Aku mencintainya sekekal ingatanku tentangnya. Sesekali lupa namun tak pernah benar-benar hilang. Ia yang sering tertegun di kepungan asap. Matanya dapat memejam dalam ruang paling busuk sekalipun.
Satu waktu kuhampiri tubuhnya yang tergolek pasrah pada lantai dingin dan kotor di hadapan pintu kamar mandi. Tikus dan kecoak yang saling berpapasan dan kadang melintasi betisnya, seperti bukan gangguan.
Kupangku badannya yang tak begitu berisi, tetapi tanganku menolak untuk menyalurkan energi. Gemingnya seolah ingin meyakinkan, sadarlah wahai perempuan, kamu tak sekuat kuli-kuli angkut atau lelaki yang kepalang horni.
Tetapi kuseret juga tubuh itu menuju tempat yang lebih hangat, kuberi kepalanya bantal. Ia masih saja tidur. Entah pura-pura, mungkin. Ketika kubelai rambutnya yang apek dan cepal, barulah nampak senyum pada bibirnya. Tak tahan aku melihatnya, kukecup senyum itu.
Ia membuka mata, “Kamu tahu itu keputusan yang gegabah,” ejeknya.
Ia menyingkirkan bantal yang menyangga kepalanya lantas meraih dua pahaku sebagai pengganti. Lama ia lelap di sana. Tanganku digenggam dan diletakkan di atas dadanya yang tipis. Bibirnya terus saja tersenyum. Tapi aku tak berani lagi menyentuhnya.
Malam yang lain, ia tertidur di tengah tumpukan buku. Pada apitan jarinya yang melonggar, rokok masih menyala, bisa saja membakar buku yang mungkin tengah dibacanya sebelum ia tertidur. Abu berserakan di sekitar kepalanya.
Untunglah aku tiba tepat waktu, kuraih rokok yang hampir terjatuh dari tangannya. Ia terbangun, menangkap tanganku serta-merta. Dihisapnya kuat-kuat rokok yang terjepit di antara telunjuk dan ibu jariku, lalu, “Sekarang kau bisa membuangnya,” ia memerintah dan kembali terlelap.
Pernah juga ia terjatuh dari ambang jendela karena mengantuk. Orang-orang di sekelilingnya nampak terkejut, sebab tak sampai satu menit sebelumnya ia tengah berbicara tentang kesadaran manusia dalam pandangan seorang filsuf.
Seorang teman mulai menghakimi, “Kau mabuklah di luar sana, jangan dibawa ke ruang diskusi ngawurmu itu! Habis minum kok masih pengen diskusi.”
Hanya aku yang tahu, ia tak pernah menyukai minuman memabukkan, “Rasanya sepahit senyuman terpaksa,” katanya.
Ah, dia pernah bercerita tentang seorang perempuan yang memberinya rasa pahit itu. Ibunya.
“Hingga kini aku tak bisa menebak, apakah ibu pernah mencintaiku. Kau tahu, saat aku masih berumur empat atau lima tahun, ibu mengunciku di dalam rumah. Entah berapa jam aku berpegangan pada teralis jendela, memerhatikan setiap orang yang lalu lalang sambil menerka-nerka, apakah mereka bisa melihatku?”
Ia tersenyum sangat manis. Aku ngeri melihatnya.
“Itu bukan cerita bahagia, kenapa kamu tersenyum?”
Dia kembali menyantuniku dengan senyuman yang kerap memabukkanku, kecuali kali ini.
“Senyum saat bahagia, menangis saat sedih. Ah, itu hanya kebiasaan orang biasa. Manusia senang sekali menciptakan kebiasaan lalu menjadikannya kewajaran, bahkan aturan baku buat manusia lainnya.”
Ia berkata seperti mengejek seluruh umat manusia.
“Kau bukan orang biasa?”
“Menurutmu?”
Aku tertegun. Sepertinya bukan. Dia memang tak biasa.
“Ah, tapi kamu tak luar biasa.”
“Kenapa tidak? Aku tak suka melakukan yang biasa orang-orang lakukan. Aku tak mencintai siapa pun bahkan diriku sendiri. Aku tak berhasrat pada apa pun, apalagi terhadap kekuasaan. Aku tak suka berkumpul, bahkan dalam forum diskusi aku tak menikmatinya. Katakan, apakah aku manusia biasa?”
“Ha, seperti malaikat saja!” Tawaku pecah. Dia kirim seringai.
“Hei, tapi kamu makan, minum, merokok...”
“Aku makan hanya bila seseorang memaksaku makan...”
Dia memelototkan bola matanya pada mataku.
“Aku minum... well, itu kebutuhan tubuhku. Dan merokok adalah caraku sedikit menikmati hidup. Dan terang saja, aku bukan malaikat. ”
“Aah...” Aku mengangguk-angguk. Kenapa pula kita harus membahas ini, gumamku.
