Kekerasan, persekusi, dan genosida terjadi sepanjang sejarah manusia. Kita mencari jawaban – dan kadang rasionalisasi – mengapa itu bisa terjadi. Penjelasannya beragam tapi muaranya seragam: kelindan dari kepentingan politik, gesekan sosio-kultural, ekonomi dan perebutan ruang hidup, juga ideologi dan agama.
Namun, dari sisi psikologi, lama dicermati bahwa tindakan tak manusiawi itu justru dipengaruhi dan dimungkinkan oleh sifat manusiawi itu sendiri. Salah satunya adalah kecenderungan purba, gelap, tapi alami yang lekat kita punyai sebagai manusia: kecenderungan untuk men-dehumanisasi manusia di luar diri dan kelompok sendiri.
Evolusi cosmic hierarchy
Dalam bukunya Less than Human: Why We Demean, Enslave, and Exterminate Others (2011), David Livingstone Smith PhD, associate professor di bidang psikologi dari University of New England, menyatakan bahwa dehumanisasi adalah sikap mental dan pola pikir untuk mengingkari kesetaraan antar manusia. Serta, memperlakukan orang lain, bukan hanya sebagai liyan, tapi sebagai entitas sub-humans (lebih rendah dari manusia).
Ia meneliti bahwa dehumanisasi berakar dari kepercayaan cosmic hierarchy yang tertanam di benak manusia. Tesisnya ini tidak baru. Ia mengikuti pola pikir Great Chains of Being-nya Plato dan Aristoteles.
Namun ada yang menarik dari pendapat yang mengunggulkan manusia dalam hirarki kehidupan itu. Ialah bahwa sisi psikologis arogan kita itu, yang awalnya merupakan program memori survival pada skenario manusia versus non-manusia (binatang, tumbuhan, benda mati lain) di alam semesta ini, ternyata, seiring perkembangan kognitif dan bahasa kemudian justru berevolusi menjadi program mental terhadap sesama manusia lain.
Lewat prasangka dalam pikiran, muncul stereotif dan generalisasi, yang ujung-ujungnya menjadi ujaran dan tindakan alienisasi yang bisa sangat melecehkan. Manusia lain dianggap lebih rendah, sebagai sub-humans saja.
Anjing
Amenemhet I, salah seorang Firaun yang berkuasa dari 1991 – 1963 BC merupakan penguasa pertama dari Dinasti ke-12 Mesir Kuno. Kehebatannya diakui karena berhasil memberikan masa keemasan dengan melakukan ekspansi ke daerah-daerah sekitar. Ketika mendeskripsikan penaklukannya terhadap bangsa lain, ia dengan jumawa berkata “Aku menaklukkan singa, aku menangkap buaya….kubuat orang Asia berjalan seperti anjing”.
Selain itu, Tracy Maria Lemos, seorang associate professor dari Huron University College, dalam bukunya Violence and Personhood in Ancient Israel and Comparative Context (2017), juga menuturkan dehumanisasi yang terjadi di Asiria, dalam masa yang lebih muda, 668 – 627 BC, di wilayah perbatasan Irak dan Syria sekarang.
Raja Assurbanipal, dalam sebuah temuan artefaknya, walau populer di mata rakyatnya, digambarkan sebagai seorang yang kejam terhadap kelompok musuh. Tergambar ketika ia memperlakukan pemberontak Uaite dari Arab seperti anjing piaraan, ia “menaruh tali di rahang dan mengikatkannya pada rantai, dan membuatnya berjaga-jaga di kandang anjing”.
Tikus
Saat hegemoni ras Arya digaungkan oleh Hitler, sebagian bangsa Jerman yang tergabung dalam Partai Nazi merasa mereka adalah bangsa superior, lebih unggul, “lebih manusia” dari beberapa kelompok lain.
Bersama dengan motif politis lain, perasaan ini, terutama di kalangan pendukung fasisme Jerman, menjadi pembenaran untuk melakukan apapun terhadap kaum Yahudi, gipsi, homoseksual, kaum cacat, serta suku bangsa yang dianggap rendah seperti Serbia dan Polandia.
Dalam film propaganda anti semit tahun 1940 yang berjudul Der Ewige Jude (The Eternal Jew), perasaan superior itu diwujudkan dengan menjuluki kelompok-kelompok itu, terutama Yahudi, sebagai mereka yang untermenschen, lebih rendah dan bukan manusia: tikus. Julukan lain yang juga kadang digaungkan: kuman dan lintah.
Demi mencapai tujuan, propaganda perendahan martabat terhadap Yahudi dilakukan juga lewat radio, pertemuan massa, dan surat kabar yang disebar ke seluruh antero negeri.
