Saat ini, Indonesia sedang  menghadapi The New Normal atau fase kehidupan baru setelah pandemi virus corona menghentak dunia. Kondisi ini tidak dapat dibiarkan tanpa keberanian untuk kesudahan karena dapat berakibat pada kebangkrutan total.

Tidak hanya dirasa dari aspek perekonomian, bisa jadi negara tidak akan sanggup membiayai roda pemerintahan dan rakyatnya, termasuk lebih jauh lagi akan berdampak pada poleksosbud (politik, ekonomi sosial, budaya) dan keamanan nasional serta mengganggu aspek kepentingan nasional. Karenanya saat ini saja sedikit banyak dampak irisannya telah dirasakan.

Maka mau tidak mau perlahan pembatasan sosial harus dilonggarkan dan membuka aktivitas sosial secara bertahap (era new normal). New normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal. Namun, perubahan ini membawa konsekuensi syarat tambahan dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan COVID-19 di setiap kegiatan, apalagi yang melibatkan orang banyak. 

Berbicara interaksi kegiatan masyarakat di ruang publik erat kaitannya dengan perilaku setiap orang, tingkat kepatuhan seseorang, maka aspek lingkungan sangat memengaruhi pola perilaku masyarakat. Apakah perilakunya sesuai atau menjadi perilaku yang menyimpang. Karena lingkungan menjadi salah satu faktor pembentuk kepribadian, baik fisik maupun perilaku.

Dalam novel Origin karya Dan Brown disinggung tentang sebuah peradaban baru, ketika manusia bersahabat dengan teknologi. Bahkan, Brown melalui legitimasi ilmiah teori evolusi Darwin meramalkan akan ada spesies baru, dari 6 spesies (kingdom) makhluk hidup yang telah ada.

Spesies baru itu disebut dengan technium, yang mengandaikan ketika manusia "manunggal" dengan teknologi, maka jati diri manusia yang "sejati" pun akan berubah, terkontaminasi oleh teknologi.

Benar saja, manusia dewasa ini telah mengandalkan teknologi sebagai basis peradabannya. Manusia saat ini boleh dikatakan tidak bisa hidup tanpa teknologi. Bukannya tidak mungkin, kenormalan baru (new normal) yang belakangan ini menjadi topik utama pembicaraan di era pandemi nantinya akan melahirkan tatanan peradaban manusia yang baru (new order).

Saya membayangkan bahwa tatanan baru ini akan melahirkan purwarupa model manusia baru, atau jika mau lebih dramatis, spesies manusia baru. Sebut saja, spesies baru tersebut dengan istilah Coronium.

Bukan coronium dalam ilmu kimia yang berlambangkan Fe13+, tetapi ini adalah bentuk kolaborasi manusia yang telah “berdamai” dengan corona. Simpelnya seperti Zombie yang ada dalam berbagai film karya sineas Holywood dan lainnya.

Pikiran liar saya di atas tentu saja tidak berlandas argumentasi ilmiah, hanya angan-angan, mengikuti jejak imaginasi para "ahli" yang sering mewarnai garis waktu medsos kita. Dan jika diperbolehkan untuk "nyinyir", saya rasa semua keilmuan, saintifik, profesionalitas, atau apa pun yang punya legitimasi ilmiah hari ini rasanya tidak memiliki "lisensi" absolut untuk melakukan penjelasan ilmiah tentang fenomena wabah corona ini, jadi tak salah jika saya memproklamirkan isi pikiran saya.

Semua pakar ilmiah hanya bisa mereka-reka, ahli medis hanya bisa menganalisis, ahli virus pun tampaknya "gagap" ketika menjelaskan Covid 19. WHO dalam satu kesempatan dan kesempatan lain menyarankan hal yang berbeda. Menteri Kesehatan RI tampaknya juga blunder soal "masker (hanya) untuk yang sehat".

Apalagi beberapa lembaga survei yang melakukan prediksi dengan data sekunder "angka" dan "tren", akan sangat berbeda tingkat akurasinya, dibandingkan ketika mereka survei fenomena politik, polling elektabilitas, exit poll, atau quick count. Intinya, tidak ada otoritas yang bisa menjelaskan secara akurat fenomena corona ini. Sehingga, bolehlah ketika kita mengandai, berimajinasi tentang masa depan "berdamai" dengan pandemi.

