017) tersebut, Indonesia digolongkan sebagai negara dengan kinerja strategi perubahan iklim yang rendah. Emisi gas rumah kaca per kapita di Indonesia sebenarnya tidak tinggi. Namun angka emisinya cukup tinggi akibat luasnya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia.

Oleh karena itu, perlu adanya terobosan untuk menurunkan tingkat deforestasi di Indonesia. Salah satunya terobosan penggunaan bahan baku berbasis non kayu dalam bidang industri pulp dan kertas.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan Plasma Nutfah. Keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan dan dimanfaatkan demi kemajuan bangsa. Salah satunya dalam bidang industri pulp dan kertas. Kertas biasanya terbuat dari serat kayu yang mengandung selulosa dan hemiselulosa.

Di Indonesia sendiri, banyak sekali bahan alam yang mengandung selulosa dan hemiselulosa, diantaranya sekam padi, pelepah pisang, dan ampas tebu. Kedua bahan ini merupakan limbah yang tidak dimanfaatkan dengan baik. Penggilingan padi akan menghasilkan suatu produk samping berupa sekam.

Sekam yang dihasilkan dari proses penggilingan tersebut sebagian besar hanya digunakan sebagai bahan bakar pembuatan batu bata merah, pembakaran untuk memasak dan dibuang begitu saja. Penanganan hasil samping penggilingan yang kurang tepat akan menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan (Putro dan Prasetyoko, 2007).

Sama halnya dengan sekam padi, pelepah pisang hanya akan menjadi limbah setelah pohonnya berbuah dan kemudian ditebang. Sedangkan ampas tebu yang merupakan hasil sisa pada industri gula juga hanya akan menjadi limbah yang kemudian akan mencemari lingkungan jika tidak ditangani dengan baik. Padahal bahan-bahan tersebut memiliki potensi yang tinggi untuk digunakan sebagai bahan baku pengganti dalam pembuatan pulp dan kertas.

Sekam padi, pelapah pisang, dan ampas tebu dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kertas dikarenakan kandungan yang ada pada bahan tersebut. Menurut Ismail dan Wailuddin (1996) menyatakan bahwa sekam padi terdiri atas 50% selulosa, 25%-30% lignin, dan 15%-20% silika.

Ampas tebu mengandung 26%-43% selulosa, 17%-23% hemiselulosa, 20%-33%  pentosan dan 13%-22% lignin (Shabiri et al.,2014). Sedangkan pelepah pisang juga mengandung selulosa yang cukup tinggi untuk digunakan sebagai pembuat kertas. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Prabawati dan Wijaya (2008), telah dilakukan penelitian tentang pembuatan kertas dengan mengkombinasikan limbah sekam padi dan pelepah pisang.

Penelitian ini dilakukan dengan metode proses basa menggunakan natrium hidroksida (NaOH). Produk yang dihasilkan pada penelitian ini berupa kertas dengan corak yang khas dan juga memiliki beberapa warna seperti kuning, kuning tua, dan coklat.

Selain itu, Ristianingsih dkk. (2014) juga telah melakukan penelitian mengenai pembuatan kertas dengan menggunakan bahan baku berupa sekam padi dan ampas tebu. Kedua bahan kemudian dicampur dan diolah dengan menggunakan metode soda berupa natrium hidroksida dan selanjutnya terbentuklah pulp yang kemudian akan dicetak menjadi kertas.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil berupa kertas dengan warna yang bervariasi sesuai dengan perbandingan setiap bahan yang dicampurkan. Selain itu, pencampuran ampas tebu juga dapat meningkatkan kerapatan kertas yang dihasilkan sehingga kualitas produk kertas yang dihasilkan akan semakin baik.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tersebut, pulp dan kertas dapat dibuat dengan menggunakan bahan baku non kayu seperti sekam padi, pelepah pisang, dan ampas tebu. Industri pulp dan kertas seharusnya mulai mencari terobosan baru dalam pengembangan bahan baku alternatif dalam pembuatan produk pulp dan kertas.

Hal ini tentu akan menjadi salah satu angin segar dalam masalah deforestasi hutan yang saat ini sedang sedang berada pada titik yang cukup mengkhawatirkan. Selain menjaga kelestarian dan ekosistem hutan di Indonesia, penggunaan bahan-bahan alternatif ini juga diharapkan dapat meningkat nilai ekonomis dari bahan-bahan yang biasanya tidak dimanfaatkan dengan baik.

Selain itu, jika penggunaan bahan-bahan alternatif ini dapat dikembangkan dengan baik, maka akan mendorong terbentuknya ekonomi berkelanjutan dan memicu berkembangnya green industry yang lebih ramah lingkungan sehingga interaksi antara dimensi ekonomi dan ekologi dapat terjalin dengan baik. Bersinergi membangun dan membawa Indonesia menuju peradaban yang lebih baik.