"Gumala !" pekik Aksa di balik gelapnya malam.
"... hanya pesanku, Tuan, jangan terus menerus menghukum diri. Serahkan diri mu pada semesta, kenyataan." - "Aku sudah menyerahkan diri ku, jauh pada khayal tentang inginku. Sudah, Gumala... tak apa... aku sudah terbiasa, tak usah kemari dengan laku yang palsu...."
" Mengapa kau ini, Gumala?"
Suara Gumala samar terdengar tersedu-sedu, lunglai tangannya perlahan masih sempat mengusap pipinya yang basah. Ia begitu rapuh.
"... Tak apa, menangis lah. Kalau itu belum cukup membuatmu tenang, teriakan". tegas Aksa.
Begitulah, tak mampu kali ini ia menyembunyikan sisi lemahnya. Didepan banyak pasang mata, ia begitu terlihat tangguh, begitu kuat. Tapi, dibalik gelapnya malam, ia meraung menumpahkan segala rasa yang begitu menyiksa.
"Gumala, Gumala, samar terdengar Aksa."
"Apa guna kau tangguhkan? Kalau kau mengerti betul rasa yang membatin ini, pada siapa aku lepas bercerita tentang derita ku." Suara Gumala dalam keterpurukannya. "Telah kukumpulkan seluruh keberanianku dan ketabahanku untuk menghadapi saat ini. Kau menangguhkan, Aksa, kau?". Suaranya merendah dan kata-katanya semakin cepat dan tak jelas.
"Tidur. Tidur. Kau lelah, Gumala."
"Tidak!"
"Betapa menderita kau karena impian itu..". Ucap Aksa sembari sesekali mengusap pundaknya.
"Habis sudah kata-kataku, Aksa. Aaah." Gumamnya sembari tertawa dalam sedihnya.
Seketika suasana pun kembali hening, lalu ia melanjutkan seduhan kopi dan menikmati setiap isapan sebatnya.
"Tariklah nafas panjang-panjang sebagaimana diajarkan dulu di desa kalau hati sedang tidak tenang."
Kelibat bayang-bayang menyebabkan Gumala tersentak berdiri dari tempat tidurnya lalu ia berjalan perlahan kearah pintu. Dilihatnya di depan kamarnya hanya kegelapan yang teramat gelap. Ia pun tersadar, bahwa ia sedang sendiri tanpa seorangpun yang menemani.
"Kemana kau Aksa? Ucapnya linglung."
Sejenak ia pun kembali ketempat pembaringannya dan menutup pintu kamar. Gumala pun berjalan tanpa tahu ia mulai mengoceh kembali.
"Hey kamu, Gumala! Sudah berapa pucuk kau bakar rokok mu itu? Kapan kau berhenti dan mengistirahatkan segala pikiran mu."
"Aku tak ada minat untuk itu, sudah jangan pedulikan aku."
"Ayolah, tak ada yang lebih peduli kepadamu selain dirimu Gumala."
"... Iya, aku tahu itu."
"Yasudah, berhentilah kalau kau sudah tahu." Ucap nada lembut Aksa.
Suasana hati Gumala tak lagi ramah seperti yang lalu-lalu, seakan ia sudah tak ingin lagi kehadiran orang baru dalam hidupnya. Ia merasa bosan, mengenal dan memulai lagi bercerita tentang kelam kehidupannya yang menyakitkan.
"Aksa aku ingin sendiri dan tenang, pergilah! Tersenyum ia dengan air matanya yang menetes."
"Aku tak akan meninggalkan mu dalam keadaan susah maupun senang mu, Gumala."
"Pergilah, aku tak ingin rasa kasihan dari siapapun. Aku sudah terbiasa terasingkan disini. Bahkan asal kau tahu, sudah aku nikmati segala kepalsuan yang datang menghampiri. Aku sudah terbiasa sendiri... Aku sudah... Aaah...."
Gumala mematikan rokoknya, perlahan ia bangkit seraya menghapus air manta yang membasahi pipinya. Dengan langkah yang gontai, ia keluar kamar dan menghidupkan motornya lalu melajukannya dijalan tanpa tahu arah yang jelas kemana tujuannya.
***
Dipinggiran jalan raya, duduk ia dikursi trotoar samping tiang lampu penerang jalan. Gumala termenung penuh dengan tatapan kosong menelaah diri hanyut dalam bayang-bayang mimpi yang tak sempat ia capai.
