"Tapi saya tak punya uaang," tangis Restu anak TK yang hendak diantar pulang bapak-bapak polisi di Sampang, Madura dalam video yang viral belakangan ini.

Jadi, polisi identik dengan tilang. Sementara tilang sama dengan uang. Dan uang, tentu saja yang dimaksud adalah pungutan liar untuk menyebut korupsi tingkat embek. Begitulah kira-kira citra polisi. Dimensi buramnya menembus hingga wilayah akal yang belum sempurna, semacam anak-anak.

Coba kita perhatikan, frase di atas semacam ada kekacauan yang menyerupai kombinasi malaikat yang mabuk dengan iblis yang menyaru santo dan menghasilkan kebejadan budaya.

Frase polisi identik dengan tilang tentu mengandung kebenaran fungsional. Bahwa seorang polisi bertugas – salah satunya adalah menilang para pelanggar lalu lintas. Sementara tilang sama dengan uang, berarti pelanggar yang terkena tilang harus membayar denda.

Keduanya punya nalar yang benar secara makna fungsi. Nah, masalahnya sekarang adalah kesimpulan yang menyebut uang menjadi bermakna pungutan liar atau korupsi itu. Frase yang limbung yang menghasilkan kesimpulan yang terasa konyol.

Tapi, itu adalah fakta. Sebuah fenomena budaya yang telah menjadi realitas sosial semenjak bule orange (Belanda) menginjak-injak kita, yang mencintai korupsi sebagai alat menyenangkan. Tentu saja, dengan itu, saya bermaksud mengatakan bukan polisi saja yang memiliki citra memalukan tersebut. Polisi hanya salah satu entitas saja dari lembaga negara yang dicap berisi orang-orang dengan selera yang memprihatinkan.

Korupsi, bagi kita, tampaknya adalah semacam saudara ke-4 setelah jenis kelamin pria, wanita, dan (waria). Ia adalah masa lalu suram yang menyenangkan dan selalu bersalin secara ajaib dan nyaris abadi di dunia. Menempel dalam diri manusia. Ia tak bisa hilang, kecuali dengan nalar sehat. Nalar sehat pun sepertinya tak akan cukup. Ia butuh moral yang dipandu dengan jahatnya hukuman.

Budaya korupsi, sejak semula juga selalu dikompori oleh keinginan dari hasrat diri untuk bisa menyenangkan diri sendiri dan sekaligus orang lain. Dengan uang, orang menjadi memiliki kekuatan untuk melakukan apa saja. Setidaknya begitu fakta empirisnya.

Maka kapitalisme laissez-faire (misalnya) merupakan wujud dimensi kerakusan yang mendorong laku korupsi. Bebas tak terkontrol dan menghasut setiap orang menjadi pelaku tawuran pasar bebas dan mencemaskan dalam ekonomi.

Tentu saja, maksud saya mecemaskan setiap orang yang tak bermodal. Uang di sini, pasti ia persis yang digambarkan sebagai iblis yang menyaru santo nan suci itu. Setidaknya Goerge Simmel juga sepakat dengan mengatakan bahwa uang mereduksi nilai kualitas orang menjadi sekadar kuantitas semata.

Filsafat hedonisme yang bermula dari merasa menemukan keinginan manusia membebaskan diri dari kesengsaraan, baik sebagai tujuan manusia secara badaniah dan rohaniah, akhirnya kebabalasan sejak  Aristippos dari Kyrene (433-355 SM) kurang kerjaan memikirkannya.

Kawin lari dengan pragmatismenya William James dan Charles Peirce di abad 19, keduanya melahirkan gagasan genius para tukang pembuat iklan yang mendapat pesanan dari paman-paman beruang untuk menyulap keinginan orang menjadi yang diinginkan. Belanja gila-gilaan. Dan akhirnya, semua orang selalu berebut mendapatkan kuitansi bernomor dan berangka nominal, yaitu uang. Mereka yang tak mendapatkan secara bermoral, ya korupsi saja jika memungkinkan.

Nah, polisi dalam gambaran anak kecil yang piawai menggunakan sepeda motor mini di Madura kemarin itu adalah gambaran produk kebudayaan semacam itu. Pasti dong, polisi sudah berusaha untuk memperbaiki citranya. Tapi, semua butuh waktu lama jika hanya dilakukan hanya dengan bicara. Tapi lupa kalau senja hampir tiba. 

Sementara cerita-cerita yang dibumbui dengan cukup hiperbolis diturunkan dari ayah ke ayah, anak ke anak, dan cucu ke cucu. Maka jadilah ia abadi meskipun tak perlu dituliskan.

Polisi, sialnya, di sini, terutama polisi lalu lintas adalah institusi yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Stigmanya menempel bak ingatan pra jomblo yang dinista pegat oleh pacarnya. Sakitnya tak terkira dan dilanggengkan sampai mati oleh suara merdu para penyanyi yang memuja kepedihan. Jeritan tangis Restu anak TK itu menjadi bukti konkret.

Maka, memperbaiki citra polisi dan lembaga lain sudah seharusnya menjadi prioritas.