Will Connolly, seorang remaja Australia pemberani, melakukan aksi dengan memecahkan telur di kepala Fraser Anning pada Sabtu, 16 Maret 2019. Fraser Anning merupakan politisi Australia yang  mengeluarkan komentar kontroversial, yakni menyalahkan umat muslim atas terjadinya peristiwa penembakan di dua masjid di Selandia Baru.

Aksi berani remaja berusia 17 tahun yang dilakukan di tengah kerumunan pendukung sang Senator tersebut menjadi perbincangan publik di media sosial. Urusan keberanian bagi remaja memang tidak perlu diragukan lagi.

Keberanian serupa bisa kita saksikan pada peristiwa kerusuhan 21 tahun yang lalu, tepatnya 21 Mei 1998. Di depan kampus Universitas Trisakti, di tengah aksi demo mahasiswa, terdapat ratusan anak STM dan SMA dengan melepaskan baju seragamnya menjadi garda terdepan dalam melakukan penyerangan terhadap pos-pos Brimob yang ada di sana.

Tidak ada perjuangan ideologi maupun kepentingan politik. Bagi mereka, yang terpenting adalah menyalurkan gelegak darah mudanya dengan unjuk keberanian melawan aparat. Tidak ada rasa takut dengan peluru hampa atau gas air mata. Satu terjatuh diangkat oleh yang lainnya sambil mengacungkan dua jari dan berteriak, Peace.

Bung Karno pernah memopulerkan semboyan "Jasmerah" atau jangan sekali-kali melupakan sejarah. Karena pada hakikatnya sejarah itu selalu berulang. Apa yang terjadi di masa depan memiliki pola yang sama dengan apa yang terjadi di masa lalu. Yang membedakan hanyalah masalah tempat dan siapa yang menjadi pelakunya.

Di situlah letak pentingnya kita belajar sejarah, bahkan bukan hanya sekadar mempelajari, melainkan bagaimana kita bisa menghargai sejarah agar segala keburukan yang pernah terjadi di masa lalu tidak kita ulangi lagi di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.

Sederet nama petinggi yang kini menduduki posisi penting, baik dalam pemerintahan maupun struktur politik seperti Wiranto, Hendropriyono, Muchdi, Agum Gumelar, Subagyo HS, dan Moeldoko di kubu 01, atau Prabowo, Kivlan Zen, Sjafrie Sjamsoeddin, dan Djoko Santoso di kubu 02. Mereka adalah para jenderal yang tahu persis bahkan terlibat langsung maupun tidak langsung dalam tragedi kerusuhan Mei 1998.

Pada masanya, mereka pernah menduduki jabatan Pangdam Jaya, Perwira Tinggi Kostrad, Intelijen Negara, bahkan jabatan tertinggi, yakni Panglima TNI. Tentu tahu betul bagaimana pemetaan wilayah konflik di Ibu Kota, daerah mana saja yang menjadi titik-titik rawan kerusuhan di Jakarta, termasuk strategi dan antisipasi penanganannya, termasuk tindakan "logic militer" yang akan dilakukan seorang aparat pada saat kondisi terdesak dalam sebuah kerusuhan.

Belum lagi sejumlah tokoh seperti Amin Rais, Fahri Hamzah, Fadli Zon, Pius Yustrilanang, Adian Napitupulu, Indra J Piliang, Fazroel Rachman, atau duo korlapnya Prabowo-Sandi, yakni Egy Sujana dan Jumhur Hidayat. Mereka adalah para aktivis yang terlibat dalam aksi demo Mei 1998.

Demonstrasi yang berujung dengan kerusuhan tersebut memakan banyak korban dan kerugian yang cukup besar. Gugurnya sejumlah mahasiswa Trisakti, tragedi Semanggi, hilangnya sejumlah aktivis, ratusan korban kekerasan dan persekusi, korban pemerkosaan, mereka yang terpanggang api dalam kebakaran pusat-pusat perbelanjaan, hancurnya perekonomian Indonesia, dan yang tak kalah penting adalah trauma di masyarakat yang membekas akibat kerusuhan yang sampai dengan detik ini belum terungkap atau tidak ada yang "berani" untuk mengungkap dan mengadili siapa aktor intelektual yang menjadi dalangnya.