"... Apa yang kau renungkan Gumala? bisik Aksa yang entah darimana datangnya."
"Tak ada, siapa yang merenung?"
"Kau, Gumala, apa kau menyesali hidup mu!"
"Aku tak akan menyesalinya, lagi pula semua rasa-rasanya terjadi begitu saja. Biarkan aku bermakna pada detik ini."
Lalu matanya menelaah jauh pada sosok lelaki tua yang terlihat begitu tangguh diujung jalan tempat ia duduk saat ini. Lelaki tua yang begitu terlihat gigih mengayuh becaknya tanpa tahu sudah berada tepat didepannya.
"Hey nak, sendirian, sedang apa? Jangan ngelamun nak." Ucap kakek tua itu sambil tersenyum ramah.
"Iya kek, sendiri aja kek. Lagi menikmati suasana malam jalan raya yang terlihat sunyi aja kek. Mampir dulu kek istirahat dulu sebentar." Sembari tersenyum Gumala menyuguhkan minum juga rokoknya.
Kakek itupun duduk disebelahnya, sembari minum dan menghidupkan rokok ditangannya. Jam pun menunjukkan 01:05 WITA.
"Baru pulang jam segini kek?"
"Iya nak."
"Oh, kakek biasanya berangkat jam berapa sampai pulang jam segini kek?"
"Tidak menentu nak, kadang dari jam 09:00 - 00:00 WITA, kadang juga pulang cepat dan kadang juga jam segini nak. Ya begitulah nak, maklum sudah berumur nak."
"Iya kek, semangat terus kek." Ucap ramah Gumala.
"Kamu juga nak, tak apa diwaktu muda mu selalu merasa sendirian nak. Asalkan tidak seperti kakek, saat tua dihantui berbagai rasa penyesalan saat muda nak. Tak apa, kamu merasa terpuruk saat masalah menghampiri mu, asal kamu jangan lari nak dan terus hadapi itu." Tutur kakek sambil mengusap keringat di keningnya yang bercucuran.
Malam yang datang dengan suasana yang tidak direncanakan, penyesalan yang berujung membawanya larut pada kegelisahan. Udara malam yang dingin menyusup di celah-celah jaket hitamnya yang tebal, ia tak begitu hiraukan.
Malam itu seakan-akan Gumala lah sosok manusia yang begitu dikucilkan atas nama cinta dan harapan.
"Sudah lama kakek berkerja manarik becak?" tanya Gumala.
"lya nak, sudah lama."
"Kakek tinggal dimana? Sama siapa juga kek!"
"Dekat.., di km 7 itu masuk gang lagi sekitar 4 pal ke dalam lagi nak". Ucapnya sembari menunjuk kearah jalan.
"Kakek numpang, ikut anak. Istri kakek sudah meninggal 5 thn lalu nak." Tambahnya seraya menikmati rokok ditangannya.
Seketika itu Gumala terdiam dan hanya mampu menganggukkan kepalanya. Entah apa yang dipikirkannya, seakan-akan ia menelaah dirinya yang begitu lemah dan mudah putus asa dengan penuh kepasrahan.
"Aku belum melakukan apa-apa, sudah mengeluh!" gumamnya dalam hat kecilnya.
"Hey... Nak, jangan melamun begitu, Kamu sendang memikirkan apa?" Sambung kakek tersenyum ramah.
Gumala menghela nafas panjang, lalu ia mulai mengulas isi kepala dan juga hatinya.
"Apakah salah saya rasa saya bukanlah orang yang beruntung dalam hidup ini kek, perihal cinta? saya rasa cinta tak berpihak kepada orang yang tulus, ketika saya tawarkan cinta pada niat buruk, saya selalu berhasil mendapatkannya. Tapi sebaliknya, saya tawarkan cinta dengan ketulusan, sayalah yang akan merasakan kegundahan penolakan..." Ucapnya sembari tertawa kecil menghibur hati.
"... Tidak... Nak,cinta bukan perihal siapa yang beruntung. Sebab cinta, itu ialah ketulusan, bukan keberuntungan juga kebetulan. Cinta bahkan tak menawarkan kebencian, kebaikan yang diberikan cinta nak. Cinta juga bukan tentang menawarkan, tapi cinta perihal laku yang mewujudkan cinta. Kita sering mendengar kata cinta, tapi kita sedikit merasakan adanya cinta. Cinta juga nyata nak, buktinya kamu nyaman dengan keberadaan saya disini nak. Cinta pada niat buruk, itu hanya hasrat nafsu belaka nak... Itu bukan cinta."
