Mendengar kasus perempuan yang tetap bertahan dalam pernikahan yang sudah rusak karena suami selingkuh misalnya, banyak sekali netijen berkomentar pedas. Rata-rata mereka mengojok-ojoki untuk berpisah dari rumah tangga yang tidak harmonis lagi. Dengan dalih demi kemerdekaan, self-love, kesehatan mental dan kebahagiaan diri.
Manusia sebagai makhluk sosial tak bisa hidup sendiri. Hal ini akan berbeda dengan orang yang akan bertahan di dalam rumah tangga yang sebenarnya sudah meninggalkan luka. Banyak faktor orang tetap bertahan. Misal saja bertahan demi alasan ekonomi. Bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi juga untuk anak-anaknya.
Manusia seperti ini adalah manusia yang tidak mapan secara finansial. Para ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan dan hanya mengandalkan keuangan dari sang suami sangat sangat membutuhkan ini. Menerima diperlakukan apapun. Tetap diam jika dirinya direndahkan bagaimanapun.
Bertahan dengan dalih demi anak-anak, demi status sosial, demi tidak mau hidup susah. Ada? Buanyaaaak macamnya. Atau kalau boleh saya bilang alasan yang paling klise adalah bertahan demi anak. Sebenarnya anak ini sudah tahu jika antara orang tua mereka ini tidak harmonis lagi.
Pertengkaran demi pertengkaran yang anak lihat, aksi saling berteriak, dan bahkan mungkin hanya dengan aksi diam anak-anak memiliki radar sendiri untuk membaca ini semua.
Anak sebenarnya paham dan tahu apa yang sedang terjadi tetapi tidak berani untuk mengungkapkan dan tidak memiliki suara untuk mengutarakan pendapat. Maka banyak dari anak yang menjadi terluka dan trauma akibat dari perceraian orang tua mereka. Dan akan tetap membiarkan anak tumbuh dalam suasana yang tidak harmonis seperti ini? Situasi yang tidak membahagiakan. Bahkan bisa jadi melukai jiwa mereka.
Banyak netijen yang berkomentar menyudutkan para perempuan atau ibu yang memutuskan untuk tetap bertahan dalam keadaan suami yang tak setia dan situasi rumah tangga yang tak damai lagi. Urip di Indonesia itu memang harus tebal kuping.
Semalam saya mendengarkan space yang membahas selama 10 tahun pernikahan mendapatkan perlakuan yang kasar dari suami. Puncaknya ketika suami ketahuan selingkuh dan mulai sejak itu kekerasan terjadi. Dari mulai dijambak sampai ditarik ke gerbang depan. Belum lagi dipukul dan ditampar. Serem. Alasan mampu kuat bertahan selama 10 tahun adalah demi menjaga nama baik keluarga.
Ada tetangga saya, suaminya polisi berkali-kali selingkuh dengan perempuan beranak empat, anak kuliahan, sampai anak sekolah. Istrinya? Tetap tegar, mempertahankan pernikahan walau istrinya sebenarnya bekerja dan kuat secara finansial.
Entah terbuat dari apa hati para manusia ini. Tegar? Kuat? Entah. Hanya mereka yang bisa merasakannya. Saya gak gadug.
Mungkin sebagian besar menganggap menjadi single parent itu enak. Karena yang mereka lihat hanya kulit luar. Bebas bisa kemana-mana tanpa beban, bebas tak selalu harus mengurusi rumah tangga mulai dari memasak, mencuci baju, mengepel, menyapu dan lain sebagainya, bisa mengatur waktu. Ga melulu jadi babu dan upik abu, jadi bos dong.
Malas masak ya jajan, beli di luar atau memakai aplikasi pesan antar. Tidak perlu bertanya kepada pasangan mau masak apa.
Mengejar cita-cita dan hobi yang sempat vakum beberapa saat. Bayangkan saja ketika berada dalam sebuah rumah tangga seorang perempuan mungkin hanya fokus kepada anggota keluarga, suami dan anak-anak. Bagaimana dengan cita-cita dan juga hobi? Mereka membiarkan saja hal itu menguap. Tak terjamah dan terbengkalai.
Bahkan sebenarnya dari hobi bisa menghasilkan uang. Yang suka menjahit bisa menjual jasa jahit. Yang masakannya enak bisa membuka warung makan atau katering. Dan lain-lain yang dulunya hanya merupakan hobi saja.
