Delapan tahun usiaku kuhabiskan di bawah rezim pemerintahan Joko Widodo- presiden yang kupilih dua kali di balik bilik suara melalui pemilihan umum yang insyaallah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dua tahun dari lama waktu itu adalah masa-masa ketika Covid-19 mewabah. Di tahun 2020 lalu, sempat terlintas dalam pikiranku betapa apesnya kepala-kepala daerah, terlebih kepala negara yang sebelumnya berjuang berdarah-darah dalam Pilkada serentak 2018 dan pemilu 2019. Begitu menjabat, dunia justru dilanda wabah mematikan. Namun, tentu saja bukan politisi namanya jika tidak mampu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Ups!
Kesempatan dalam kesempitan pertama yang membekas dalam ingatanku adalah pelaksanaan Pilkada serentak pada Desember 2020 lalu. Negara ini toh tidak demokratis-demokratis amat, tapi pemerintah ngotot Pilkada bahkan sebelum vaksin Covid-19 sampai ke masyarakat. Rakyat yang tidak lebih dari statistik semata, “dipaksa” keluar rumah demi menyalurkan suaranya.
Tidak tanggung-tanggung, seperti yang diharapkan, Pilkada serentak ini menghasilkan anak dan menantu Jokowi sebagai Walikota Solo dan Walikota Medan. Jika hal ini umpama pesugihan, maka menumbalkan keselamatan jutaan rakyat demi terbentuknya dinasti politik di Republik Wakanda- maaf, Republik Indonesia, adalah hal yang tak segan dilakukan oleh mereka yang menghasratkan kekuasaan.
Dipimpin oleh presiden dari kalangan sipil, harapanku tentu saja terciptanya demokrasi yang lebih baik. Namun, yang terjadi selanjutnya adalah, ingin menulis kritik di media sosial saja mesti mikir-mikir, terlebih jika akan mencatut nama pejabat publik.
Selain ekspresi yang dijaga rapat-rapat sebab khawatir akan kena jerat UU ITE, melaporkan tindak kejahatan kepada penegak hukum pun tak jarang dinilai sia-sia. Laporan mengenai kekerasan seksual rupanya harus viral dulu agar ditangani dengan serius.
Kekecewaan masyarakat mewujud dalam tagar #percumalaporpolisi. Bukan hanya itu, melaporkan dugaan korupsi bahkan ditolak mentah-mentah dengan alasan polisi sedang fokus dalam membantu penanganan dampak pandemi. Penolakannya seperti ditolak gebetan dengan jawaban “kamu terlalu baik buat aku”.
Jika KPK dilemahkan secara terstruktur dan konstitusional, maka kepolisian Republik Indonesia dengan sukarela melemahkan dirinya sendiri. Maksud saya, oknum.
Laporan ICW (Indonesia Corruption Watch) terkait dugaan gratifikasi penyewaan helikopter oleh pimpinan KPK, Firli Bahuri, ditolak oleh kepolisian. Namun, laporan Luhut Binsar Panjaitan atas dugaan pencemaran nama baik oleh Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti diproses dengan segera. Mungkin memang benar, setiap warga negara tidak pernah benar-benar setara di hadapan hukum. Keberadaan warga negara di hadapan hukum masih bergantung pada jabatan dan status sosialnya.
Luhut Binsar Panjaitan adalah sosok yang kepadanya kesempatan bisa atau tidaknya kita mudik lebaran bergantung. Luhut telah merangkap banyak jabatan dalam pemerintahan Jokowi, maka tak heran jika beliau harus menjawab telepon saat Jokowi tengah berpidato sekalipun. Patut diapresiasi bahwa meski sesibuk apapun Luhut mengurus negara, setidaknya beliau tidak pernah mengatakan L’État, c’est moi.
Kepolisian RI dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), bisa saja kurang mendapat simpati masyarakat seiring maraknya kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi. Namun, TNI/Polri masih menjadi garda terdepan bagi Jokowi dalam mempertahankan kesempatannya berkuasa di tengah kesempitan kubu-kubu politik yang ada. TNI/Polri akan marak kita temui di mana pembangunan Proyek Strategis Nasional berada.
Sewindu berlalu sejak jargon Revolusi Mental digaungkan. Dan apa yang terjadi saat ini? Di negara yang katanya telah menyongsong revolusi industri 4.0, tapi masih mensyaratkan fotokopi KTP dan Kartu Keluarga untuk kepentingan ini-itu, tuntutan pidana kasus korupsi ternyata bisa mendapat keringanan dengan pertimbangan bahwa terdakwa telah cukup menderita akibat dicaci maki oleh masyarakat.
Peristiwa ini membuat mentalku seketika gagal revolusi. Bahkan, kemampuan menalarku yang kudapatkan di perguruan tinggi, meskipun aku sekolah tidak tinggi-tinggi amat, juga rasanya gagal menyamai logika hakim yang terhormat.