"Lantas, seperti kek!"
"Jika kau ingin rasakan cinta, tugasmu hanya dua nak. Pertama, kamu hanya perlu berlaku baik pada apapun dan siapapun. Kedua, berhentilah mempertanyakan cinta."
Gumala lagi-lagi terdiam..
"Tak ada yang kita ketahui tentang cinta, selain kata yang kita namai cinta... Nak... Apa yang kamu khawatirkan tentang cinta, sebab kamu lupa untuk merasakan kebendaannya." sambung kakek meyakinkan.
Malam pun semakin larut, Gumala pun tertegun menelaah hidup yang ia sesali. Bintang dan bulan yang bersinar mengalahkan binar cahaya lampu kota. Kakek pun mulai beranjak dari tempat duduknya perlahan.
"Sudah larut malam, kakek pulang dulu. Jangan larut akan cinta, dunia hanya perlu laku mu perihal cinta." Pungkas kakek.
"... Gumala, jawablah kakek." Bisik Aksa.
" Iya kek, hati-hati..." Singkatnya.
"... Sebelum kakek pulang, kakek mau tanya sesuatu lagi... Boleh?" Ujar kakek sembari memegang pundak Gumala.
"Oh iya, boleh kek... Apa itu kek?" Sahutnya penasaran.
"... Kita bicara basa-basi sudah sejauh ini, tapi kakek belum tahu nama kamu nak!" sambung kakek tertawa kecil.
"Oh iya kek, maaf-maaf kek... Hee... Nama saya Gumala Aksa kek." Jawabnya sembari bersalaman mencium tangan kakek.
"... Kakek sendiri siapa namanya kek?" Tanya Gumala.
"Sulaiman Nak... Panggil saja kakek Iman."
"Baik kakek Iman, sehat-sehat terus ya kek. terimakasih kepedulian kakek..." Ucap Gumala sembari memberikan rokoknya lagi.
"Kamu baik-baik dan terus berbuat baik ya nak. Kakek pulang dulu." salam perpisahan kakek melanjutkan mengayuh becaknya.
Gumala pun tertegun menelaah sosok kakek tua itu yang dengan sepenuh hati menekuni hidupnya tanpa sedikitpun terlihat memelas kasih pada manusia atas kehidupan yang dijalaninya.
"Begitulah anak zaman sekarang, mulai dengan basa-basi dulu baru tanya nama. Bahkan kamu sendiri lupa tanya nama beliau, Gumala. Seharusnya kamu yang lebih mudalah yang tanya lebih dulu. Sopan santun mu dimana la..." Singgung Aksa menelaah Gumala.
"Iya Sa... Kamu juga salah, nggak ada niat mengingatkan. Malah menyalahkan bisanya."
"... Ah... Sudahlah, nggak ada habisnya saling menyalahkan untuk pembenaran."
"Begitulah, jika pembenaran yang kamu cari kita sama-sama salah..."
"Iya... Kesalahan kita sebab mencari pembenaran, bukannya kebenaran yang harus kita akui adanya, Aksa..."
"Terserah kamulah, kita sama-sama salah..." Sahut Aksa diam...
Malam semakin larut, jalan raya yang tadinya ramai pengguna kini sudah mulai sepi. Gumala kembali dihampiri sepi, tak ada pilihan lain ia harus menunggu pagi.
Menjalang adzan subuh, ia beranjak dari tempat duduknya. Sesekali menatap layar telepon genggamnya yang sama sekali tak ada notifikasi menghampiri. Sudah terbiasa ia rasa, baginya jikalau pun ada pastinya hanya sebuah tanya. Tak jarang semua hanya tentang kepentingan yang datang.
"... Hey, Gumala... Adzan subuh telah berkumandang, jangan langsung pulang. Mampirlah dulu kesana, jangan bantah... Itu kewajiban." Gumam Aksa sebelum benar-benar tak lagi berkoar.
Ia pun segera melajukan motornya ke Mesjid terdekat, sebelum berangkat ia ingin sebat namun naasnya ia lupa sudah tak punya.
"... Ah, sudah habis ternyata. Biarlah tak apa juga." Ucap linglung Gumala.
Bersambung...
***