Seringkali kita mendengar istilah pembaharuan, tajdid maupun ishlah. Disaat yang bersamaan kita bingung dengan makna dan maksud dari istilah tersebut. Apalagi jika dikaitkan dengan istilah (pembaharuan) keagamaan, keislamaan terlebih pemikiran. Demi memahami maksud tulisan ini, anggaplah makna pembaharuan adalah gerakan untuk memperbaiki fenomena keislaman yang (dianggap) menyimpang dari sumber pokok ajaran tersebut, Quran dan Hadits misalnya.

Dalam Islam terminologi pembaharuan memiliki sejarahnya yang panjang, bahkan sejak  generasi awal yang disebut dengan generasi as-Salaf as-Sholih. Ketika banyak bermunculan kelompok-kelompok sempalan yang secara pemikiran melenceng ke kanan-kiri, fatalisme-idealisme, jabariyah-qadariyah dan seterusnya. Kemudian lahirnya Imam Abu al-Hasan al-Asyari saat berupaya meluruskan penyimpangan-penyimpangan akidah waktu itu adalah contoh pembaharuan yang memiliki pembenarannya. Dan ini selaras dengan sabda Rasul yang mengatakan “Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini pada setiap seratus tahun orang yang akan memperbaharui agamanya”. (HR. Abu Daud. 3740). 

Sementara didalam beberapa literatur lain juga disebutkan bahwa gerakan pembaharuan Islam dapat dikelompokkan dalam dua periode, yaitu klasik dan modern. Periode klasik misalnya diwakili oleh Ibn Taimiyah (1263-1328 M), kemudian dilanjutkan oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab (1703-1787 M). Sementara periode modern diwakili oleh Jamal ad-Din al-Afgani (1837-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Rasyid Ridha (1865-935 M) dan kelompok pemikir dari Barat.

Diantara dua periode tersebut terdapat corak yang berbeda satu sama lain. Kita  memahami bahwa fokus dakwah Ibn Taimiyah maupun Muhammad Ibn Abd al-Wahhab lebih pada tema purifikasi atau pemurnian ajaran. Dalam gerakan-gerakannya mereka banyak mengaplikasikan pembaharuan dalam bidang akidah dan ibadah. Misalnya segala perkara harus “dikembalikan” lagi ke Quran dan Hadits. Sementara pada periode modern para penggagasnya lebih banyak berbicara pembaharuan seputar tema modernisme, reformisme, sekularisme dan seterusnya.

Di Indonesia sendiri gerakan pembaharuan modern –sebatas pengetahuan penulis- baru ramai pada awal abad ke 20 M, umumnya gagasan itu dibawa masuk ke Indonesia melalui para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Timur Tengah yang banyak bersentuhan secara pemikiran dengan Muhammad Abduh dan lainnya, disamping terdapat tokoh asing yang datang dengan membawa gagasan tersebut. Di antaranya adalah Syaikh Ahmad Surkati, tokoh ‘pembaharu’ Islam asal Sudan pendiri Organisasi al-Irsyad al-Islamiyah Jakarta.

Ya, tokoh pendiri organisasi al-Irsyad itu berasal dari Sudan, tepatnya di Provinsi Utara Dongola. Ia dilahirkan pada tahun 1875 M/1292 H. Banyak yang menyebutkan bahwa ia adalah keturunan Jabir ibn Abdullah al-Anshari, salah seorang sahabat Rasulullah.

Sementara dalam beberapa literatur juga disebutkan bahwa nama “Surkati”  berarti “banyak kitab” (Sur menurut bahasa setempat artinya “kitab”, dan katti menunjukkan pengertian “banyak”). Pada mulanya, sebutan ini disandarkan pada kakeknya yang sekembalinya dari Mesir dengan membawa banyak kitab.

Surkati kecil banyak dididik oleh Ayahnya sendiri, kemudian ia melanjutkan ke pusat penghafal Quran atau yang dikenal dengan sebutan khalwah. Sejak menginjak remaja bakat kecerdasan dalam otaknya sudah semakin terlihat, hal ini dapat diketahui melalui kecepatan hafalannya dalam menghafal ayat-ayat Quran. 