Tentu saja para aktivis dan politisi tersebut tahu betul bahwa tidak ada yang tidak terencana dalam sebuah kerusuhan. Semuanya direncanakan dengan baik dan matang, melalui rencana A, rencana B, rencana C, dan sudah pasti rencana X sekaligus langkah alternatif dan sejumlah strategi sebagai antisipasi atas segala kemungkinan yang akan terjadi.

Dalam sebuah aksi pengerahan massa demonstran, kerusuhan itu hanyalah masalah memilih waktu yang tepat dan memilih siapa yang akan dijadikan "martir" atau pemantik alias siapa yang akan ditumbalkan sebagai korban.

Jika dirunut ke belakang, jauh sebelum pelaksanaan Pemilu 2019, BPN Prabowo-Sandi telah mengeluarkan pernyataan bahwa hanya kecurangan yang bisa mengalahkan mereka; sama persis dengan pernyataan tim pemenangan Anies-Sandi pada Pilgub DKI Jakarta tahun 2017.

Lalu narasi tersebut dilanjutkan dengan doktrin dan propaganda yang masif menggunakan isu agama dan rasisme oleh para buzzer politiknya hingga para pendukung dan simpatisan kubu 02 tak mampu lagi membedakan mana jihad membela agama dan mana jihad membela Prabowo.

Dan terakhir seruan people power atau pengerahan massa yang mengatasnamakan kedaulatan rakyat, setelah mengetahui kekalahan mereka dari proses hitung cepat dan sebagai tindak lanjut dari penolakan Prabowo atas hasil Pilpres 2019. Demonstrasi yang berujung dengan kerusuhan 21-22 Mei 2019.

Kerusuhan yang menelan korban, 8 orang meninggal dunia, ratusan orang luka-luka, dibakarnya Markas Brimob, ratusan kendaraan rusak dan dibakar, lumpuhnya pusat perbelanjaan Tanah Abang, dan masih banyak kerugian lainya. Dan lagi-lagi yang dijadikan "martir" adalah remaja usia sekolah. Di antara korban yang meninggal dunia adalah remaja berusia 15 dan 17 belas tahun yang tidak memiliki agenda politik.

Politik adalah seni untuk meraih dan memertahankan kekuasaan. Kubu 01 ingin memertahankan kekuasaan, sedangkan kubu 02 ingin meraih kekuasaan. 

Dalam kondisi seperti ini, ada baiknya kita merenungkan kembali perkataan Harold Laswell yang menyebutkan bahwa esensi politik adalah who gets what, when and how. Siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Politik adalah konsensus. Politik adalah bargaining.

Bagi elite politik, pengerahan massa dan kerusuhan hanyalah pijakan untuk menaikkan "posisi tawar" untuk meraih jabatan atau posisi pada pemerintahan mendatang. Pemerintahan baru yang dimulai dengan dilantiknya Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024 pada 20 Oktober 2019. Siapa yang jadi menteri, siapa yang jadi Komisaris BUMN atau jabatan tinggi lainnya atau minimal mendapat fasilitas kemudahan pencairan dana Mega kredit usaha dari Bank BUMN.

Kini, di tengah adanya perubahan strategi, seolah terjadi perpecahan antara massa pendukung dan elite pada kubu 02, di mana elitenya menempuh jalur hukum, dengan tim yang diketuai oleh Bambang Widjojanto untuk mengajukan gugatan hasil Pilpres ke Mahkamah Konstitusi, sementara pendukungnya akan menempuh jalan sendiri melalui pengerahan massa untuk menuntut keadilan. Ironisnya, "keadilan" yang mereka perjuangkan adalah kemenangan Prabowo. Adil = Prabowo menang.

Menghadapi situasi seperti ini, maka penting bagi kita untuk tetap saling mengingatkan. Mengingatkan untuk tetap berpihak pada kebenaran dan kemaslahatan orang banyak, bukan berpihak pada klaim kebenaran, apalagi klaim sepihak. 

Bagi rakyat kecil, tidak ada yang diuntungkan dari sebuah kerusuhan. Yang pasti didapat adalah kerugian. Rugi bagi kita semua, terutama bagi mereka yang kepala dan darahnya dijadikan pijakan oleh elite politik. 

Kalaupun pengerahan massa akan tetap dilakukan nantinya, sebagai bentuk upaya penetrasi politik dalam masa persidangan di MK, semoga tidak ada lagi nyawa manusia sebagai tumbal, terlebih remaja usia sekolah. Mereka anak-anak kita. Mereka masa depan Bangsa. Cukup, Jenderal!