Manusia Baru

Hampir 8 (delapan) bulan lamanya saya berdiam dan belajar dari rumah. Soal bosan, jangan ditanya. Gabut? Sudah tak kenal lagi saya apa yang lain selain Gabut. Namun faktanya selama delapan bulan ini saya masih bisa bernapas, menikmati kehidupan, anugerah Tuhan yang tiada tara. Benar kata pepatah, "ala bisa karena biasa."

Kita akan menjalani pola kehidupan baru sebagai manusia sosial. Tetap di rumah, work from home, jaga jarak, social distancing, mengurangi kerumunan, memakai masker, sering cuci tangan, menjaga daya tahan tubuh adalah deretan terminologi yang menjadi "mainstream" peradaban manusia di tengah pandemi sekarang ini. Tentu saja, manusia mengisolasi diri di rumah ini tidak mungkin dilakukan selamanya--sampai ditemukan vaksin corona.

Menurut para ahli, proses penemuan vaksin sampai hilirisasi di sektor industri memerlukan waktu yang lama, bisa jadi lebih dari satu tahun. Padahal pola "di rumah" telah meruntuhkan sektor ekonomi, yang menjadi basis kehidupan umat manusia. Inilah mengapa kita harus melakukan new normal. Kembali ke kehidupan normal, dengan pola baru. Hal ini, sebagaimana yang saya singgung di atas, akan melahirkan prototip manusia baru, spesies coronium.

Coronium adalah purwarupa manusia baru, di mana pola interaksi langsung yang menjadi tabiat "asli" manusia mencoba diminimalisasi. Contoh sederhana, bersalaman. Bersalaman yang selama bertahun-tahun lamanya menjadi produk peradaban manusia, apalagi pada masyarakat muslim, dengan sukarela harus mulai kita hilangkan, maka hadirlah sebuah rekomendasi yaitu salaman dengan menyentuhkan siku.

Saat ini, kita sudah menyaksikan bagaimana tradisi beragama yang selama bertahun-tahun dilestarikan harus ditinggalkan: salat berjamaah, Tarawih, Salat Id, mudik, halal bihalal, silaturahmi. 

Sebagai produk kebudayaan, ritus dan situs keberagamaan tersebut harus rela untuk ditinggalkan. Coronium adalah purwarupa baru yang sekiranya tidak akan melestarikan produk keberagamaan tersebut, atau walaupun masih melestarikan, namun dengan model dan format yang berbeda.

Belanja online, seminar online, webinar, belajar online, kerja online adalah karakter baru coronium ini. Belanja online yang saat ini sudah akrab dilakukan, faktanya sudah mampu menjadi pola peradaban baru, bahkan dikabarkan sudah mulai mengancam pasar, swalayan, dan toko riil.

Di sektor pendidikan, uji coba belajar dan bekerja di rumah yang selama 8 bulan ini telah diterapkan menjadi karakter selanjutnya manusia coronium. Ke depan, boleh jadi sekolah favorit tidak lagi dilihat dari berapa tingkat gedungnya. Perguruan tinggi unggul, tidak lagi mengandalkan infrastruktur megah. Melainkan, bagaimana mampu mengemas pola interaksi dan pembelajaran yang efektif, dengan polesan inovasi. 

Bukan tidak mungkin loh, mengingat Mas Menteri kita dikenal sebagai orang yang mendobrak kebiasaan lama (udah macam iklan kopi aja) dari dulunya kita terbiasa menggunakan “Rbt”(moniker untuk ojek diaceh), sekarang menjadi “Rbt” berbasis online, seperti Grab, Maxim, Gojek, Kamoe Antar dan segenap turunannya.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika pandemi ini terjadi pada era belum ditemukannya internet. Syukurlah, kehidupan telah "menganugerahkan" internet kepada kita, sehingga kita masih bisa survive di tengah pandemi, setidaknya ruang sosialisasi antarmakhluk sosial masih bisa dilakukan

Saya berharap tetap bisa hidup hingga di mana di suatu masa, ketika kita terdeteksi “Corona”, kita dengan mudahnya mencari obat-obat mainstream “Corona” semudah mencari bodrek, Paramex, Inza dsb, atau dengan obat-obatan kampung seperti campuran kelapa muda dengan telur kampung mentah untuk obat demam atawa campak (cacar) serta ma.

Kita semua tentu berharap pandemi ini akan segera berakhir, dan kita akan kembali menjadi manusia normal -tanpa kenormalan baru, tatanan baru, apalagi spesies baru. Namun, alam selalu akan menjaga keseimbangannya, berubah, bermetamorfosis, dan berevolusi sesuai kehendaknya, secukupnya.