Sebenarnya saya urung berkomentar dengan pembelajaran daring pada era new normal ini. Namun, setelah ditunggu-tunggu, kok belum pergi-pergi juga virus corona ini. Bahkan diprediksi oleh para ahli, new normal nantinya berlaku sampai 2 Tahun. Waktu yang cukup panjang untuk mengubah kebiasaan baru kita. 

Saya amati beberapa lembaga pendidikan melakukan beberapa kebijakan, hingga berjilid-jilid (bukan demo di monas ya!) mengenai perpanjangan masa belajar di rumah, yang akhirnya membuat saya gatal untuk menulis sesuatu tentang pendidikan di era new normal ini.

Ceritanya kebetulan saya juga seorang pengajar. Hingga suatu hari saya merasa heran mendengar tetangga saya yang sedang membangun rumah. Nah kebetulan anak saya bermain pasir di depan rumahnya. Maklum orang yang sukanya pindah-pindah kontrakan ini tentu tidak ada tumpukan pasir di rumah yang saya huni.

Dia mengawali percakapannya “ora sekolah to nduk? Kok dolanan wae” (tidak sekolah to nak? Hanya mainan saja), “mboten” (tidak) jawab anak saya yang sedang bermain pasir. 

Memang sejak bulan Maret kemarin sekolah ditiadakan karena datangnya virus Corona. Anak saya yang sedang asyiknya membentuk imajinasinya lewat bermain pasir, entah itu membuat roti-rotian, bermain jual beli dengan sesama temannya, ataupun mencampurkannya dengan air dan mengaduk-ngaduknya, dianggap tidak masuk kriteria dalam hal pendidikan untuk anak usia dini, yang kebetulan usia anak saya 5 tahun.

Padahal yang saya pahami, apa yang dia kerjakan membantu gerak dia untuk mengembangkan imajinasinya dan menguatkan otot-otot yang ia miliki. Latihan-latihan yang terangkum dalam mainan pasir tersebut sebenarnya sangat membantu dia untuk pertumbuhan dan perkembangan intelektual dan sosial dirinya lebih lanjut untuk berinteraksi dengan lingkungannya.

Memang, gara-gara “Hegemoni Sekolah” ini masyarakat sudah lupa bahwa sekolah adalah salah satu dari tiga jenis pendidikan, yaitu pendidikan di sekolah itu sendiri, pendidikan di dalam keluarga dan juga pendidikan masyarakat. Apa-apa yang berhubungan dengan pendidikan kebanyakan dikaitkan dengan sekolah, mulai dengan bertanya kelas berapa? rangking berapa? sekolah di mana? dan sederet pertanyaan lain. Capek deh!

Sekolah tanpa sadar dan tanpa paksaan sudah hadir di antara kita. Selaras yang disampaikan oleh Antonio Gramsci mengenai hegemoni, yaitu sebuah dominasi yang berlangsung tidak dengan paksaan yang kasat mata, tetapi dengan persetujuan (consent) dari pihak yang didominasi. Hegemoni sekolah akhir-akhir ini sudah mulai masuk dalam periode mengkhawatirkan.

Akibat yang ditimbulkan bagaimana? Hegemoni sekolah tersebut setidaknya mengubur sistem pendidikan yang ada di keluarga dan masyarakat. Anak yang membantu orang tuanya mengepel, anak-anak yang membantu orang tuanya berjualan, anak-anak yang membersihkan piring, berimajinasi dengan bermain pasir, loncat-loncat dan mengeksplorasi lingkungan tidak dianggap sebagai sebuah proses pendidikan. Alasannya klasik, karena tidak dilakukan di sekolah.

Entah kapan “Hegemoni Sekolah” ini nanti terus berlanjut. Sampai datangnya virus corona-pun yang sejatinya proses pendidikan bisa diterapkan di mana saja. Justru berbagai pihak memaksakan diri untuk terus menyelenggarakan pendidikan di sekolah, melalui daring misalnya.

