Sejarawan Ong Hok Ham dalam buku berjudul 'Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang', menceritakan tentang Marsekal Herman Willem Daendels sebagai gubernur jendral Hindia Belanda pertama yang membawa konsep negara modern di Indonesia. Meski masa pemerintahannya yang singkat, Daendels mengenalkan konsep batas-batas daerah, wilayah, hierarki kepegawaian serta tindakan anti korupsi. Bahkan pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang selama ini saya kira murni kerja paksa, adalah bukti efisiensi Daendels dalam menyelenggarakan pemerintahan. Ini berarti Daendels melakukan pemberantasan korupsi dan pembaruan moral di kalangan pejabat Belanda.

Sayang penguasa Belanda mengalami krisis besar beberapa waktu kemudian, dengan adanya perang Diponegoro. Yang menyebabkan kerugian finansial dan gangguan stabilitas luar biasa bagi pemerintah Hindia Belanda. Setelah perang selesai, mulailah era pengawasan ketat bagi seluruh daerah terutama Jawa, bahkan Surakarta, yang sebenarnya tidak terlibat perang Diponegoro.

Puncaknya adalah tahun 1870. Banyak urusan yang selama ini diserahkan pemerintah kolonial pada bupati dan penguasa lokal, kini diambil alih pegawai Belanda. Dari pengaturan desa, sampai ke soal adat dan agama. Beribu-ribu peraturan dikeluarkan demi tata tertib. Mulai dari pagar di sekeliling rumah, cara menunggang kuda, masalah kehidupan pribadi priyayi, berjalan dengan obor di malam hari, dan seterusnya.

Dari semua pemerintah colonial di dunia saat itu, Hindia Belanda menjadi yang paling banyak membuat aturan privat bersifat pengawasan kepolisian, yang tentu berakibat penindasan. Timbul olok-olok di Eropa, bahwa pejabat kolonial Belanda akhirnya akan mengatur bagaimana cara orang bernafas.

Undang-undang atau aturan yang terlalu ketat itu, dalam pengamatan para cendekia, akhirnya menjadi kebijakan yang mengundang keruntuhan pemerintah Hindia Belanda. Mengapa demikian? Dalam sejarah, aparatus negara seharusnya berkembang menurut kepentingan masyarakat, namun dalam pemerintah kolonial, negara justru mencengkeram masyarakat yang lemah. Sehingga pemerintah sangat berjarak pada pada masyarakat. Kaku menghadapi persoalan di bawah. Hubungan antara rezim kolonial dan rakyat pun renggang.

Puncaknya tentu saja saat Perang Dunia kedua. Saat Jepang mulai invasi ke Asia, juga Indonesia. Hindia Belanda menjadi terlalu mudah dikalahkan oleh Dai Nippon, karena rakyat apatis dan tidak berpartisipasi melawan Jepang. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Filipina, dimana rakyat membantu pemerintah kolonial Amerika untuk melawan invasi Jepang. Hal serupa terjadi di Afghanistan kini, saat Taliban begitu mudah mengambil alih negara itu, seolah-olah masyarakat tak peduli dan tak membela sama sekali pada pemerintahan Ashraf Ghani.

Inilah bahayanya undang-undang yang terlalu rigid, terlalu mencengkeram kehidupan pribadi. Berkebalikan dengan regulasi terlalu rigid yang mencengkeram ranah privat individu itu adalah konsep negara Penjaga Malam (naachtwachterstaat). Konsep ini merupakan refleksi kapitalisme klasik. Dalam konsep ini pemerintahan harus sesedikit mungkin mencampuri urusan warganya.

Dalam prakteknya implementasi konsep Negara Penjaga Malam ternyata sering menimbulkan kesenjangan yang sangat lebar antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin. Peraturan negara dalam konsep negara Penjaga Malam mengatakan bahwa hukum harus netral, tidak berpihak, dan lepas dari kepentingan politik, meski dalam praktik mulai terasa keberpihakannya pada kepentingan pasar bebas.

