Sangat lumrah terjadi ketika berbicara mengenai dana/anggaran akan bersifat sensitif. Baik dalam skala lokal apalagi untuk skala nasional, maka tentu bukan hal mudah jika ingin lari dari pertanggungjawaban tersebut. Perkaranya bukan soal banyak atau tidaknya, tetapi seberapa besar rasa tanggungjawab secara jujur dalam mengelola dana yang memang bukan hak kita. Maka tentu akan menjadi dosa besar apabila mengambil dana tersebut, meskipun hanya secuil saja karena itu peruntukannya untuk masyarakat luas.
Problemnya bukanlah hal baru di mata dan di telinga kita, telah diketahui bersama bahwa dana desa yang jumlahnya bukan main memang dianggarkan agar desa dapat berkembang sebagai penopang kemandirian desa dan kemajuan suatu bangsa. Desa akan diberikan kepercayaan untuk dapat menjadi kaki terkuat menuju Indonesia maju, terlebih warga masyarakat dapat merasakan kesejahteraaan di tanah nenek moyang sendiri.
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan dalam APBN tahun anggaran 2021, bahwa Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp72,00 triliun khusus untuk desa yang terdiri dari 434 kabupaten. Dan anggaran desa untuk kabupaten Polewali Mandar senilai Rp161.333.063. Dengan dana itu, tentu pemerintah pusat dan terutama masyarakat telah menaruh kepercayaan kepada aparatur desa agar dana tersebut dapat dialokasikan secara maksimal dan tepat sasaran. Bahwa dana desa adalah amanah dari Undang-Undang seperti diatur dalam Pasal 72 Ayat 2 Nomor 6 Tahun 2014.
Peruntukan dana desa mesti dapat memberikan hasil dan output yang jelas tanpa ada sedikit pun tersisa sebagaimana tercantum dalam Rincian Anggaran Biaya, baik untuk pembangunan maupun bantuan secara langsung kepada masyarakat yang memang layak untuk menerima. Bukan kategori karena orang dekatnya dengan pemerintah desa, atau yang biasa dikenal dengan istilah “hanyalah kroni-kroni desa yang biasa mendapatkan bantuan tersebut.”
Dalam banyak kasus bahwa pengelolaan dana desa, masih saja selalu menjadi tanda tanya besar mengenai transparansi dan outputnya kepada masyarakat? Hal ini disebabkan karena masih terdapat para pemerintah desa belum mampu secara utuh untuk mengambil tanggungjawab secara profesional dan jujur. Kurangnya sumber daya manusia dan pendidikan moral secara mendalam sehingga lalai dalam memegang tanggungjawabnya, akibatnya dapat berujung untuk terjerat pada tindakan korupsi.
Tentu sering terjadi, bahwa ada kasus kepala desa terjerat korupsi dan ujungnya berada dalam jeruji penjara. Namun, ironisnya itu hanya sebagian kecil para kepala desa yang terjerat korupsi bisa mendapatkan hukuman setimpal seperti penjara, dengan kata lain penjara dapat dibeli. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengawasan kepada para aparatur desa dalam mengelola dana desa, sehingga meskipun ada dana desa yang tidak jelas peruntukannya, tetap saja berjalan dengan mulus. Dan lagi-lagi pertanyaanya, siapa yang bisa menyuap dan disuap? Dialah pemenangnya.
Tentu ada banyak desa yang dapat diambil sampel, termasuk desa Todang-Todang sendiri. Desa Todang-Todang termasuk desa terluas 7,14 km persegi dari 11 desa yang ada di kecamatan Limboro, kabupaten Polewali Mandar. Desa Todang-Todang sekarang ini masih mengundang pertanyaan atas output dari dana desa yang setiap tahunnya masuk sebagai anggaran desa, baik dari segi pembangunan secara fisik maupun non fisik.
Dana Desa : Untuk Rakyat atau Untuk Aparat Desa?
Telah menjadi harapan bersama, baik pemerintah pusat apalagi masyarakat bahwa desa sudah saatnya dapat menjadi penopang pertumbuhan ekonomi masyarakat dan negara. Dengan sumber daya alam yang begitu melimpah diharapkan mampu terakomodir dan terkelola dengan bersih dan baik melalui penganggaran dana desa. Hal ini bertujuan agar kepercayaan untuk mengelolah dana desa benar-benar dapat diterima secara rasional sebagai solusi untuk memajukan desa, bukan malah memajukan kesejahteraan para kroni-kroni desa. Namun, hal itu kadang kala terdengar mulus dan seakan pemerintahan desa berjalan secara baik-baik saja, padahal masih ada masyarakat yang belum tersadarkan mengenai ilusi tersebut. Itu karena kecerdikan yang mampu mendesain cantik, meskipun tidak tersampaikan secara utuh kepada masyarakat.
Menganilisis dan mengevaluasi kinerja kepala desa Todang-Todang setelah terpilih, justru mengundang banyak keresahan diantara warga masyarakat setempat. Termasuk pengelolaan dana BLT sebagai bantuan kepada masyarakat miskin yang tidak mempunyai kesempatan mendapatkan bantuan sosial seperti PKH atau pun bantuan lainnya. Dalam laporannya bahwa tercatat ada sekitar 200 kepala keluarga yang mendapatan bantuan BLT tersebut, namun untuk tahun ini berkurang dan menjadi sekitar 40 orang. Hal itulah yang menuai banyak pertanyaan dan tuntutan dari warga masyarakat yang sebelumnya mendapatkan, lalu tiba-tiba dicabut statusnya sebagai penerima BLT dengan alasan yang belum mampu diterima oleh masyarakat. Akhirnya, sikap saling curiga pun terjadi diantara masyarakat, termasuk curiga besar terhadap para aparatur desa.