“Tapi tunggu, kamu kira yang dimaksud luar biasa adalah super? Makanya aku harus seperti manusia super yang sering dijadikan khayalan manusia biasa itu?”
“Sudahlah, kita ngobrol yang lain saja, ah!” Aku tak tahan, mengapa orang ini terus berbicara soal biasa dan tidak biasa?
“Nah, contoh manusia biasa itu sering kesal sepertimu ini.” Ia tertawa menggelegak. Aku cemberut.
Saat itu, aku sering disiksa tanya, mengapa hatiku begitu kukuh mencintainya? Selalu saja kami berdebat tiap kali bertemu. Tak satu pun sifatnya yang kusukai. Dia sering membuatku marah, kesal, bahkan jijik.
Tidak, aku harus menghapus jijik. Meski dia sering menunjukkan kekotorannya, tapi tak pernah menjijikkan. Senyumnya yang indah dan wajahnya yang simetris, membuat gaya hidupnya yang semrawut itu termaafkan.
Tapi, sungguhkah aku hanya tertarik oleh keindahan fisiknya? Mungkin saja. Aku pecinta keindahan. Siapa yang tak mencintai keindahan? Kecuali lelaki itu, yang tak pernah sadar akan keindahannya. Ah, dia memang tak biasa.
******
11 November 2007, aku mendapat tawaran kerja pertama setelah lulus kuliah. Masih terngiang senandungku di sepanjang perjalanan menuju tempat tinggalnya, "have you ever really loved a woman ..."
Aku ingin segera menyampaikan kabar itu padanya. Bagaimana kira-kira reaksinya saat tahu bahwa aku telah mengorbankan kesempatan besar demi dirinya?
Aku berlari-lari kecil hingga tiba di depan rumahnya. Seperti biasa, dia tenggelam dalam buku-buku, bersandar pada kaki kursi kayu yang tak pernah didudukinya. Aku mengetuk pintu, dia hanya menengadah sebentar, melambaikan tangan, lalu menunduk lagi pada buku.
"Ngopi dulu..." Ia menyodorkan secangkir kopi yang nampak terlalu hitam. Pasti pahit. Dia tak pernah menyimpan gula. Juga sendok. Membayangkan benda tak tentu yang dipakainya untuk mengaduk kopi itu, aku bergidik.
"Tidak, terima kasih. Aku sudah punya ini," kutempelkan kopi instan dingin ke mukanya.
Dia menghindar. Tangannya mencekal tangan isengku. Wajahnya beralih dari buku. Ia menatapku lekat sambil tersenyum tipis. Lama matanya membuatku tersipu. Hingga... "Kamu cantik sekali hari ini, aku ingin menciummu."
Wow! Wajahku pasti memerah sudah. Seluruh kata-kata telah pergi. Aku menggigit bagian dalam bibirku, menahan dag dig dug di dadaku.
"Jangan menggigitnya, nanti bibirmu terluka." Ia meraih daguku, ibu jarinya menyentuh bibir bawahku.
Aku melawan kuat dorongan tubuhku, meski ingin kuhabiskan seluruh penantian gairahku saat itu juga. Sebab aku tahu, dia hanya sedang bermain-main dengan perasaanku. Dia manusia yang tak mencintai dan menginginkan, ingat itu!'
Kutepiskan tangannya. "Hentikan, pelase!" Pintaku pelan.
"Kenapa? Kamu tak suka?" Kini ia menantangku.
"Suka. Aku pasti sangat senang jika ini bukan sebuah ujian." Kataku tak mau kalah.
Ia menarik tangannya dari daguku. Kembali pada buku. Aku ingin tahu, apakah ia hanya pura-pura membaca.
"Kamu jahat, tahu." Gerutuku.
Ia meletakkan buku. Menatapku.
Apa itu, kemarahan? Ya, sepertinya ia sedang marah.
"Berkatalah semaumu." Tukasnya.
"Tak bisakah kamu menjadi manusia biasa saja? Mencintai, bergaul, sesekali mengabaikan akal sehat seperti orang lain, mendengar teriakan tubuhmu itu!"
"Itu takkan merubah apa pun."
"Mengubah, bukan merubah. Sering membaca tapi bahasa Indonesia kamu payah sekali."
Matanya membesar. Ah, dia tersinggung, syukurlah!
“Kita tidak bisa seperti orang lain. Aku yang tidak bisa.” Katanya setelah diam cukup lama.
“Aku tahu. Aku hanya berharap, untukku, kamu bisa membuat pengecualian. Kepadaku, kamu tidak berpandangan seperti pada para perempuan lainnya.”
“Itu mustahil. Kecuali jika kamu ingin aku tak menganggapmu perempuan.”
“Apa aku harus operasi kelamin?”