Kemudian, mengikut depresi ekonomi yang melanda dunia, para ekonom yang dimotori John Maynard keynes mulai menggeser kebijakan ekonomi liberal menjadi ‘state-ism’,  menguatnya peran negara selaku penyelenggara kesejahteraan rakyat. Gagasan inilah yang kemudian menguat menjadi konsep welfare state. Lahirnya konsep welfare state menyebabkan kewajiban mewujudkan keadilan sosial merupakan tujuan penyelenggaraan negara yang semakin menguat di era modern.

Dalam welfare state, tugas utama negara adalah menciptakan kesejahteraan (welfare state). Diwujudkan dengan ‘kesetiakawanan’ negara terhadap warga, terutam terhadap mereka yang kurang beruntung. Untuk mencapai kesejahteraan itu, haruslah terlebih dahulu diciptakan keadilan sosial.

Penciptaan keadilan sosial merupakan kewajiban yang bobot etisnya lebih berat daripada penciptaan kesejahteraan umum. Atas nama keadilan, setiap orang harus diperlakukan menurut hak-haknya, meniadakan pembedaan yang sewenang-wenang dalam memberlakukan masyarakat. Lebih lanjut, Frans-Magnis Suseno menambahkan, “Tuntutan keadilan sosial di satu pihak, tidak terbatas pada mereka yang tidak mampu, tetapi juga pada siapapun yang menderita ketidakadilan.”

Dalam tradisi Judeo-Kristiani, ada kisah tentang kaum Farisi. Kaum yang sangat teguh menjalankan peraturan, dalam hal ini aturan agama dan adat. Bahkan menjadi polisi moral, untuk hal-hal yang sepele seperti cuci tangan sebelum makan dan larangan berbicara pada pendosa. Tak ada yang berani pada kaum Farisi, meski tanpa mereka sadari, mereka telah menyumbang banyak kasus ketidakadilan.

Kaum Farisi ini selalu merasa benar, karena merasa tidak melanggar peraturan, bahkan menegakkannya. Tetapi mereka tak menyadari betapa banyaknya intimidasi mereka yang membuat banyak orang kehilangan kebahagiaannya, nahkan kehilangan mata pencahariannya. Sebenarnya ini serupa kejahatan juga. Apalagi kita tahu, kehidupan itu dinamis, aturan yang terlalu rigid seringkali tidak berkesuaian dengan perkembangan zaman dan kondisi lingkungan setempat.

Secara moral, sebenarnya berlaku: 'lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum 1 orang tidak bersalah’. Membebaskan orang bersalah mengandung unsur memaafkan, sikap moral yang diikuti energi positif. Juga berarti kemurah hatian, lagi-lagi hal ini adalah energi positi. Di lain pihak, menghukum orang tak salah itu sangat tidak adil. Energi negatif, memicu lahirnya banyak tindakan balas dendam yang bisa mengganggu ketentraman dan membahayakan masyarakat.

Wikipedia juga menjelaskan tipe-tipe orang Farisi: Ada jenis orang Farisi yang menyombongkan kebaikan-kebaikannya. Ada yang memalingkan wajahnya untuk menghindari melihat perempuan. Adapula orang Farisi yang sering mengangguk-anggukan kepalanya seolah-olah bijaksana. Ada yang menghitung kebaikannya, Ada yang mematuhi Tuhan karena takut. Dan ada orang Farisi yang mematuhi Tuhan karena mengasihi Tuhan.

Apapun tipe Farisi tersebut, sejarah mencatat resistensi pada orang Farisi di Israel tersebut melahirkan agama Kristen. Agama Kristen pun beberapa kali mengalami perpecahan akibat kasus-kasus ketidakadilan di lingkungan Gereja. Penolakan pada aturan dan tata nilai yang terlalu rigid dan kaku memang sering memacu pergolakan. Tidak sedikit pula yang berujung peperangan. Karena pada dasarnya manusia tak ingin kehilangan kendali terhadap diri mereka masing-masing, sekaligus juga ingin mendapat jaminan bila semua hartanya aman, dan tak akan beralih ke orang lain.

Demikianlah, semua keburukan seringkali berawal dari ketidakadilan.