Tentu problem tersebut berjalan pasti ada sebab, mungkin saja bukan hanya desa Todang-Todang yang mengalami hal seperti itu. Dengan adanya praktek nepotisme di dalam struktrur desa, jabatan dari tangan ke tangan dan keluarga ke keluarga. Sehingga nampak terlihat bahwa sistem pengelolaan pemerintahan desa masih kental budaya feodalisme. Pemerintahan desa hanya dipegang oleh kroni-kroni kepala desa dan berasal dari keluarga yang sama. Bukan hanya dari aparatur desa, parahnya Badan Pengawas Desa (BPD) pun juga berada di dalam ketiak kepala desa. Padahal, mereka yang diharapkan sebagai lembaga legalitas untuk mengawasi kinerja kepala desa dan para aparaturnya, justru hanya berada di ujung telunjuk kepala desa. Pertanyaanya? Seberapa profesionalkah para pengawas desa yang berasal dari kalangan kepala desa? Tentu jawabannya telah mampu kita raba-raba bersama.
Akibat kinerja dari kepala desa bersama aparaturnya yang cerdik, dengan kemampuan menghipnotis masyarakat melalui retorika dalangnya sehingga tidak ada yang mampu berkutif, meskipun anggaran dana desa tidak terjadi transparansi. Memang sulit membuktikan kekeliruan tersebut, berkaca pada desa Todang-Todang hari ini yang masih mis-transparansi anggaran mengenai pengalokasiannya secara terperinci dan jelas. Hal tersebut tidak pernah sampai di telinga masyarakat, apalagi sampai ingin membuktikan pertanggungjawaban secara administrasi kepada masyarakat.
Alhasil, tidak salah jika timbul stigma, apakah dana desa itu benar-benar untuk keperluan masyarakat desa atau malah menjadi untuk para aparatur desa? Walaupun, akan tetap ada yang sampai kepada masyarakat supaya tidak menuai kesadaran bahwa sebenarnya telah dijajah dan semestinya mendapatkan haknya, namun telah dicecoki oleh aparatur desa sendiri dan hebatnya masyarakat sendiri tidak tersadarkan.
Masyarakat Resah, Pasti Ada Sebab
Seperti dalam ilmu logika, bahwa tidak mungkin ada akibat tanpa sebab. Begitulah kiranya, warga masyarakat desa Todang-Todang menuai banyak polemik hari ini di tengah masyarakat. Sebagian ada masyarakat timbul dalam dirinya mosi tidak percaya kepada aparatur-aparatur desa, di mana selama ini dapat sewena-wena memutuskan kebijakan tanpa melibatkan seluruh kelompok elemen masyarakat.
Keresahan dari sebagian warga masyarakat tersebut terjadi karena kurangnya transparansi anggaran, pengalokasian anggaran yang tidak jelas, pembangunan infrastruktrur yang semakin hari semakin mati, malahan pembangunan jalan justru melibatkan swadaya dari masyarakat sendiri. Meskipun, jumlahnya tidak banyak sih. Hebatnya, justru itu mampu diretorikan sedemikian cantik sehingga dengan sukurela pembangunan jalan memakai dana dari masyarakat, bukan dari dana desa yang jumlahnya ada sekian banyak itu.
Hal itulah yang sampai hari ini seakan membuka kesadaran masyarakat betapa banyaknya kekurangan dalam pengelolaan dana desa Todang-Todang. Gosip yang bernuansa kritik dan keresahan timbul dalam beberapa nongkrongan. Bahkan ketidakpuasan pun sudah timbul, namun masih sulit dalam melakukan gerakan untuk memperbaiki sistem pemerintahan desa yang menyimpang.
Kalau ditelisik dari jauh, kemampuan para aparatur desa untuk bertanggungjawab secara profesional dan jujur dalam pemerintahan desa, belum mampu dinilai dengan baik. Ketidakmampuan untuk menahan diri untuk mengambil yang bukan haknya masih rentang terjadi. Hal ini disebabkan karena tidak ada kesadaran dan rasa bersalah jika mengambil sesuatu yang bukan haknya meskipun sepersen saja. Akhinya, ini akan menjadi catatan betapa mudahnya orang melakukan tindakan korupsi karena kesadaran akan diri sendiri dan kemanusiaan belum mampu terkontrol dengan baik.
Oleh sebab itu, dana desa yang jumlah milyaran itu belum menjadi solusi yang tepat bagi perkembangan desa dan warga desa. Justru dari dana desa tersebut dapat menjadi peluang bagi para aparatur desa untuk melakukan tindakan menyimpang. Hal terpenting yang dimiliki kepala desa dan aparaturnya mesti ada kesadaran dan kecerdasan moral yang memegang tanggungjawab secara profesional dan jujur sebagai pelayan masyarakat. Bukan malah memasang badan jika ada warga masyarakat yang membutuhkan bantuan.
Dengan adanya kesadaran dan kecerdesan moral yang tertanam dalam diri kepala desa dan aparaturnya, serta sumber daya manusia yang mempuni, maka menjadi peluang untuk dapat meretas benalu di dalam pemerintahan desa karena sangat merugikan. Karena pengelolaan dana desa yang bisa tersalurkan secara transparan dan tepat sasaran, tentu sangat didukung dengan kecerdasan intelektual dibarengi dengan kecerdasan emosional.