Der Stuemer, majalah propaganda Nazi, dalam satu edisinya bahkan sampai menulis bahwa tikus-tikus itu suka menculik anak kecil. Sebelum Paskah, mereka menculik karena “mereka perlu darah anak Kristen, mungkin, buat campuran di Matzah mereka”. Matzah adalah sejenis roti tidak beragi, yang digunakan dalam perjamuan perayaan Paskah Yahudi.
Sebagai akibatnya, menurut Holocaust Encyclopedia, tak kurang jatuh korban jiwa sekitar 6 juta Yahudi, 200 ribu gipsi, 250 ribu orang cacat, 70 ribu kriminal dan homoseksual, serta 3 juta dari negara sekitar seperti Serbia, Polandia, dan Rumania. Washington’s Holocaust Memorial Museum bahkan saat melakukan studi terpisah di tahun 2013 menyatakan total korban bisa mencapai 20 juta jiwa. Tragedi yang sangat memilukan dalam peradaban manusia.
Kecoak
Saat genosida pecah di Rwanda pada tahun 1994 antara Suku Hutu yang mayoritas dan Tutsi yang minoritas, aroma dendam juga meruap-ruap di seantero negeri. Hanya dalam periode 100 hari, jumlah korban tewas diperkirakan 800 ribu jiwa. Paling banyak adalah dari Suku Tutsi.
Didasari faktor sentimen etnis dan kesenjangan ekonomi (Tutsi lebih mampu secara ekonomi dan dominan secara politik), banyak pengamat mengatakan kejamnya genosida Rwanda itu, tak lain karena begitu telanjangnya ujaran dehumanisasi terhadap Suku Tutsi yang dijuluki inyenzi, istilah dalam bahasa setempat yang berarti kecoak.
Istilah inyenzi yang semula hanya ditujukan untuk pasukan gerilya Tutsi yang, seperti kecoak, keluar hanya pada waktu malam, kini juga ditujukan untuk men-dehumanisasi lansia, anak-anak, dan wanita Tutsi. Pokoknya, asal Tutsi, dia adalah inyenzi. Titik.
Lewat surat kabar Kangura, dan Radio Television Libre des Mille Collines (RLTM), politisi dan pasukan Hutu yang tergabung dalam Rwandan Patriotic Front (RPF) secara gamblang menyerukan kepada seluruh anggota Suku Hutu untuk melakukan “a final war” dan “exterminate the inyenzi” di manapun mereka berada, siapapun dia. Bagi orang Hutu, saat itu orang Tutsi hanyalah kecoak, bukan manusia. Layak untuk diinjak, dimusnahkan.
Kera hitam, ular dan kacang beracun
Di Sudan, sejak tahun 2003 lebih dari 450 ribu orang dibantai di Darfur akibat konflik perebutan lahan antara milisi bersenjata Janjaweed dengan warga Darfur keturunan Afrika. Istilah yang diberikan para milisi itu saat mengolok-olok dan membantai para korbannya adalah kera hitam dan keledai hitam. Itu karena kulit para korban yang relatif lebih gelap dari para milisi yang dibekingi pemerintah Sudan yang kebanyakan keturunan Arab.
Di Myanmar tahun lalu, etnis Rohingya dipaksa mengungsi ke berbagai tempat karena rumah mereka dibakar dan banyak anggota keluarga mereka dibunuh. Saat itu salah seorang biksu, dalam video yang kemudian viral, mengatakan bahwa para pengungsi Rohingya adalah ular, yang “lebih rendah dari anjing” yang mesti diusir, tidak boleh hidup di tanah milik etnis Burma.
Tahun 2015 lalu, pengungsi Siria, yang terusir dari tanah mereka akibat perang tak berkesudahan, pernah disebut sebagai “poisonous peanuts” dan “spoiled milk” oleh Mike Huckabee, mantan Gubernur Arkansas dalam wawancaranya di sebuah stasiun televisi Amerika.
Ia agaknya hendak menyiratkan sikap alergi, untuk tidak secara lugas, sikap penolakan, terhadap kehadiran para pengungsi. Baginya, terkonstruksi dalam pikirannya, para pengungsi itu ibarat pencetus alergi, yang dianggap bisa menimbulkan “keracunan jika dimakan”.
Bagaimana di Indonesia? Kita pernah punya masa lalu yang suram dengan pembantaian anggota, simpatisan, atau mereka yang dituduh berafiliasi dengan PKI. Oleh Komnas HAM, jumlah korban ditaksir berjumlah 500 ribu hingga 3 juta jiwa.
Walau tak begitu menggema, sebutan hama dan anjing sebagai bentuk dehumanisasi juga disematkan kepada para korban itu. Hingga kini, trauma, tapi juga stigmatisasi sosial, akan peristiwa itu, masih saja menjadi hantu masa lalu yang menggerogoti memori kebangsaan kita.
