Musibah corona di Indonesia memang belum usai, bahkan menurut prediksi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), puncak dari virus corona di Indonesia adalah sekitar bulan Juli.

Tapi sebagai manusia, sudah sepantasnya kita berdoa, semoga musibah corona ini cepat berlalu, dan supaya masyarakat bisa beraktivitas sebagaimana biasanya, apalagi sebentar lagi umat Islam akan menyambut bulan suci Ramadan dan hari raya Idul Fitri.

Tentu momen berkumpul bersama keluarga tidak akan dirasakan, khususnya bagi para perantau, apabila musibahcorona ini masih terus berlanjut hingga puasa dan hari raya.

Namun apa sih sebenarnya yang berbahaya dari COVID-19 ini? Kenapa banyak masyarakat kita yang dibuat panik olehnya? Tapi sebelum membahas itu, mari kita pahami terlebih dahulu apa itu COVID-19.

COVID-19 merupakan singkatan dari Corona Virus Disease 2019. Virus ini muncul di akhir tahun 2019, dan kini merebak hampir di seluruh dunia.

Bermula dari Wuhan, China, virus ini tak hanya merebak ke wilayah otonomi seperti Makau dan Hong Kong, namun juga ke berbagai negara, termasuk Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, Singapura, Thailand, Vietnam, Malaysia, Italia, Iran, bahkan Indonesia.

Sementara itu, kalau ditinjau dari angka kematian, tingkat kematian orang yang terjangkit virus corona (COVID-19) masih di kisaran 2-3 persen jika dibandingkan MERS dan SARS yang jauh lebih tinggi tingkat kematian orang yang terjangkit.

Di tengah pesatnya penyebaran COVID-19, beberapa minggu lalu Vietnam mengumumkan bahwa pasien mereka yang terjangkit COVID-19, dan berjumlah 16 orang telah dinyatakan sembuh dan telah keluar dari rumah sakit. Bahkan pemerintah Vietnam juga tidak melaporkan adanya kasus tambahan.

Selain itu, data yang diperoleh dari John Hopkins University pada tanggal 23 Maret 2020 menyatakan bahwa pasien yang sembuh dari COVID-19 di China mencapai 71.258 dari 81.193 yang terinfeksi. Namun saat ini tercatat ada 39 kasus baru yang terdeteksi di China, yang semuanya berasal dari para pendatang.

Artinya, tingkat kesembuhan di China sudah menembus 87,76 persen. Melihat hal tersebut, kita optimis bahwa pasien yang terjangkit virus corona sebenarnya mempunyai harapan besar untuk sembuh apabila ditangani dengan baik.

Adapun data yang diperoleh juga dari John Hopkins University menyatakan jumlah yang terinfeksi per Senin (6/4/2020) adalah sebanyak 1,27 juta kasus.

Lantas mengapa kita dihimbau untuk diam di rumah?

Menurut Kepala Bidang Media dan Opini Publik Kementerian Kesehatan, Busroni, pysical distancing dan karantina mandiri mempunyai peran besar dalam mencegah, menagani, dan memperlambat penularan COVID-19. Upaya ini untuk melindungi orang sakit dan orang yang sehat.

Lalu seberapa bahayakah COVID-19 ini?

COVID-19 memang memiliki tingkat kematian yang rendah jika dibanding MERS dan SARS. Gejala yang dialami penderita juga hampir sama seperti gejala flu. Namun yang berbahaya dari COVID-19 ini adalah penyebarannya yang masif dan cepat.

Menurut Jennifer Rohn, seorang ahli biologi dan pakar pandemi dari University College London, COVID-19 sangat menakutkan apabila berada di tempat yang padat penduduk, karena penyebarannya yang begitu cepat.

Namun COVID-19 tidak berbahaya bagi orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Apabila seseorang tersebut memiliki imun tubuh yang baik, maka tidak akan mudah terserang virus.

Tapi, menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), seseorang juga bisa terinfeksi COVID-19 meskipun tidak memiliki gejala. Justru situasi seperti ini yang berbahaya. Penyebaran bisa meluas, namun tidak diketahui.

Peneliti bidang mikrobiologi LIPI, Sugiyono, menyatakan bahwa 12,6 persen kasus di China merupakan transmisi pre-simtomatik.

Pre-simtomatik sendiri artinya penularan dari orang yang membawa virus tapi belum ada gejala ke orang sehat lainnya daripada yang menularkan. Ini karena orang tersebut memiliki daya tahan tubuh yang rendah sehingga gejala tersebut cepat timbul.

Sugiyono juga mengajak masyarakat untuk menerapkan pysical distancing guna membantu pemerintah memutuskan mata rantai penyebaran COVID-19.

Lantas mengapa banyak yang meninggal akibat COVID-19?

Michael Mina selaku asisten Profesor Ilmu Penyakit Menular dari Harvard University memaparkan bahwa dari 90.000 kasus infeksi COVID-19, tingkat kematian lansia di atas 80 tahun mencapai 21,9 persen, kelompok 70-79 tahun serta 60-69 tahun, angka kematiannya masing-masing 8 persen dan 3,6 persen.

Menurut juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, COVID-19 akan memperburuk daya tahan tubuh pasien, dan menyebabkan penyakit bawaan yang dimiliki pasien semakin memburuk. Tidak pernah didapati pasien tersebut meninggal akibat COVID-19 sendiri.

Ini artinya, kebanyakan pasien COVID-19 yang meninggal disebabkan oleh penyakit dasar yang dimilikinya, seperti komplikasi, dan lainnya, bukan benar-benar murni akibat COVID-19.

Selain itu, dalam kondisi seperti ini, peran media juga sangat penting. Media sebaiknya lebih memperhatikan kepentingan khalayak luas sebelum memuat laporan dan berita tentang COVID-19. 

Jangan sampai media justru memuat info-info yang akan menimbulkan kepanikan di masyarakat. Karena menurut Ibnu Sina, kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, sedangkan kesabaran adalah langkah awal kesembuhan.