Setelah menyelesaikan hafalan maupun pelajaran keislaman dari satu tempat ke tempat lain, ia hendak dikirim oleh ayahnya untuk melanjutkan belajar ke Universitas al-Azhar. Akan tetapi karena alasan politik saat itu, ia terpaksa tidak dapat melanjutkan belajarnya di Mesir. Namun ia berhasil meninggalkan Sudan untuk melanjutkan belajarnya ke Makkah, tak lama kemudian ia memilih Madinah untuk berguru kepada ulama setempat, meskipun akhirnya beberapa tahun kemudian ia kembali lagi ke Makkah. 

Ditempat baru tersebut ia banyak menimba ilmu pada ulama-ulama hebat sehingga mereka dapat membentuk kepribadian Surkati sebagai seorang pejuang; yang memperjuangkan sesuatu yang ia anggap benar. Disana ia juga banyak berinteraksi dengan ulama-ulama al-Azhar di Mesir, melalui surat menyurat ia dapat mengikuti setiap perkembangan pemikiran yang lahir dari murid-murid Muhammad Abduh, sebagai tokoh pembaharu saat itu. 

Setelah membangun karir sebagai seorang pengajar sekaligus pendidik, ia berhasil mendirikan sebuah Madrasah swasta di Makkah, disamping menjadi pengajar tetap di Masjidil Haram. Dari situ kemudian namanya mulai dikenal dikalangan Arab. Berkat hubungan surat menyurat dengan ulama al-Azhar, ketika salah seorang utusan Jamiat Khair Jakarta meminta pada al-Azhar untuk mengirimkan tenaga pengajar untuk mengajar di Jamiat Khair, justru pihak al-Azhar merekomendasikan nama Ahmad Surkati untuk pergi ke Jakarta sebagai pengajar disana. Dan sejak tahun 1911 M/1329 H Surkati resmi tercatat sebagai tenaga pengajar Jamiat Khair.

Tokoh satu ini memang tidak begitu populer dibandingkan dengan Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, misalnya. Meskipun mereka hidup dalam satu masa dan memiliki beberapa kemiripan pandangan. Oleh banyak kalangan, nama Surkati diperhitungkan sebagai salah seorang tokoh ‘pembaharu’ yang memiliki pengaruh dalam tradisi keislaman masyarakat Indonesia. Ia juga mempunyai kontribusi yang tinggi dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, terbukti dengan perlawanannya terhadap kolonialisme belanda atas Indonesia saat itu. Menurutnya, kolonialisme selain merusak kehidupan beragama ia juga merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Sebagaimana penulis singgung diatas, bahwa pembaharuan memiliki corak yang beragam. Surkati misalnya, corak pembaharuan yang ia perjuangkan memiliki perbedaan yang signifikan dengan apa yang diperjuangkan oleh Muhammad Abduh di Mesir, disamping juga memiliki kemiripan pandangan dalam beberapa hal dengan tokoh pembaharu itu. Lalu seperti apa pembaharuan yang diperjuangkan oleh Surkati? Mari ngopi, agar enak dalam mengkaji. Hehe.

Untuk dapat mengetahui corak pemikiran seseorang kita perlu kembali menelaah karya-karya yang ia hasilkan. Melalui buku yang ia tulis, ceramah-ceramahnya jika ia seorang dai atau kegiatan sosial-kemasyarakatan yang ia dirikan seperti organisasi, yayasan dan lain sebagainya. 

Syaikh Ahmad Surkati sendiri memiliki beberapa karya tulis, seperti al-Masail at-Tsalats, Shurat al-Jawab, Risalat Taujih al-Quran ila Adab al-Quran, al-Dzakhirah al-Islamiyah dan lain sebagianya. Disamping itu ia juga mendirikan Organisasi al-Irsyad al-Isamiyah, bersamaan dengan pendirian Madrasah al-Irsyad al-Islamiyah, kedua instansi ini adalah di antara “buah tangan” Surkati, meskipun ia tidak sendirian didalam membangun-kembangkan keduanya, akan tetapi tidak diragukan lagi peran besar Surkati didalamnya, sebagaimana disebutkan dalam beberapa literatur.

Dari berbagai karya tersebut –membaca, mempelajari karya-karyanya baik melalui buku maupun fatwa yang menjadi pijakan al-Irsyad al-Islamiyah- dapat disimpulkan, secara garis besar konsentrasi pemikiran Surkati ada pada dua hal; Pendidikan dan Keagamaan (keislaman). 

