Tulisan ini merupakan respons dari tulisan Yulia Dwi Mulyani yang dimuat di geotimes.co.id yang berjudul “Benarkah Sains Telah Mengalahkan Agama di Masa Pandemi?”, 23 November 2020. Alih-alih mencoba menyeimbangkan peran sains dan agama dalam situasi pandemi, justru terkesan mengkucilkan sains itu sendiri.
Di bawah ini saya kutip paragraf yang menurut saya tendensius:
“Dengan teknologi yang melesat maju, beberapa ilmuwan dengan percaya diri menyombongkan hasil karya mereka dan mengaku memberi sumbangsih besar terhadap teknologi dan pengetahuan. Dengan teknologi ini, mereka dapat meringankan pekerja medis, menciptakan alat bantu pernapasan, menemukan obat, dan lain sebagainya. Asumsi seperti ini memojokkan agama yang seakan-akan tidak berkontribusi secara langsung dalam memberantas virus SARS-CoV-2 ini.”
Di dalam paragraf tersebut, ada 3 pertanyaan yang terlintas dalam kepala saya. Pertama, siapa ilmuwan dungu itu yang seharusnya waktunya dia gunakan untuk melakukan penelitian sains, dia buang cuma-cuma hanya untuk memojokkan agama? Kedua, Apakah memang benar ada kontribusi agama dalam situasi pandemi ini? Dan yang terakhir adalah di mana letak kesombongan saintis itu?
Sebenarnya ketiga pertanyaan di atas tidak saya temukan jawabannya dalam tulisan itu. Padahal seharusnya di situ letak argumentasinya. Namun karena ketiadaan jawaban atas pertanyaan di atas, membuat saya membatasi topik tulisan ini hanya pada bagian ketiga, yaitu “kesombongan saintis” karena, menurut saya, frasa ini kontra dengan fenomena sosial yang saya amati saat ini.
Untuk memahami hal ini, saya ingin mengajak kita kembali melihat ke belakang agar kita mampu memahami fenomena sosial yang terjadi, apakah kata sombong pantas dialamatkan kepada ilmuwan, ataukah lebih pantas kepada agamawan?
Mula-mula, ketika virus itu mulai menyisir Tiongkok, para ilmuwan sibuk meneliti dan mencari asal muasal virus tersebut. Tim medis pun sampai kehilangan nyawa saat memberikan bantuan kesehatan. Negara-negara barat yang katanya matang secara ekonomi dan teknologi pun blunder menahan serangan wabah ini.
Di Negara kita yang kekurangan teknologi, kurang ekonomi, bahkan kurang tim medis, masyarakat pun mulai cemas. kita berharap bahwa ada komando pasti dari pemerintah agar kita bisa terhindar. tetapi apa respon dari pemerintah?
Pak Wakil Presiden kita dengan gagah mengatakan bahwa “para Kiai sudah membaca doa Qunut, jadi wabah ini tidak akan sampai ke negara kita” lihat apa yang terjadi setelah ucapan itu? Anda bisa jawab itu dengan melihat kondisi kita hari ini.
Belum lagi kita dipertontonkan debat kusir “kenapa rumah ibadah ditutup tapi pasar dibuka.” Bahkan sampai sekarang pun kita masih dipertontonkan lagi selebrasi dari para agamawan, ketika penjemputan seorang ulama yang pasukannya memenuhi salah satu bandara Jakarta, padahal sebenarnya para saintis sudah memberikan dasar pencegahan, yang kita atur dan beri nama “Protokol Kesehatan.”
Sungguh arogansi luar biasa. Seharusnya masalah yang menyangkut nyawa manusia lebih perhatikan dan diprioritaskan. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
Sekilas paparan peristiwa di atas, apakah drama ulama semacam itu belum pantas kita katakan sombong? jika belum, kita tunggu saja, kemungkinan ada selebrasi lanjutan, yaitu panggung teater dengan tema “Wiro Sableng 212” di Monas.
Padahal, klaim religiusitas seharusnya mengalami kemajuan jika kita menganggap bahwa pandemi ini merupakan bagian dari cobaan Tuhan (Definisi Kamajuan religius yang saya maksud adalah dengan menghormati sesama manusia dan tentu saja ekologi).
Sinisme di atas memang sangat mengelitik, seakan-akan tulisan ini hadir sebagai representasi dari para saintis untuk mengkonter argumen dari para penghina sains. Namun tidak demikian, saya hanya ingin kita fair dalam memberikan opini dan argumen jika kita mau sains dan agama tidak selalu dipertengkarkan.
Lantas bagaimana supaya sains dan agama mampu berjalan beririgan dalam situasi pandemi ini?
Menurut saya yaitu dengan rasionalisasi agama. Selama ini, isi dari doa kolektif kita hanya berfokus pada takhayul Misalkan; ketika berdoa, kita meminta agar tuhan memberikan mukjizat berupa anti virus, sementara di sisi lain kita tidak punya pengetahuan bahkan tidak mau berusaha. Tentu saja doa semacam ini merupakan doa takhayul.
Nah, doa takhayul ini kita ganti dengan doa yang lebih menjanjikan. Misalkan; ketika kita berdoa kepada tuhan, kita meminta kepada tuhan supaya cepat-cepat memberikan hidayah kepada para saintis berupa penemuan anti virus, agar kita dapat keluar pandemi dan resesi ini.
Doa kedua inilah yang saya maksud sebagai rasionalisasi agama, karena lebih rasional, menjanjikan, dan ada muatan trust kepada para saintis yang menjadi striker dalam permainan ini.
Dan doa semacam ini bisa kita capai, jika kita mau sudahi arogansi keagamaan yang kian menjadi-jadi, dan kembalikan ke posisi semula, yaitu posisi pertahanan. Ketika kita sudah tak lagi berdaya, “kemungkinan” tuhan akan hadir.