Saya mulai tertarik dengan teks alias bacaan sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan mulai agak sedikit sering membaca ketika Sekolah Menengah Atas (SMA). Kalau diingat-ingat, pengalaman membaca saya terbangun karena punya akses gratis untuk pinjam hmeminjam di perpustakaan. Dalam hal itu saya jagoan. Pendekar pilih tanding pokoknya.
Kesibukan dan tentu rasa malas, membuat saya harus menyingkir sejenak dari membaca. Tapi Tuhan maha baik, minat lama yang tertimbun itu menemukan kembali jalannya ketika saya di Jogja dan resmi berstatus mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Bagi mahasiswa kere macam saya, perpustakaan kampus sangat membantu untuk mencukupi kebutuhan membaca.
Jiwa pendekar saya mulai ada lagi. Jadi, langsung saja kita meluncur ke pokok bahasan. Daftar di bawah ini merupakan buku-buku terbaik dengan standard yang saya pasang sendiri :
1. Horison Esai Indonesia Kitab 1 dan 2
Saya tak sengaja menemukan dua jilid buku ini dalam selipan novel novel roman. Tanpa ragu, saya membawa pulang dua buku ini untuk dibaca di kamar berukuran 3 x 4. Ketika menemukan buku-buku tebal ini, saya senang nyaris tanpa batas. Sebab Horison yang saya kenal sewaktu SMA ialah majalah yang tipis, yang memuat puisi-puisi karya bocah SMA pada zaman itu, lalu sedikit satu dua cerpen dan ulasan sastra.
Saat kelas 2 SMA, Horison adalah upaya saya untuk membunuh sepi, menghalau kebosanan. Dan bertahun kemudian setelah pisah, lalu bertemu kembali, saya berasa nostalgia dan fungsi cetak biru sastra Indonesia ini masih sama : membunuh sepi, menghalau kebosanan, bahkan mungkin pada level tertentu menyelamatkan saya dari percobaan bunuh diri.
Berbeda dengan format majalah Horison, buku ini relatif tak ada puisi, sebagaimana judulnya, lebih ke kumpulan esai dari penulis-penulis kenamaan Indonesia. Mereka bukan cuma sastrawan, tapi ada pula yang politisi, akademisi, jurnalis, dan riwayat latar belakang mentereng lainnya.
Di kitab satu, saya diperlihatkan harta karun bangsa, : dimana gagasan tentang tanah air disampaikan secara gamblang dan cair oleh Bung Hatta, Sanusi Pane, dan Muhammad Yamin. Lalu ada Buya Hamka yang sukses mengolah terma seni dan cinta dalam bahasa-bahasa yang lembut.
Sementara itu, kitab dua tak kalah menarik. Mulai dari esai permenungan tapi remeh temeh, seperti contoh yang ditulis Cak Nun tentang pantat Inul Daratista, atau Putu Wijaya tentang kentut, atau Jaya Suprana tentang kepepetisme.
Sampai dengan esai yang mengangkat persoalan gawat darurat. Misalnya Dawam Rahardjo tentang modal asing dan kemerdekaan ekonomi, atau Kuntowijoyo tentang demokrasi hewan-hewan, atau Komarudin Hidayat yang merefleksikan bangsa yang kalah. Pendeknya, kedua buku ini membuat saya ‘mabuk’, namun masih bisa tetap berpikir waras.
2. Salju Kilimanjaro - Ernest Hemingway
Buku ini berisi 10 cerpen, dimana Hemingway dengan sangat tangkas mampu meramu premis kesialan hidup, kematian, nasib menjadi seorang laki-laki, dan lain sejenisnya sebagai sesuatu yang lain. Hemingway menjadikan Afrika dan perempuan yang cerewat sebagai tempat dan karakter yang mepenopang dua cerita favorit saya di buku ini. Salju Kilimanjaro (judul buku), dan kedua, kebahagiaan singkat Francis Macomber.
Ada sesuatu yang entah --belum bisa dijelaskan--yang mempertalikan saya dengan karya-karya Hemingway. Tapi yang jelas, saya suka cara Hemingway menarasikan detail paling kecil dalam sebuah adegan. Yang khas dari cerpen-cerpen Hemingway ialah dialog-dialog pendek tapi bertenaga.
3. Tidak Ada New York Hari Ini - Aan Mansyur
Puisi-puisi Aan ialah puisi yang tak membuat dahi berkerut. Sekali baca, kita bisa langsung punya interpretasi yang terang tentang apa itu cinta, kesepian, atau kehilangan. Juga begitu, di buku ‘Tak Ada New York Hari’ tema besar yang digarap oleh penyair asal Bone ialah tentang cinta. Di tangan dan dalam imajinasi Aan, cinta adalah sesuatu yang dekat. Dan selalu ada pendekatan baru untuk mengartikulasikan ulang tema serupa.
Dari segi konsep dan nilai kreativitas buku ini juara diantara yang lain. Buku kumpulan puisi ini sebetulnya merupakan karya kolaborasi antara Aan Mansyur yang menulis 30 puisi dan Mo Riza yang memadukannya dengan visual street photography.
