Gema suara azan subuh terdengar menenangkan ketika Sifa menginjakkan kakinya di lantai dingin altar suci. Sepi yang diselimuti dingin, membuat jaket tebal yang membalut tubuh Sifa tetap merasakan kedinginan.

Berjalan menuju tempat salat di lantai dua, Sifa berpapasan dengan takmir masjid yang tidak lain adalah pelarian hati Sifa sekarang. Melihat kekasihnya yang kedingingan, Johan sang takmir masjid mendekati seraya menyapa dengan kelembutan suaranya.

“Sifa, kamu kok tumben jam segini jemaah di sini? Ada apakah gerangan denganmu?” tanya Johan heran terhadap kekasihnya tersebut. Hanya tersenyum seraya meninggalkan Johan tanpa sepatah kata terucap dari mulut Sifa.

“Mungkinkah Akbar mendatanginya,” gumam Johan yang masih terkejut melihat Sifa.

Hati Sifa yang hanya sedikit berpaling pada Johan karena ketaatan agama dan sikap Johan yang menenangkan, kini berbalik 360 derajat pada tambatan hatinya dulu yaitu Akbar. Johan mengetahui perubahan sang bidadarinya dari sikapnya saat ini.

Johan hanya bisa memandang jauh langkah sang kekasih yang menjauhinya. Perasaan Johan pada Sifa tidak berubah, namun sebagai insan biasa yang memiliki rasa cemburu, johan pun merasa cemburu pada bidadarinya tersebut.

Sifa segera menuju tempat di mana dia dapat melihat semua jemaah yang datang dengan jelas, yaitu mengambil posis tepat di tengah sap paling depan di atas tempat jemaah wanita. Di sini, Sifa dapat melihat semua jemaah yang salat dari berbagai arah.

Setelah mempersiapkan diri dengan mukena putihnya, Sifa berzikir dengan sesekali mengamati semua jemaah yang datang. Hingga iqomah dikumandangkan sang bilal, Sifa belum juga menemukan sang kekasihnya Akbar. Perasaan rindu dalam jiwa Sifa, ditanggalkannya sejenak untuk menikmati kekhusyukan pertemuan dengan Sang Pencipta.

Sifa dengan kekhusyukaannya menikmati Solat  Subuhnya, tak menghiraukan semua orang di sampingnya dan semua jemaah laki-laki yang di bawahnya. Alunan ayat suci Al-Qur’an yang dilantunkan sang imam, membimbing Sifa menenangkan dirinya sejenak. Setelah selesai salat, masih dalam keadaan bersimpu, Sifa hanya bergumam di sela doanya agar pertemuannya saat ini lebih baik dari pertemuan sebelumnya.

Selesai melipat dan memebereskan mukenanya, Sifa menuju tempat di mana dia akan menemui kekasihnya. Di halaman masjid Kampus Putih, Sifa menanti dengan duduk di bawah pohon dengan alunan musik yang mengalir sendu di hpnya. Tanpa disadarinya, Akbar yang sedari tadi memandang Sifa dari salah satu sudut masjid, kini duduk di sampingnya mengikuti alunan musik sendu di hp Sifa.

“Hidup tanpa cinta, bagai taman tak berguna. Hai begitulah kata para pujangga,” sepenggal syair raja dangdut yang dinyanyikan Akbar dengan ciri khas suaranya, sesaat setelah sifa mematikan musik di hpnya karena bosan.

“Kak Akbar”, sapa Sifa dengan memalingkan pandangan serta tubuhnya ke arah asal suara.

“Assalamu’alaikum”, sapa Akbar memulai percakapannya.

“Wa’alaikumussalam, sejak kapan kak di sini?” jawab salam dan tanya spontan Sifa menahan kerinduan pada Akbar, tersenyum dengan menatap tajam mata bidadari jelita di hadapannya.

"Baru saja dek, selera musikmu tidak berubah. (menghela napas panjang) bagaimana kuliahmu di sini, pasti sejak kepergianku yang lama, kau menemukan dambatan hati kan?” tanya Akbar dengan tanpa melepaskan pandangannya.

