Sejak 2001 dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua mencapai Rp1000 triliun. Jumlah ini terhitung setengahnya sejak era kekuasaan Gubernur Lukas Enembe (LE) berjumlah Rp500 triliun. Keseluruhan dari angka tersebut adalah akumulasi dari beberapa sektor, mulai dana otsus, pendapatan asli daerah, dana desa, dan belanja kementerian atau lembaga.
Menurut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM, Mahfud MD (CNN, 2022), bahwa keseluruhan dana tersebut sangat mudah ditelusuri karena tercatat dengan resmi dalam dokumen negara di bawah kontrol Kementerian Keuangan. Paradoksnya, sejak 2001 persoalan krisis sosial dan ketidakadilan struktural di Papua tidak berakhir, padahal kebijakan Otsus sepenuhnya di tangan pemerintah daerah.
Efek Salah Urus Dana Otsus
Jika ditelusuri, terdapat kesalahan fatal bahwa ada persoalan salah urus dalam penggunaan dana Otsus yang berlangsung cukup lama. Muncul indikasi penyimpangan dana Otsus secara masif yang diduga hanya dinikmati oleh segelintir elite. Akibatnya, persoalan ini juga memicu masyarakat Papua sebagian besar pada kenyataannya harus menanggung beban kemiskinan yang sangat tidak proporsional.
Persoalan salah urus dana Otsus itu pula berakibat pada pengucilan sosial dan ketiadaan partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah. Padahal sejatinya, dana Otsus harus berdampak baik terhadap masyarakat Papua.
Kajian Kebijakan Kabupaten/Kota se-Provinsi Papua oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2016), menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan Otsus terdapat dua masalah mendasar yang akhirnya bermuara pada soal kesejahteraan, yakni (1) ketidaksamaan persepsi dan permintaan referendum, dan (2) ketidaksiapan sumber daya manusia pada tingkat pemerintah daerah.
Idealnya, pengelolaan dana Otsus ini harus diperketat melalui regulasi teknis di seluruh tingkatan kabupaten/kota di Papua. Sehingga, tidak menimbulkan peluang penyelewengan secara tunggal. Jika sebaliknya yang terjadi hanya melalui peraturan Gubernur misalnya, maka seluruh kabupaten/kota tidak memiliki petunjuk teknis pengelolaan dana Otsus.
Sangat disayangkan, Tanah Papua yang bergelimpangan sumber daya dikelola oleh pejabat berwatak serakah dan hanya ingin bersenang-senang sendiri. Lupa menutup segala keburukan, dan enggan mengundurkan diri dengan skenario politis yang merugikan. Entah atas kemauan sendiri, kuasa hukum, atau para afiliator dari partai politik.
Efek dari paradoks dana Otsus itu pula sangat mengherankan. Buktinya, data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Tempo (01/23) menyebut Provinsi Papua persentase penduduk miskin pada September 2022 berjumlah 26,80 persen. Sebelumnya, oleh Databox (2022) melaporkan persentase penduduk miskin di Papua pada Maret 2022 mencapai 922,12 ribu orang. Angka ini setara dengan 26,56% dari total penduduk Papua keseluruhan.
LE dalam Buaian Hedonisme
Sengkarut kasus hukum yang menjerat Gubernur Papua nonaktif, LE, karena gaya hidup berfoya-foya memang tidak pantas diperlihatkan kepada publik. Tindakan yang patut disebut "hedon" ini secara moralitas memang menolak rasa simpatinya terhadap orang lain. Terutama publik Papua yang menjadi rakyatnya.
Memang gaya hedonisme yang dianut seorang pemimpin, siapapun dia, suatu waktu akan mengalami kejatuhan. Memaksimalkan kesenangan pribadi tanpa mengutamakan kepentingan publik sudah tentu rentan dengan kegagalan.
Para kritikus menyalahi problem hedonisme yang oleh banyak pemimpin menggunakannya sebagai pijakan moralitas, karena sesungguhnya gaya hidup demikian mengesampingkan tatanan nilai seperti kebebasan dan keadilan, ketika menilai benar dan salah suatu masalah.
Awal mula kasus LE ini terbilang unik. Beberapa pendapat yang dilontarkan tidak menyasar pada pokok persoalan hukum. Angka atau nominal di meja perjudian dianggap bukan bagian dari korupsi karena tidak ada kerugian negara. Sampai pada masalah tindak pidana penyuapan pun masih muncul silang pendapat. Bahkan, alasan sakit adalah senjata ampuh untuk menghindar dari jeratan hukum.
Alasan ini jelas sebagai keputusan yang menyebabkan LE seolah-olah menipu dirinya sendiri, membutakan matanya dari komponen etis sebagai kepala daerah, dan mencoba mengabaikan penyebab dari kesalahan yang terjadi. Fakta terkait perjudian dan sejumlah kasus lain adalah bahaya bagi dirinya. Meski sedari awal tampak biasa saja, santai tanpa mempertimbangkan perbuatannya adalah nestapa bagi rakyat dan keluarganya.
Meminjam istilah Minette Drumwright dan Patrick Murphy, yaitu miopia moral, jika disandingkan dengan kasus LE. Istilah tersebut berkelindan paut dengan pemudaran prinsip etis. Ketika pemimpin tidak mampu mengangkat harkat dan martabat bangsanya, maka masalah etika mulai tampak tidak jelas dan tersembunyi dari pandangan rakyatnya.
Sepadan dengan istilah di atas, LE terlalu percaya pada kekuasaan yang dimiliki dan semua kroninya yang berkepentingan menyebabkan dirinya berbuat tanpa berefleksi yang tepat. Demikian konsekuensi dari berlimpahnya kenikmatan di luar kontrol akal sehat.
Karena itu, rasanya sulit memang, untuk menemukan titik antara perilaku yang menyenangkan dan masalah yang dialami. Akan tetapi, pada satu sisi, keseriusan di meja perjudian dan dikelilingi para gundik akhirnya bertumpu pada satu jalur kritis, yakni masalah hukum; LE telah menyumbat saluran kesejahteraan masyarakat Papua dengan model korupsi ekonomi, dan merusak tatanan pengelolaan pemerintah daerah dengan model korupsi politik.
Dua bentuk korupsi di atas memang suatu kenikmatan yang luar biasa, hasilnya bisa digunakan untuk kesenangan di mana-mana. Tapi, nurani masyarakat bukanlah benda mati, dia terus hidup dan mengutuk dosa-dosa penguasa. Pada akhirnya, penderitaan di tahanan negara adalah tuan yang berdaulat, memperlihatkan siapa LE yang sesungguhnya.