Meskipun merupakan negara kaya hutan hujan tropis terbesar ketiga (setelah Brazil dan Zaire)[1], Indonesia tampaknya tidak bisa semena-mena berbangga diri. Pasalnya, kekayaan yang kita miliki tampaknya benar-benar sudah membutakan cara pandang kita terhadap alam. 

Alam kini bukan lagi teman kita berbagi di atas muka bumi, tapi sudah kita sulap menjadi komoditas yang diperjualbelikan sesuai kebutuhan perut serakah manusia.

Data dari Center For International Research (CIFOR) menyebutkan bahwa eksploitasi atas hutan, terutama di pulau Jawa, mulai berkembang pada tahun 1960-an hingga pada tahun 1996. Hak pengusaha hutan di Indonesia sudah mencapai 445 pengusaha dengan cakupan luas hutan 54.060.599 ha2. 

Mengutip data dari FAO, laju deforestasi hutan di Indonesia pada tahun 1990 bahkan sudah mencapai satu hektare/tahun.

Adapun data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), mengutip data dari Badan Pusat Statistik, volume hutan yang mengalami deforestasi sejak tahun 2006 hingga 2015 sejumlah 2.547.023.080 m3. Hasil perhitungan deforestasi tersebut tentunya tidak bisa diabaikan.

Laju deforestasi tersebut sebenarnya bukan hanya karena industri perkayuan semata, tetapi juga pada makin meningkatnya tingkat populasi penduduk. Munculnya petani-petani kecil, ditambah lagi campur tangan industri, membuat alih lahan hutan menjadi pertanian, sawit, ataupun industri menjadi makin cepat.

Fenomena semacam ini sangat mengkhawatirkan, mengingat hutan Indonesia punya peran besar sebagai salah satu penunjang utama napas dunia. Urgensi menjaga hutan pun makin penting terasa setelah berbagai negara di dunia menandatangani Paris Agreement untuk membatasi kenaikan suhu global pada 2 derajat C.

Ditambah lagi, para ilmuwan IPCC menyatakan, ambang batas 2 derajat C masih terlalu tinggi, sehingga dibuat kesepakatan untuk membatasi kenaikan suhu global pada ambang batas 1,5 derajat C.

Namun, pada tahun 2018, laporan mutakhir Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang berjudul “Special Report of Global Warming on 1.5” menyebutkan bahwa ambang batas 1,5 derajat C akan terlampaui pada 2030. Penyebabnya tentu adalah produksi emisi karbon yang ternyata gagal untuk dipangkas sesuai prediksi.

Kesulitan memangkas emisi karbon inilah yang menjadi penekanan pentingnya menahan laju deforestasi, karena hanya dengan hutan karbon-karbon tersebut dapat diolah kembali menjadi oksigen yang segar.

Pertanyaannya, bagaimana caranya? Sementara lahan hutan dibutuhkan untuk usaha bagi para petani-petani kecil atau pemerintah daerah, terutama di luar pulau Jawa?

Dilema problematika ini coba dijawab oleh Sonny Mumbunan -peneliti senior World Resources Institute (WRI) Indonesia- melalui mekanisme transfer fiskal ekologis yang rencananya akan diintegrasikan dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) dengan memasukkan indikator deforestasi dan luas tutupan hutan suatu daerah.

Masuknya transfer fiskal ekologis dalam DAU ini diperlukan karena beberapa alasan. Pertama, daerah kaya hutan yang dituntut untuk menjaga hutannya akan mengalami kerugian secara finansial karena kebutuhan fiskal mereka meningkat untuk menjaga hutan. 

Sedangkan kemampuan fiskal mereka menurun karena lahan hutan mereka tidak bisa dimanfaatkan. Kondisi tersebut menyebabkan suatu daerah memiliki celah fiskal (fiscal gap) yang cukup besar. 

Adapun alasan kedua adalah DAU merupakan sumber penerimaan daerah yang paling besar. 

Meski saat ini mekanisme transfer fiskal ekologis sudah dialokasikan melalui Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH-SDA) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), tetapi keduanya masih terbilang terlalu kecil untuk dana konservasi hutan yang cukup besar. 

Masuknya DAU dalam kebijakan transfer fiskal ekologis diharapkan dapat membantu perekonomian daerah kaya hutan, khususnya memperkecil celah fiskal yang ada.

Untuk memahami bagaimana bergunanya apabila DAU berhasil masuk dalam kebijakan transfer ekologis, saya akan memaparkan hasil simulasi yang dipaparkan oleh Sonny Mumbunan di Papua[2]. 

Keberhasilan mekanisme yang diusulkan Sonny Mumbunan akan menambahkan DAU di Papua sebesar Rp1 triliun. Beberapa kabupaten di Papua juga akan mendapatkan tambahan DAU.

Kabupaten/kota di Papua Barat akan mendapatkan tambahan dana sebesar Rp350 miliar, yaitu Kabupaten Mambaremo Raya sebesar Rp150 miliar, Kabupaten Jayapura sebesar Rp70 miliar, Kabupaten Teluk Bintuni sebesar Rp80 miliar, dan Kabupaten Tambrauw sebesar Rp50 miliar.

Dengan tambahan dana sebesar itu, celah fiskal yang ada di daerah-daerah kaya hutan dapat diperkecil. Harapannya, dengan mekanisme transfer fiskal ekologis seperti itu dapat meningkatkan motivasi daerah-daerah kaya hutan di Indonesia untuk terus menjaga jantung Indonesia, dan tentunya sekaligus jantung dunia.

Referensi

[1] William D. Sunderlin dan Ida Aju Pradnja Resosudarmo, 1997. Laju dan Penyebab Deforestasi di Indonesia:

Penelaahan Kerancuan dan Penyelesaiannya. OCCASIONAL PAPER NO. 9 (I). 

[2] Sonny Mumbunan, 2019. Ecological Fiscal Transfers for Forested Jurisdictions in Papua. The 29th International Congress for Conservation Biology (ICCB) di Kuala Lumpur, Malaysia, Juli 2019.