Tentang pemikiran Surkati dalam bidang pendidikan sebenarnya banyak kemiripan dengan apa yang disuarakan oleh Muhammad Abduh di Mesir, seperti tidak adanya pembeda antara Ilmu Islam dengan Ilmu Eropa (Ilmu Umum), bahwa setiap muslim tidak semestinya menjauhkan diri dari Ilmu-ilmu umum, dan seterusnya, dengan beberapa penyesuaian tentunya sesuai kultur Indonesia saat itu.

Hal tersebut dapat kita lihat pada sistem-metode pendidikan modern yang kemudian oleh Surkati diterapkan pada Madrasah al-Irsyad al-Islamiyah. Dalam bidang ini ia banyak terinspirasi dari pemikir Mesir itu, dan disinilah –menurut penulis- letak kemiripan pemikiran Surkati dengan Muhammad Abduh.

Sementara dalam bidang keagamaan, kita dapat merujuk pada buku-buku maupun fatwa-fatwa Surkati. Diantara buku yang lebih banyak merepresentasikan pemikirannya seputar keislaman adalah buku al-Masail at-Tsalats. Dalam buku ini ia banyak berbicara seputar ijtihad-taqlid, sunnah-bid’ah dan lainnya. Disamping fatwa-fatwa yang beredar dan menjadi pegangan kaum Irsyadi (sebutan untuk anggota, alumni Madrasah al-Irsyad maupun pengagum Syaikh Ahmad Surkati) dalam beragama dan kemudian pemikiran Surkati tersebut tertuang menjadi Mabadi’ al-Irsyad.

Dahulu, saat awal keberadaan Surkati di Indonesia, ia sangat populer dikalangan keturunan Arab di Indonesia, baik alawi maupun non-alawi. Karena ia dianggap sebagai representasi ulama keturunan Arab yang punya otoritas kuat berbicara seputar kegamaan, disamping nama baiknya sebagai ulama yang ia bawa dari tanah suci Makkah saat itu.

Ia adalah di antara ulama yang lahir dan dibesarkan secara pemikiran dari lingkungan Arab, tentu ia memiliki pandangan yang berbeda dengan –misalnya- ulama Nusantara. Sebab pengaruh sosio-kultural yang berbeda. Kemudian pada saat ia berada di Indonesia, sangat mungkin corak pemikiran yang lahir dari lingkungan Arab itu  tetap ia pegang.

Di antara yang –menurut penulis- penting untuk digaris bawahi adalah bahwa wilayah furu’iyah-khilafiyah dalam Islam sangat berbeda dengan wilayah ushuliyah-qath’iyah. Keduanya berangkat dari derajat riwayat yang berbeda. Yang pertama adalah wilayah yang sangat terbuka untuk berbeda pendapat diantara ulama, implikasi kesalahannya pun tidak berakibat fatal, bahkan memperoleh “satu pahala kebaikan”.

Ia berangkat dari riwayat khabar yang tidak mutawatir, atau ia disebut dengan riwayat ahad. Ulama sepakat bahwa riwayat ahad tidak bisa masuk pada wilayah ushuliyah-qath’iyah. Artinya, riwayat ahad tidak bisa dijadikan pembenaran terhadap perbuatan yang dapat menjerumuskan kepada kekufuran, misalnya.

Sementara yang kedua adalah ushuliyah yang berangkat dari riwayat mutawatir, implikasi yang timbul dari kesalahan di dalamnya bisa menjadikan seseorang kufur. Atau dalam istilah lain dikenal dengan sebutan “al-Ma’lum min ad-Din bi adh-Dhoruroh”.

Yang kedua ini juga tidak dapat dijadikan landasan untuk menghakimi wilayah pertama. Pada intinya, riwayat ahad melahirkan furu’iyah, sementara riwayat mutawatir melahirkan ushuliyah; kebenaran furu’iyah adalah nisbi, sementara kebenaran ushuliyah adalah mutlak; kesalahan pada furu’iyah tidak berakibat fatal, sementara kekeliruan pada ushuliyah dapat berakibat fatal dan wilayah furu’iyah tidak bisa dibawa ke wilayah ushuliyah.