Setelah saya amati, setidaknya ada 2 model pendidikan sekolah di era pandemi Covid-19 ini. Pertama, sekolah melalui daring atau online. Tentu bagi anak yang sudah mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, mempunyai gadget, tersedianya internet bisa melakukan pembelajaran melalui daring, tidak ada masalah. Biasanya para pengajar mengirim tugas yang disertakan dalam WhatsApp Group, e-learning ataupun jalur-jalur yang lain di dunia media sosial.

Kedua sekolah luring, yang dijalani bagi peserta didik yang tidak memiliki jaringan internet ataupun terkendala ekonomi. Kasus yang nomor dua ini kurang mendapat sorotan. Padahal kondisi di Indonesia sendiri menghadap situasi di sejumlah daerah yang tidak terjangkau internet dan juga kondisi masyarakat Indonesia di bawah garis kemiskinan.

Mengutip dari John Dewey, Filosof pendidikan, ia mengatakan bahwa “pendidikan adalah kehidupan itu sendiri”. Produk pendidikan sekolah, sedikit banyak menjauhkan kita terhadap makna kehidupan yang nyata. Sempat viral di media sosial, ada seorang bapak membelikan gadget untuk anaknya belajar. Secara dramatis digambarkan bahwa seorang bapak membawa uang receh satu “sak” untuk membelinya. 

Banyak komentar netizen yang mengapresiasi bahkan memuji. Namun saya malah merasa prihatin, serta berkesimpulan ternyata pendidikan sekolah sudah jauh dari kehidupan itu sendiri. Selaras apa yang dikatakan oleh Maria Montessori, Pendidik Italia, bahwa metode-metode pembelajaran yang digunakan sekarang ini, menjauhkan anak dari kehidupan itu sendiri.

Prihatin sebetulnya, yang seharusnya uang tersebut bagi si bapak bisa dibelikan beras ataupun lauk pauk untuk makan sehari-hari, tapi ternyata harus rela dibelanjakan gadget untuk pembelajaran daring. Saya memikirkan bagaimana kelanjutan si bapak dan anaknya ini, apabila mencari rezeki saja sulit, apalagi untuk menghidupi paket data yang digunakan oleh anaknya untuk berselancar dan belajar melalui media internet?

Sebetulnya mudah saja menerapkan konsep pendidikan bagi anak yang model kedua (luring). Tugas-tugas sekolah bisa diminta secara offline, kemudian hadirkan proses pendidikan dalam kehidupan dia. Misalnya setelah menunaikan kewajiban belajar offline, orang tuanya ternyata pedagang maka bantu mereka menyiapkan jualannya. 

Ternyata orang tuanya seorang petani maka bantu mereka bertani, bantu orang tuamu membersihkan piring atau pekerjaan rumah yang lain, ajarkan kepada anak sosialisasi dengan masyarakat dan segala pemberdayaannya. Pendidikan tidak hanya berupa teks, buku ataupun dengan bangkunya namun kehidupan yang ia sedang jalani.

Seperti cerita keluarga Halilintar bagaimana mereka membagi tugasnya masing-masing dalam keluarga. Ada yang menjaga adiknya, mencuci piring, mencuci baju, melipat, merapikan rumah menangani kendala dalam bidang IT. Sekarang anak pertama, si Atta Halilintar sudah menjadi youtuber terkenal dan berhasil menggaet seorang anak artis ternama dan sedang viral dengan lagunya yang berjudul “kepastian”, eits eits.

Bayangan saya setelah COVID-19 ini berlalu, orang tua dapat merubah mindset tentang perlunya sinergi antara sekolah, orang tua dan masyarakat. Setelah sebelumnya para orang tua menyerahkan secara total segala pendidikannya kepada sekolah. 

Pembelajaran daring dan luring dari rumah ini memberikan pelajaran kepada kita sebagai orang tua, pentingnya peran sentral keluarga terhadap tumbuh kembang anak dan mengenalkan anak dengan lingkungannya. 

Setidaknya hegemoni sekolah telah berhasil menenggelamkan dua sumber pendidikan yang lain, yaitu di keluarga dan masyarakat. Yang saatnya kita bongkar dan sinergikan atas hikmah pandemi Covid-19 ini!