Mula-mula saya berpikir, Aan dan Mo Riza bakal membawa saya kabur dari tempat duduk yang redup ke urban Amerika Serikat, tepatnya di New York yang terang benderang dan gemerlap. Ternyata keliru, New York dimampatkan jadi ruang besar yang kosong atau sepi tak ada gedung-gedung pencakar langit dan lanskap kota yang megah.
Gambar-gambar yang berdampingan dengan puisi-puisi di buku ini lebih dominan menunjukan kesamaan, yakni bangku kosong, jalanan yang lenggang, ornamen bangunan tua, dan orang-orang dengan mata kesepian, kalah, dan tak peduli pada siapapun.
Kalau diperas, saya pikir puisi-puisi ‘Tak Ada New York Hari Ini’ berangkat dari premis seorang perantau yang menanggung rindu kepada kampung halaman dan yang utama : semua orang-orang yang ia cintai di dalamnya. Karakter Rangga dalam film ‘Ada Apa dengan Cinta 2?’ tampak sangat selaras dengan bait-bait puisi bikinan Aan. Izinkan saya mengutip utuh satu puisi yang menjadi judul dari buku ini :
TIDAK ADA NEW YORK HARI INI
Tidak ada New York hari ini.
Tidak ada New York kemarin.
Aku sendiri dan tidak berada di sini.
Semua orang adalah orang lain.
*
Bahasa ibu adalah kamat tidurku.
Kupeluk tubuh sendiri.
Dan cinta----kau tak ingin aku mematikan mata lampu.
Jendela terbuka dan masa lampau memasukiku sebagai angin.
Meriang. Meriang. Aku meriang
*
Kau yang panas di kening. Kau yang ingin di kenang.
Hari ini tidak pernah ada. Kemarin tidak pernah nyata.
Aku sendiri dan tidak menulis puisi ini. Semua kata tubuh mati semata.
*
Puisi adalah museum yang lengang. Masa remaja dan negeri jauh.
Jatuh dan patah.. Foto-foto hitam putih. Aroma kemeja ayah dan senyum perempuan yang tidak membiarkanku merindukan senyumanlain.
Tidak ada pengunjung. Tidak ada pengunjung.
Di balik jendela, langit sedang mendung.
*
Tidak ada puisi hari ini. Tidak ada puisi kemarin.
Aku menghapus seluruh kota sebelum sempat menuliskannya.
4. Podium DeTIK - As Laksana
Buku ini berisi kumpulan tulisan As Laksana tahun 90-an, yang diambil dari kolom ‘Podium’ di Tabloid Mingguan Detik. Kita tahu, tahun-tahun itu, rezim Soeharto sungguh gencar membredel sana sini, dan Detik pada 1994 jadi satu diantara banyak korban. Meski begitu kebenaran tak bisa terbendung. Ia selalu punya cara untuk membebaskan diri. Dan As Laksana menjelma jadi suara kritik dan kearifan sosial yang menggugah.
Jurus yang dipakai As Laksana dalam buku ini ialah bahasa-bahasa metafora. Nuansa satir dan sarkas dalam buku ini terasa amat tebal. Secara cerdas dan dengan berani tetapi sekaligus penuh perhitungan, As Laksana memprotes budaya bangsa kita yang masih saja hipokrit, manipulatif, dan korup lewat cerita pewayangan, misalnya dalam tulisan yang berjudul ‘Petruk’ dan ‘Air Mata Dewi Shinta’.
Di tulisan yang lain As Laksana amat kentara menggambarkan betapa gelapnya sisi kekuasaan. Misalnya dalam ‘Para Penghuni Gua’, yang mana As Laksana mengadopsi cerita Ashabul Kahfi, dengan sedikit modifikasi.
Al kisah ketika dua pemuda yang bersembunyi di dalam gua telah ditidurkan oleh Tuhan, seorang pemuda lainnya masih terjaga dan Tuhan mengutus Peri (bukan Malaikat) untuk mengurus keluhan si pemuda. Dan terjadilah dialog,
“ Kenapa kau yang muncul?”
“Ya, aku yang muncul,” sahut Peri “Karena ini wilayahku,”
“Ini bukan wilayahmu,” bantah si pemuda. “Wilayahmu adalah negeri dongeng yang indah. Negeri yang Makmur hanya dengan ayunan tongkat.”
“Ini memang negeri dongeng.”
“Bohong di negeri dongeng tidak pernah ada penderitaan. Tidak ada demonstrasi menggugat penggusuran tanah, tidak ada perbincangan angka statistic kemiskinan. Negeri dongeng selalu dengan mudah mewujudkan kemakmuran. Hanya dengan sebatang tongkat semuanya beres.”
…..
Secara keseluruhan, saya menilai As Laksana seperti bicara dalam kecemasan----zaman itu memaksanya demikian. Tetapi di sisi lain, menurut saya dia berhasil menyelami permasalahan sehari-hari dengan cara pandang yang otentik. Mungkin karena itu juga, saya masih bisa menemukan konteks politik, sosial, dan, kultural dari tulisan-tulisan ini, yang relevansinya masih terasa sampai sekarang. Artinya apa? Sebagai bangsa kita tak betul-betul serius ingin beranjak?