Dehumanisasi sebagai eskalator
Beberapa contoh dalam tulisan ini, tentu saja tidak dimaksudkan untuk mengklaim bahwa dehumanisasi menjadi penyebab utama pertikaian yang terjadi sepanjang sejarah manusia. Yang saya inginkan, tak lain ialah kesadaran kita semua, bahwa dehumanisasi itu punya peran yang tak bisa diremehkan dalam eskalasi perang, konflik, atau kekerasan lain seperti persekusi, dan bahkan genosida sebagai salah satu dari bentuk pelanggaran HAM terberat.
Contoh-contoh itu juga memang hanya menampilkan dehumanisasi dalam bentuknya yang paling benderang: dalam komunikasi verbal. Yakni dalam mendeskripsikan manusia dalam rupa sesuatu yang bukan manusia, entah itu binatang (paling gampang dilakukan), ataupun benda-benda lain yang dianggap lebih rendah derajatnya.
Namun perlu dicermati bahwa dehumanisasi itu hakikatnya bukan sempit pada cara berbahasa untuk melecehkan. Namun lebih kepada bagaimana sesungguhnya cara berpikir dan bertindak seseorang dalam merendahkan harkat dan martabat manusia lain di luar diri dan kelompoknya, yang terpancar dari, salah satunya semantik ujaran, dan yang nyata, tindakan-tindakan yang dilakukan.
Dalam konteks itulah, ada bentuk dehumanisasi lain, seperti peniadaan sistematis keberadaan kelompok lain lewat penghancuran identitas legal, memperlakukan orang lain sebagai objek dominansi, memandang tahanan sebagai kumpulan hewan ternak yang siap disembelih. Juga memperlakukan orang lain, utamanya perempuan, sebagai rampasan, tropi, atau dan mainan seksual.
Indonesia menuju dehumanisasi?
Bangsa kita adalah bangsa yang suka bermain bahasa, terbiasa dengan pisuhan akrab dan gojekan kere. Misalnya dengan memakai jurig, ayiing, munyuk, celeng, wedhus, asu, bajingan, cocote, otak udang, dan lain sebagainya. Ejekan yang hanya untuk lucu-lucuan, pemanis kalimat, dan bumbu-bumbu percakapan dalam senda gurau.
Hanya saja, melihat fenomena terkini, ketika dunia online makin merajarela, saat ini mungkin kita terpaksa tertawa geli, tapi sekaligus kecut. Betapa kreatif dan gampangnya kata-kata kodok, kecebong, cebongers, IQ 200 sekolam, kampret, bani micin curah, kaum jidat hitam, pasukan nasi bungkus, bani taplak, bani serbet, kaum bumi datar, kaum 2D, bani daster, kafirun, dan banyak lagi digunakan di media sosial untuk mendeskripsikan pihak lain yang tidak sepaham.
Ungkapan seperti “ah, cebongers mana ngerti yang begituan!”, “dasar bani micin, ayo minum kencing onta dulu gih biar pinter”, sepertinya menjadi cacophony, hiruk pikuk kata penghibur yang bikin senyum dikulum di kala menunggu kereta yang terlambat datang di stasiun. Tidak hanya para buzzers, penggiat atau pengguna biasa media sosial, para intelektual pun tak jarang tergoda menggunakannya.
Tentu saja, Indonesia bukan negara otoriter, dan kebanyakan dari kita juga tidak baper dan paranoid hanya karena ejekan-ejekan seperti itu di media sosial terhadap pihak yang kita beri simpati.
Namun jika ternyata ungkapan-ungkapan itu lahir dari konstruksi pikiran yang penuh sinisme, amarah dan kebencian yang terpola, sembari menggemakan penghinaan dan perendahan terhadap “yang lain”, di situlah kita perlu waspada.
Apalagi jika digemakan dengan seruan agresi. Karena inilah dehumanisasi belia, yang jika dipupuk, siap tumbuh dewasa dan berbiak dalam bentuk kekerasan, persekusi, ekstrimisme, dan (semoga tidak) pertumpahan darah antar kelompok anak bangsa.
Oleh Genocide Watch, proses dehumanisasi telah resmi diakui sebagai tahap ketiga yang terjadi dalam proses terjadinya suatu genosida, setelah klasifikasi dan simbolisasi. Sebelum terjadinya extermination (penumpasan) di fase akhir.
Kita tak ingin di hari depan ujaran dehumanisasi itu melaju ke tahap berikutnya, serta bertemu dengan propaganda yang sistematis, ideologi dan keyakinan yang mengeras dan mengganas, tanpa ada yang bisa menghentikannya. Beberapa narasi tentang “tikus, kecoak, ular, dan kera hitam” dari beberapa negara lain yang telah disinggung sebelumnya itu, saya pikir, cukup memberi pelajaran berharga akan akibat dehumanisasi.
Bahwa ibarat ketika bermain di tepi api unggun dekat rumah, janganlah iseng menumpahkan bensin untuk membersihkan bekas permen karet yang kita buang sembarangan.
Rumah bersama bernama Indonesia ini terlalu indah untuk terbakar.