Menurut IDF (Israel Defense Force), ada sebanyak 535 tentara perempuan Israel telah terbunuh dalam berbagai operasi pertempuran yang terbentang dalam periode 1962-2016. Sedang di Perang Vietnam, hampir sebanyak 11.000 wanita Vietnam dan lebih dari 5.000 wanita Amerika turut terlibat aktif di dalamnya.

Dengan adanya kiprah perempuan dalam militer, khususnya dalam arena perang, maka lahirlah diksi feminin yang dikenal dengan istilah “combat barbie”.

Apakah diksi ini berhubungan dengan feminisme? Terutama jika dihubungkan dengan perang?

Tentunya tak mudah untuk jawabannya. Akan banyak irisan-irisan yang saling mengambil bagian masing-masing dalam urusan ini. Tinggal kita analisis potongan-potongan tersebut dengan nalar sehat.

Sebenarnya, feminisme itu tidak hanya berkutat tentang kesetaraan saja. Namun, banyak feminis dunia yang menulis tentang perlunya perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki. Jadi, yang diperjuangkan dalam hal ini adalah kesetaraan dan kesempatan.

Di samping itu, banyak juga feminis yang menulis tentang perlunya mengkritisi nilai-nilai dan cita-cita patriarkal pria. Nah, bertambah lagi, bukan? Ada kesetaraan, kesempatan, dan kritik patriarkal.

Kritik patriarkal dilontarkan dengan menyorot salah satu kegemaran pria yang maskulin, yaitu perang. Bagaimana irisan feminisme dalam hal kesetaraan, kesempatan, dan kritik terhadap kegemaran pria ini? Apakah benar kegemaran perang adalah dominasi kaum pria?

Kita ketahui sebagaimana lazimnya sebuah tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup beserta nalurinya, di mana wanita juga sudah biasa menempati predikat-predikat maskulin seperti sebagai politisi hingga prajurit.

Kondisi Ini sudah sebagian menunjukkan bahwa wanita bisa sama tertariknya dengan perang seperti halnya pria.

Mempertahankan kemuliaan, kebutuhan eksis, survival, dan kepuasan batin sebagai pemenuhan emosi dengan jalan berkelahi itu tidak terbatas pada satu jenis kelamin saja. Bahkan, wanita lebih cenderung untuk jambak-jambakan saat sudah tak terkontrol lagi sebagimana pria yang pukul-pukulan.

Jadi irisan pertama, jika dihubungkan dengan feminisme, cukuplah tipis-tipis saja. Artinya, naluri berkelahi itu ada pada wanita dan pria.

Dengan tipisnya irisan tersebut, maka akan terlihat potongan samar ketika feminisme menuntut adanya kesetaraan, kesempatan, dan kritik patriarkal perang di dunia militer.

Ketika feminisme mendorong perempuan harus memiliki akses yang sama terhadap pekerjaan dan kemajuan karier di dalam militer, maka di situ pula feminisme bersentuhan langsung dengan patriarkal perang.

Ketika perang diatur negara, maka kritik feminis terhadap militerisme dan perang bisa jadi hilang. Para ibu akan membiarkan putra dan putrinya untuk terlibat. Bahkan, kalau perlu dirinya sendiri. Dalam hal ini, negara telah mengorbankan feminisme di atas altar yang bernama moralitas perang.

Moralitas perang? Sepertinya itu dipaksakan. Semua perang tentunya tidak bermoral. Pertempuran yang mengikutsertakan feminisme sepertinya hanya sebagai usaha agar dihargai dan dihormati sebagai aktor moral.

Hal itu terjadi ketika feminisme dipaksa negara untuk mendapatkan pengalaman moral perang di medan pertempuran.

Sebagaimana efek dari sebuah pembentukan unit-unit tempur perempuan, mereka yang bukan kombatan atau tidak tergabung resmi dalam unit tempur tentunya tidak bisa dikatakan setara.

Feminisme yang dipaksa negara dalam sebuah kesetaraan militer, sekarang telah menjadi bahan bakar dan cita-cita sebagian feminis. Bahkan, ia telah menjadi sebuah tujuan vital.

Dalam keadaan ini, perempuan mau tidak mau harus siap mempertaruhkan hidup mereka seperti halnya pria.

Itulah salah satu bagian dari pencapaian kesetaraan bagi perempuan di militer. Kesuksesan feminisme di Amerika Serikat dan Israel serta beberapa negara lainnya telah menjadikan feminisme sebagai ladang pembantaiannya sendiri atas nama bangsa dan negara.

Hingga, perempuan yang terlibat langsung dalam sebuah pertempuran militer atau perang menjadikan dirinya sangat ikonik. Sebagaimana lahirnya ikonik yang bernama “combat barbie”.

Combat barbie identik dengan unit-unit khusus dan spesial yang memerlukan kekuatan, kecerdasan, dan daya tahan tubuh yang diisi oleh perempuan.

Memang sebagian besar korban tentara dalam pasukan dan bahkan "pahlawan" secara statistik adalah laki-laki. Namun, tidak mengakui pengalaman, peran, dan upaya perempuan yang terlibat dalam pertempuran adalah sesuatu yang khianat.

Laki-laki secara statistik lebih mungkin untuk menjadi korban tewas selama konflik. Hingga tulisan sejarah resmi dan ataupun fiksi perang cenderung mengecilkan peran perempuan. Mereka sering digambarkan sebagai "diperlukan, tetapi tidak penting".

Ketika negara mengatur perang, dan feminisme menyambutnya, maka korban selanjutnya adalah perempuan sipil yang non-kombatan.

Perempuan sipil ini adalah irisan kedua yang cukup tebal. Irisan yang muncul ketika feminisme memaksa di patriarkal perang. Mereka hanya menjadi saksi bisu dari kengerian perang. Berdiri tegar di antara feminisme patriarkal perang dan negara.

Namun, sering kali mereka adalah orang-orang sering membereskan kekacauan irisan ini. Perdamaian banyak digagas dari kelompok feminisme non-patriarkal perang.   

Filsuf politik Jean Bethke Elshtain berpendapat bahwa: wanita dalam perang hanya dimasukkan dalam kategorial “etcetera” atau “dan lain-lain” yang tak banyak terekspos.

Latihan yang berat dan terukur, serta profesional, akan mendorong feminisme patriarkal perang mampu mencetak para combat barbie yang diperbolehkan untuk bertempur di garis depan.

Dengan begitu, sudah tidak ada lagi model pengucilan dari pertempuran. Inilah yang akan membawa dampak perubahan yang besar pada masalah feminitas di dalam perang atau militer.

Kebijakan militer yang mengakui partisipasi perempuan dalam unit-unit khusus merupakan pernyataan penting bahwa perang bukan masalah gender lagi.

Walaupun sangkalan dilesakkan oleh salah satu karya feminisme pasifis yang terkenal, Virginia Woolf's, dalam “Three Guineas” yang berpendapat bahwa: “meskipun banyak naluri dimiliki oleh lebih kurang sama oleh kedua jenis kelamin, untuk bertarung selalu menjadi kebiasaan pria, bukan wanita”.

Sekarang, sebagian besar kemuliaan dan perlunya perang yang sering dikaitkan dengan maskulinitas dengan tujuan salah satunya untuk membuktikan nilai moral sebagai seorang pria, perlahan-lahan tergusur dengan feminisme patriarkal perang yang mulai menggeliat hebat.