Laut China Selatan merupakan wilayah lautan yang terletak di antara beberapa negara yakni China, Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Taiwan, Singapura, dan Vietnam.
Terdapat empat kepulauan di wilayah Laut China Selatan yaitu Kepulauan Spratly, Kepulauan Pratas, Kepulauan Paracel, dan Kepulauan macclesfield. Keempat pulau ini lokasinya sangat strategis baik dari segi militer maupun segi jalur perdagangan internasional.
Selain itu, Laut China Selatan ini terdapat pasokan gas alam dan minyak yang melimpah. Diketahui Laut China Selatan menyimpan gas alam sebesar 7.500 Km Kubik sedangkan untuk minyak sebesar 1,2 Km Kubik.
Laut China Selatan ini juga memiliki ekosistem laut yang bagus dimana Laut China Selatan menghasilkan ikan konsumsi untuk rumah tangga dan ekspor terbesar di dunia.
Dengan adanya potensi Sumber Daya Alam tersebut, negara-negara yang berbatasan dengan Laut China Selatan ini saling memperebutkan kepemilikan Laut China Selatan.
Klaim pertama Laut China Selatan terjadi pada tahun 1951, tepatnya pada bulan Agustus. Perdana Menteri China Zhou Enlai mengumumkan kepemilikan atas Kepulauan Spratly dan Paracel.
Zhou Enlai mengklaim kedua kepulauan tersebut dengan dasar dokumen yang diterbitkan oleh rezim Goumindang pada masa kepemimpinan Chiang Kai-shek.
Dalam dokumen tersebut menjelaskan tentang kepulauan Paracel, Kepulauan Pratas, Kepulauan Macclesfield dan Kepulauan Spratly yang merupakan bagian dari China. Klaim China ini didasari oleh prinsip historical rights dan bukan atas dasar hukum resmi.
Permanent Court Arbitration yang merupakan organisasi internasional untuk menyelesaikan sengketa dan memfasilitasi urusan hukum antar negara atau organisasi mengklarifikasi klaim China atas Laut China Selatan dengan dasar prinsip historic rights ini bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut tahun 1982.
Setelah mendengarkan keputusan Permanent Court Arbitration, China tetap kukuh pada klaimnya. China mengatakan bahwa keputusan yang diumumkan Permanent Court Arbitration tidak memiliki kekuatan yang mengikat.
Brunei Darussalam, Malaysia dan Vietnam juga melakukan klaim atas Laut China Selatan.
Brunei mengumumkan bahwa beberapa wilayah laut yang sudah diklaim dan di tempati oleh negara lainnya merupakan sebuah pelanggaran yang menyalahi Hukum Laut UNCLOS.
Dalam Hukum Laut UNCLOS berisi hukum laut yang mengatur tentang hak dan kedaulatan negara untuk bebas melakukan eksplorasi terhadap wilayah Zona Ekonomi Ekslusif mereka dan continental shelf.
continental shelf diartikan bahwa negara yang memiliki wilayah laut tersebut memiliki hak dan kedaulatan terhadap sumber daya yang ada di wilayah laut tersebut, tetapi tidak boleh untuk memilikinya.
Malaysia juga melakukan klaim yang hampir sama dengan Brunei Darussalam. Klaim yang dilakukan oleh Malaysia pada 1979 dilakukan dengan cara mempublikasikan peta resmi yang memperlihatkan wilayah laut bagian selatan dan kepulauan Spartly.
Vietnam mengumumkan bahwa Laut China Selatan dikenal dengan sebutan Laut Timur Vietnam oleh masyarakat Vietnam.
Klaim paling besar dilakukan oleh China dan Vietnam dimana kedua negara ini mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan.
Belakangan ini, China melakukan aktivitas yang intensif di sekitar Laut China Selatan seperti mendirikan bangunan permanen di Laut China Selatan, membangun pangkalan militer, memperbanyak kapal penangkap ikan, dan kapal perang untuk berpatroli di sekitar Laut China Selatan.
Aktivitas China ini menimbulkan ancaman stabilitas keamanan di wilayah Laut China Selatan serta negara-negara di sekitar Laut China Selatan seperti Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, Taiwan, dan Malaysia.
Sengketa Laut China Selatan ini sangat erat hubungannya dengan ASEAN karena pada sengketa Laut China Selatan terdapat negara-negara ASEAN yang ikut terlibat seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Indonesia sebagai salah satu negara yang dekat dengan wilayah sengketa dan juga sebagai salah satu pendiri ASEAN yang anggotanya terlibat sengketa tersebut tidak tinggal diam. Indonesia melakukan berbagai upaya untuk menjaga perdamaian dan stabilitas, khususnya pada kawasan ASEAN.
Sikap dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Indonesia terhadap sengketa Laut China Selatan adalah melakukan kegiatan Workshops on Managing Potential Conflicts in the South China Sea.
Workshop ini bertujuan untuk mencegah terjadinya konflik dengan melakukan promosi kerjasama antara negara-negara yang melakukan klaim atas Laut China Selatan.
Indonesia juga berhasil untuk mendorong negara-negara yang bersengketa atas Laut China Selatan menyepakati Declaration of Conduct pada tahun 2002 yang berisi tentang aturan tata krama negara-negara yang bersengketa.
Tujuannya yaitu untuk mencegah dan meminimalisir terjadinya konflik lebih besar yang bisa mengancam stabilitas keamanan kawasan.
Pada tahun 2011, dimana Indonesia mendapatkan giliran untuk menjadi ketua ASEAN. Indonesia terus berupaya menciptakan Confidence Building Measure dan sarana Preventive Diplomacy untuk memprioritaskan perdamaian dan stabilitas di wilayah Laut China Selatan.
Indonesia yang saat itu dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memfasilitasi negara-negara ASEAN dengan China yang membahas agenda Implementation on the Conducts of Parties in South China Sea serta proposal China terkait draft Guideline DOC pada pertemuan ke-6 ASEAN-China.
Indonesia sebagai negara yang bertetangga dengan negara-negara yang bersengketa serta sebagai salah satu pendiri ASEAN yang anggotanya terlibat dengan sengketa tersebut berupaya untuk menjadi penengah supaya perdamaian dan stabilitas dapat tetap terjaga.
Indonesia melakukan berbagai upaya untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas seperti melakukan kegiatan Workshops on Managing Potential Conflicts in the South China Sea dan juga mendorong negara-negara yang bersengketa atas Laut China Selatan menyepakati Declaration of Conduct.