“(tersenyum dengan manis tanpa menutupi cerita di bola matanya) iya kak, maafkan jika aku telah mengusir paksa dirimu sejenak dari hatiku. Aku tidak sanggup menahan rasa yang teramat besar ini padamu, sekali lagi maafkan kesalahanku kak,” tutur Sifa menyakinkan kekasihnya.

“(tersenum tanpa amarah terlukis di wajah dan matanya) Sifa, kakak senang kau jujur mengatakan semuanya. Ini bukan kesalahanmu, tapi ini semua karena diriku yang terlalu lama meninggalkanmu,” jawab Akbar tanpa amarah pada bidadarinya.

“Namun tak seharusnya aku mengusirmu dari hatiku kak, aku telah mengingkari janjiku padamu, namun hati kecilku tidak bisa aku bohongi,” tutur Sifa dengan suara menurun yang diiringi bulir air di sudut matanya.

“(mengeluarkan sapu tangan seraya memberikannya pada Sifa) jangan menangis sayang, ini bukan salahmu, namun ini kesalahan kakak yang telah memberi harapan kosong padamu, sekarang usaplah air matamu itu, karena kamu tahukan, kakak tidak suka melihatmu menangis,” suara Akbar yang bijak berusaha menenangkan Sifa dalam tangisnya.

“(sesaat tanpa berkata-kata lagi, Sifa memandang jauh dalam mata Akbar) aku terlalu sakit menahan kerinduan ini, hingga dengan mudahnya, hatiku berpaling dengan sosok pelampiasan dirimu kak. Dia hanya saya anggap sebagai teman, namun dia menganggapku lain, yaitu sebagai kekasihnya. Maafkan jika aku terlalu berlebihan kak,” tutur Sifa dengan suara tenangnya.

“(tersenyum dengan tidak melepaskan pandangannya pada gadis di depannya) kamu tidak salah, semua perbuatanmu karena kesalahanku. Aku yang kurang memberikan perhatian padamu. Sekarang, marilah kita bangun puing cerita ini kembali dengan perlahan. Aku tidak akan meninggalkanmu lagi,” jawab Akbar dengan penuh keyakinan.

“Terimakasih atas perhatian dan rasa cintamu yang tidak berubah padaku kak”, jawab Sifa dengan nada lebih gembira.

“Bukan cintaku padamu, namun cintaku pada Allah yang membuatku membimbingmu hingga saat ini. Kau tetap tempat kembaliku sayang, tetaplah menjadi tempat kembaliku”, tutur Akbar dengan nada meyakinkan Sifa.

“(tersenyum degan manis) iya kak. Namun sebelum itu, ijinkan aku mengakhiri mimpi indah sejenakku dengan pangeran di sudut altar suci itu, (sambil menunjuk Johan yang duduk dengan takmir lainnya di sudut masjid)”, pinta Sifa dengn suaranya yang lembut.

“(tersenyum sambil mengelus jilbab biru yang dikenakan Sifa) silahkan sayang, jelaskan semuanya. Jangan kau buat dia membenci dirimu atau hubungan kita”, pinta Akbar pada kekasihnya.

“Pasti kak, aku akan selesaikan mimpi ini dengan taburan bunga dari langit”, jawab Sifa dengan kata-kata indahnya.

“Sekarang, kamu mau kan menemaniku menyusuri kampus putih tempatmu belajar ini ?”, tanya Akbar dengan nada meminta.

“Kenapa tidak, ayo”, (berdiri dengan menarik Akbar untuk mengikuti langkahnya yang diikuti oleh Akbar dengan penuh semangat).

Mentari yang baru menampakkan sebagian sinarnya, menemani perjalanan dua sejoli yang dibalut kerinduan mendalam. Pertama kali, Sifa mengajak Akbar ke Fakultas Dakwah kampus putihnya. Setelah menyusuri dakwah, sifa menunjukkan tempat belajarnya di kampus perubahan, Fakultas Ushuluddin kampus putihnya.

Fakultas Sifa yang berdampingan dengan perpustakaan, memudahkan Sifa membimbing Akbar mengelilingi kampus putihnya. Sejenak menikmati kesunyian taman Fakultasnya, Sifa dan Akbar melepas kerinduan dengan berhayal dan berbalas puisi.