Memiliki me time yang luas tak terkira. Mau ke salon oke, mau mewarnai rambut juga bisa banget. Jika sebelumnya harus mempertimbangkan perasaan pasangan. Ini semua bisa mengambil keputusan sendiri. Bahkan untuk olahraga ekstrim misal naik gunung, bisa banget dilakukan.
Terlihat cengengas sengenges mrenges dan selalu memasang tampang bahagia. Ya mau bagaimana lagi, hidup mesti berjalan dan maju ke depan. Masa mau selalu saja berkubang di satu kubangan. Bukankah masih banyak kubangan-kubangan lain yang mesti dicoba.
Tapi pernah mikir tidak? Bagaimana para single parent ini mengarungi hidup. Dalam budaya kita yang selalu menganggap bahwa seorang janda adalah seseorang yang pasti gampangan, murahan dan bisa dipastikan menjadi pelakor.
Belum lagi dari tuntutan dari keluarga besar yang sebenarnya tidak begitu dekat tapi bertanya yang macam-macam misal kapan menikah lagi? Cari teman buat menemani membesarkan anak. Masih muda, nikah lagi saja. Dikira nikah seperti jajan makanan. Mau makan apa aja datang ke rumah makan, pilih menu yang disukai dan akhirnya menyantap. Bukan.
Bagaimana dalam hal finansial para single parent memutar otak agar buah hati bisa terpenuhi haknya tanpa harus meminta jatah dari ayah mereka. Mulai dari berjualan online, berjualan makanan sampai bahkan memutuskan untuk menjadi tenaga kerja di negeri orang. Banyak yang mengambil keputusan yang nekat seperti ini. Tak lain dan tak bukan adalah demi menyambung hidup.
Bagaimana harus dapat dan mampu berperan ganda bagi anak-anaknya. Jadi ibu ya jadi ayah. Harus siap untuk bisa memahami anak lelakinya. Paham bola, siap bermain kegiatan luar, menemani bahkan menjadi teman bicara. Bisa paham hal-hal maskulin. Bagaimana tidak meninggalkan kelembutan dan juga keperkasaan. Iya jika anaknya hanya satu. Bagaimana jika lebih?
Bagaimana harus menutup telinga dan tetap menjaga ucapan ketika ada omongan atau sindiran halus tentang status? Pernah memikirkan sampai situ?
Manusia yang sanggup mengarungi sisa usia dengan harus memelihara buah hatinya seorang diri adalah contoh orang-orang yang kuat. Bukan hanya kuat secara fisik tapi kuat secara psikologi. Kuat secara kejiwaan juga. Memikirkan segalanya seorang diri, mencari jalan keluar sendiri, mengatasi semuanya. Seorang diri. Gampang? Tidak. Tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan.
Terlepas dari segala sesuatunya seharusnya ketika memilih sebuah keputusan maka kita juga akan berkomitmen dengan keputusan yang sudah diambil. Jika mengambil keputusan bercerai harus siap dengan segala konsekuensinya. Mapan secara finansial.
Jika tetap bertahan. Siapkan saja hati yang kuat dan jangan mengeluh, rasan-rasan apalagi menangisi pasangan yang membagi hati. Itu merupakan konsekuensi atas keputusan yang sudah diambil.
Jadi tidak bisa melihat hanya sebelah mata bahwa memilih berpisah atau bercerai adalah keputusan yang paling tepat. Atau tetap bertahan dalam rumah tangga yang sudah rapuh adalah orang yang tak punya pendirian, orang yang lemah dan bukan seorang penakut untuk mengambil keputusan. Jika beruntung, masih ada tali jodoh dan akan tetap bertahan, bahagia kemudian.
Bagaimana jika bertahan juga merupakan sebuah kekuatan besar dan berani mengorbankan ego. Demi nama baik, demi anak-anak dan demi kebaikan semua. Bukankah sama-sama berat?
Toh, apapun pilihannya pasti akan membayar konsekuensi dari pilihan itu. Jangan sampai salah ambil keputusan. Jika mengetahui keputusannya salah, segera sadar dan ambil pilihan lagi.
Bahwa hidup ini adalah perjuangan. Bahwa hidup ini adalah pilihan. Bahwa setiap manusia memiliki medan perangnya masing-masing.