Syaikh Ahmad Surkati sendiri –sebatas pengetahuan penulis- seringkali membawa wilayah furu’iyah-khilafiyah kepada wilayah ushuliyah-qath’iyah, sebagaimana penulis pelajari dan telusuri dalam buku maupun fatwa-fatwanya yang banyak beredar. Ia seringkali menghukumi perkara furu’iyah seolah bagian dari perkara ushuliyah, sehingga implikasi yang semestinya tidak fatal menjadi fatal; bid’ah, sesat, syirik dan seterusnya.

Sebagai contoh, pertama. Syaikh Surkati mengatakan didalam fatwanya seputar hukum melafalkan niat didalam shalat. Setelah panjang lebar berbicara seputar perkara niat didalam shalat, kemudian ia berkesimpulan. “Telah dirawikan pula oleh para sahabat-sahabatnya, bahwa Sayyidina Rasul ketika shalat tidak mengucapkan secara lisan niat itu.

Dengan demikian semakin jelas bahwa mengucapkan niat di saat akan shalat bukan berasal dari ajaran agama, hanya bid’ah semata. Dan tiap-tiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan, nerakalah tempatnya”. Sementara menurut ulama Syafi’iyah –yang mana diikuti oleh mayoritas masyarakat Indonesia- bahwa melafalkan niat itu bagus, bahkan mandhub karena membantu menghadirkan hati dalam niat. Perkara seperti ini adalah bagian dari perkara furu’iyah-khilafiyah diantara ulama fikih.

Kedua. Didalam salah satu fatwanya seputar hukum ziarah kubur, Syaikh Ahmad Surkati sampai pada kesimpulan bahwa ziarah kubur yang didalamnya terdapat perbuatan yang “munkar” seperti tabarrukan, tawasulan dan minta syafa’at pada Nabi adalah sesat dan tidak ada landasan teologisnya (dalil).

Ia menyebutkan, “Kami anggap, meminta syafa’at dari orang yang telah meninggal adalah perbuatan yang munkar. Karena yang demikian itu bukanlah warad (datang) dari Rasulullah saw. atau dari salah Khulafa Rasyidin, para sahabat, atau dari salah seorang Imam Ahli Ijtihad. Maupun memohon syafa’at pada Nabi atau lainnya (yang sudah meninggal). Itu semua terhitung sebagai amalan yang diada-adakan orang dalam urusan agama, padahal setip perbuatan yang diada-adakan dalam agama dipandang sebagai bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan nerakalah tempatnya.

Firman Allah.” Di lain pihak, terdapat banyak ulama yang membolehkan bahkan menganjurkan ziarah kubur dengan diisi perkara-perkara baik, seperti membaca al-Qur’an, berdoa kepada Allah dengan diawali tawasulan pada Nabi maupun orang saleh didalamnya, dan seterusnya. Pembahasan ini juga bagian dari wilayah furu’iyah-khilafiyah, dan sangat wajar terdapat perbedaan diantara ulama.

Ketiga. Berangkat dari Mabadi’ al-Irsyad yang disarikan dari ajaran pemurnian yang disampaikan Surkati. Latarbelakang peletakan Mabadi’ ini didasari berbagai sebab, seperti kemunduran umat masyarakat saat itu (dianggap) karena meluasnya wabah takhayul, bid’ah, kesyirikan, takhayul dan seterusnya. Oleh karenanya, isi Mabadi’ tidak jauh dari tema purifikasi atau pemurnian ajaran.

Pada titik ini, jika mengikuti “tesis” klasifikasi periode pembaharuan diatas, penulis sampai pada kesimpulan bahwa pembaharuan Syaikh Ahmad Surkati pada bidang pendidikan banyak terpengaruh oleh Muhammad Abduh di Mesir. Sementara dalam bidang keagamaan, pemikirannya tidak jauh berbeda dengan apa yang diperjuangkan oleh Ibn Taimiyah yang kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Ibn Abd al-Wahab di Hijaz saat itu.

Fokus utamanya adalah pada tema purifikasi atau pemurnian ajaran yang ia anggap telah jauh dan banyak menyimpang dari sumber asli agama Islam; Quran dan Hadits. Sebab fatwa-fatwa dan bukunya banyak berkutat pada wilayah furu’iyah yang ia bawa pada wilayah ushuliyah yang kemudian melahirkan “bid’ah”, “sesat”, “munkar”, “syirik” dan seterusnya. Corak pemikiran seperti ini akan mudah kita temukan saat kita telaah dan baca buku-buku Ibn Taimiyah dan Muhammad Ibn abd al-Wahab.