Dia tertawa, “Tidak, kamu tetap akan menjadi perempuan meski melakukannya.”
"Dan, hey, masalah utama di sini bukan keperempuananmu atau bagaimana pandanganku tentang perempuan. Ini tentang aku yang tidak bisa seperti orang lain. Aku yang bukan manusia biasa, ingat?”
Ya, tentu saja aku selalu mengingatnya. Aku mulai memikirkan tawaran kerja itu. Mungkin sudah saatnya mengalihkan hidupku dari lelaki ini, pikirku kala itu.
“Baiklah, sekali ini saja jawab aku secara jujur.”
“Apa, pertanyaan itu lagi? Apakah aku mencintaimu?”
Seringainya bikin aku mual. Dia pikir pertanyaan itu sangat lucu.
“Bukan. Dengarkan saja dulu!”
“Baiklah, Nona.” Ia menyeringai lagi.
“Aku mendapat tawaran kerja dari temanku di Bali. Jika aku menerimanya, pekan ini aku harus berangkat ke sana. Aku tak akan kembali dalam waktu cepat, mungkin saja tak akan pernah. Apa kamu akan menahanku?”
Air mukanya berubah mendengar kabar itu. Ia menatapku. Matanya terlihat sedih. Aku mendengar hembusan nafasnya berulang kali. Ia menunduk, lama.
Akhirnya ia ucapkan dua kalimat pendek yang menyentakku, “Pergilah. Itu baik buatmu.” Tangannya mengelus pipiku. Airmata telah berjatuhan di sana.
“Baik buatku? Kamu tahu aku tak peduli itu. Aku bisa baik-baik saja di mana pun. Insting bertahan hidupku sangat baik. Aku tidak ingin kita berpisah.”
“Apa sekarang kamu baik-baik saja? Apa kita tanpa masalah? Aku bahkan tak bisa menciummu! Bayangkan, saat kamu sakit, saat kamu terpuruk, aku tak bisa ada untukmu!”
“Tak mengapa bagiku. Aku bisa menunggu...”
“Jangan! Jangan menunggu aku bisa berubah. Mengetahui seseorang menungguku melakukannya hanya membuatku tak ingin melakukannya, tak akan pernah.”
End of discussion. Setiap kali ia berkata terus terang, itulah saatnya aku kehilangan kata-kata. Semua yang dikatakannya seperti fakta sains yang tak mudah dibantah.
“Baiklah, aku menyerah. Selamat tinggal, Ri.” Suaraku bercampur dengan isak tangis.
Aku memberanikan diri mengecup pipinya. Masa bodoh, katakanlah itu salam perpisahan. Tetapi ia menarik wajahku, menciumi airmataku, mengelus bibirku, mengecup, melumat. Kami bercinta untuk pertama kalinya, saat pikiranku dipenuhi teriakan: bodoh, bodoh, bodoh, mengapa kubiarkan ini terjadi!
*****
Sudah lebih dari sepuluh tahun sejak kebersamaan yang sedih itu. Rutinitas yang bersandar pada target telah membuatku berjarak dengan waktu. Waktu yang berjalan sewajarnya, terasa tak hadir bagiku. Terasa tak tercapai. Ia melesat terlalu cepat.
Aku sering dikecewakannya, semisal, bila musim liburan tak terasa telah berlalu hanya karena aku larut dalam pekerjaan. Atau, masa muda yang mudah meninggalkan orang-orang biasa sepertiku, yang bergelut dengan kerasnya kehidupan.
Andai saja aku menjadi orang yang tak biasa. Sesal seperti ini membuatku selalu kembali kepadanya. Dia yang memilih untuk menjadi tak biasa.
Sampai hari ini, ketika kubaca surel darinya.
Nay, bagaimana kabarmu? Apakah masih seperti dulu, berkat insting bertahan hidupmu yang baik hingga kamu selalu baik-baik saja? Ah, kamu tak tahu betapa aku mencemburui instingmu itu. Nay, demi bertahan hidup, aku harus melakukan ini. Aku akan menikah. Minggu ini. Entahlah, mungkin saja kamu sudah tak peduli, tapi aku ingin mengatakannya terus terang, maaf menolakmu untuk menunggu. Sebab, aku tak akan pernah melakukannya denganmu. Aku tak akan pernah menjadikanmu sebagai alat untuk mempertahankan hidup. Aku ingin kamu mengingat itu. Mungkin terlambat untuk mengatakannya, tetapi ya, ini jawabanku, aku mencintaimu. Teruslah baik-baik, Nay. Aku tahu kamu akan dan selalu bisa.
Yang mencintaimu,
Ri
Kuhapus surel itu, tak kusisakan ia di trash. Aku membencinya, sungguh! Dia telah merampas satu-satunya yang tak biasa dari hidupku.