Lantas, apa hubungan hal ini dengan Jokowi? Kaitannya adalah bahwa terdakwa kasus korupsi yang dimaksud, yaitu Juliari Batubara adalah mantan Menteri Sosial dalam Kabinet Indonesia Maju pimpinan Jokowi, yang korupsi di masa pandemi, mengorupsi dana bansos pula, yang proses peradilannya berlangsung di masa rezim Jokowi- presiden yang mengatakan bahwa pelaku korupsi di masa pandemi harus ditindak keras.
Juliari Batubara adalah contoh nyata politisi dan pejabat publik yang memanfaatkan taktik kesempatan dalam kesempitan untuk memperkaya diri sendiri. Sedangkan Jokowi, adalah presiden yang menjanjikan penegakan sistem hukum yang bebas korupsi serta pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan terpercaya, serta penguatan KPK, tapi justru menyetujui revisi UU KPK dan pelaksanaan Tes Wawasan Keistanaan- maaf, Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang berujung pada pemberhentian 57 orang pegawai KPK.
Penghentian pengusutan kasus korupsi bansos yang mentok di tahap penangkapan Juliari Batubara sebab pegawai-pegawai KPK yang “garang” telah diberhentikan, juga serentetan tindak pelemahan KPK termasuk pelaksanaan TWK yang berpotensi maladministrasi itu, menunjukkan bahwa taktik kesempatan dalam kesempitan bukan hanya berarti menciptakan kesempatan bagi diri sendiri selagi sempat, melainkan juga berarti mengamankan kepentingan diri dan menutup jalan agar tidak dirugikan oleh pihak lain selagi ada kesempatan.
Tentu saja kita sebaiknya tidak lupa pada salah satu prinsip di negeri ini, yaitu jika realita tidak sesuai dengan undang-undang, maka ubahlah undang-undangnya. Prinsip lainnya adalah susunlah undang-undangnya secara cepat, tepat, dan minim partisipasi publik.
Bukan aku tidak memercayai legislatif. Namun, jika benar bahwa 55 persen dari total anggota DPR RI adalah pengusaha, maka wajar jika aku ragu. Pasalnya, di negara ini, perkawinan antara korporasi dengan birokrasi telah dirayakan dengan resepsi, tidak lagi sekadar nikah siri.
Pemilihan presiden 2024 masih dua tahun lagi, tapi baliho yang berisi wajah para elit partai telah muncul di mana-mana. Rupa-rupa warnanya. Sayangnya, Puan Maharani masih belum mampu terbang tinggi meskipun sayap-sayap kebhinnekaan telah mengepak di Solo dan sekitarnya. Maksudnya, elektabilitasnya yang belum naik.
Pemilihan umum selalu memberikan kenangan tersendiri. Bertekad menggunakan hak suara agar tidak golput dengan serendah-rendahnya iman dan keyakinan akan sistem demokrasi- yakni memilih yang kurang buruk di antara yang buruk, nyatanya tetap membawa kita pada nasib buruk. Bahkan jika aku dan kau sadar politik, pilihan politisi yang tersedia masih itu-itu saja untuk dipilih.
Karena pandemi, ada wacana agar masa jabatan presiden dipertimbangkan untuk diperpanjang 2-3 tahun. Terkait isu itu, Jokowi mengatakan menolak perpanjangan masa jabatan presiden. Namun, bagaimana lagi aku akan memercayai pernyataan Jokowi tersebut?
Jokowi adalah presiden yang kupilih dua kali, yang mengesahkan UU Cipta Kerja yang banyak cacatnya, juga adalah presiden yang menyatakan akan membangun Ibu Kota Negara (IKN) yang baru dengan hanya 19 persen dana pembangunannya yang berasal dari APBN pada 2019 lalu. Kini, 19 persen itu membengkak menjadi 53,5 persen dari total Rp466 triliun dana yang dibutuhkan. Sekarang juga diwanti-wanti jangan sampai pembangunan IKN menggunakan dana PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) yang dikhususkan dalam menangani dampak pandemi Covid-19.
Banyak pernyataan Jokowi yang berubah. Meski demikian, aku tidak akan menyebut beliau sebagai The King of Lip Service, karena itu telah dinyatakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI). Sekarang ini, Jokowi bisa saja tidak menyetujui perpanjangan masa jabatan presiden, tapi yang pasti Jokowi ingin bisa melangsungkan upacara kemerdekaan di ibu kota yang baru pada 2024 mendatang.
Setiap kali membincangkan pembangunan IKN, pikiranku tertuju pada keadaan tanah setelah turun hujan : basah.
Mungkin memang benar bahwa setiap yang bernyawa akan merasakan mati, patah hati, dan ditipu politisi. Kenyataannya, ditipu politisi tidak saja membuat patah hati, melainkan juga muak setengah mati. Bagaimanapun itu, Jokowi cukuplah dua periode; dua kali lima tahun. Selamat tinggal suaraku yang telah mengantarkan Jokowi ke singgasana kekuasaan. Akan kukenang kau selalu.