Belum genap Januari 2020, publik kembali dikejutkan dengan dugaan kasus korupsi yang merongrong Harun Masiku sebagai tersangka. Kasus tersebut menyeret sejumlah nama besar, yakni Wahyu Setiawan (ketua KPU), Hasto Kristiyanto (Sekjen PDIP), hingga partai “pemenang pemilu” Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. 

Berbagai penyelidikan telah dilakukan KPK, namun terkesan sangat birokratis dalam pelaksanaannya. Dibuktikan dengan adanya “bolak-balik” surat menyurat antara Dewan Pengawas dengan KPK, hingga dugaan kesulitan penyelidikan yang dialami KPK.

Adapun drama kepulangan Harun Masiku juga sangat membingungkan publik. Dalam proses penyelidikan KPK, Masiku dianggap berada di luar negeri. Sehingga, KPK terhambat dalam melakukan penyelidikan. Namun, Masiku ternyata telah kembali lebih cepat daripada pernyataan Menkumham dan otoritas KPK. 

Polemik tersebut berimbas pada pemecatan Dirjen Imigrasi Ronny Sompie, yang dianggap keliru dalam melakukan tugasnya, yakni ‘mendeteksi’ kepulangan Masiku. Kesalahan yang teknis tersebut tentu sulit untuk diterima publik, mengingat sudah seharusnya ada sistem keimigrasian yang lebih baik.

Tidak hanya itu yang mengejutkan publik, namun keberadaan menteri hukum dan HAM Yasonna Laoly yang berada dalam deretan tim kuasa hukum PDIP. Hal tersebut jelas menimbulkan tanda tanya, adakah konflik kepentingan antara Menkumham dengan PDIP? Mengingat Yasonna adalah salah satu “kader” di partai berlambang banteng tersebut. 

Kehadiran Yasonna dalam konferensi pers tersebut dinilai tidak etis sebagai Menteri Hukum dan HAM. Seharusnya, sebagai penjabat publik, ia mampu menahan dirinya agar tidak terlibat dalam urusan partai. Adanya dugaan conflict of interest tersebutlah yang sesungguhnya membuat publik geram. 

Hal tersebut digaungkan dengan adanya penolakan dari koalisi masyarakat sipil. Koalisi tersebut meliputi ICW (Indonesia Corruption Watch), YLBHI (Yayasan Bantuan Hukum Indonesia), dan organisasi kemasyarakatan lainnya.

Dalam detik.com, YLBHI menganggap Yasonna ‘buang badan’ dengan mencopot Dirjen Imigrasi. Hal tersebut ditegaskan oleh ketua YLBHI Asfinawati. Ia menganggap Menkumham abai terhadap etika hukum yang semestinya dijunjung tinggi. 

Bahkan Asfina meminta KPK untuk turun tangan memeriksa Yasonna terkait kasus Harun Masiku. Beliau juga menyatakan bahwa alasan tersebut cukup untuk mencopot Yasonna dari jabatannya sebagai Menkumham. Mengingat pelanggaran etika dan proses hukum semacam ini dapat mengindikasikan adanya konflik kepentingan yang dapat mencoreng pemerintahan Jokowi.

Dengan adanya Yasonna dalam konferensi pers tersebut, jelas merupakan suatu bentuk ketidak-etisan sebagai pejabat publik. Karena apabila terjadi proses hukum, sedangkan Menkumham “pasang badan” seakan-akan membela kepentingan salah satu pihak, jelas sangat rentan terjadi abuse of power.

Abuse of power dapat diartikan sebagai upaya menyalahgunakan kekuasaan, demi kepentingan pribadi maupun golongan tertentu, di mana dalam kasus ini adalah PDIP. Yasonna seakan-akan “menggertak” penegak hukum, bahwa kasus ini melibatkan partainya dan apabila partai tersebut diusik, yang dihadapi KPK adalah Menkumham.

Dalam 100 hari pemerintahan Jokowi pun, pemerintah tampaknya belum mampu menjalankan amanat konstitusi, yakni menegakkan hak asasi manusia. Berjilid-jilid Aksi Kamisan telah digaungkan, namun respons pemerintah masih nihil hingga detik ini. 

Upaya konsorsium pelanggaran HAM masa lalu belum diupayakan kembali semenjak kepemimpinan mantan Menkopolhukam, Luhut Binsar Pandjaitan. Sehingga timbul suatu pertanyaan besar, apakah pemerintah Jokowi masih berkomitmen pada amanat konstitusi, yakni menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu?

Namun tampaknya terlalu tinggi apabila kita berandai mengenai penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Karena di zaman kepemimpinan Jokowi saja, sudah terdapat kasus-kasus pelanggaran HAM yang urung dituntaskan. 

Sebut saja kerusuhan Papua, praktik penyiksaan oleh pihak kepolisian pada aksi Reformasi Dikorupsi, dan SKB tiga menteri yang belum dicabut. Pemerintah terlalu fokus pada kegiatan perekonomian dan infrastruktur, namun abai terhadap kebebasan sipil dan hak asasi yang dijamin oleh konstitusi.

Jika kita berbicara mengenai kebebasan sipil, survei yang dipaparkan oleh Freedom House, lembaga nirlaba yang berbasis di Washington, menyatakan bahwa peringkat Indonesia turun dari “bebas” menjadi “setengah bebas”. Di mana, peringkat “bebas” di zaman pak SBY menjadi “setengah bebas” di zaman Presiden Jokowi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat preseden buruk kebebasan sipil di zaman Jokowi.

Hal ini dapat kita lihat melalui pembatasan internet saat pemilu 2019 berlangsung, pembubaran Ormas secara politis, hingga kekerasan dan intimidasi aparat yang kian meningkat. Rakyat kemudian makin terbelenggu dengan kerakusan penguasa yang ingin kedaulatannya selalu ditegakkan, tanpa memperhatikan asas-asas keadilan dan aturan hukum.

Pemerintah harus segera berbenah diri. Tidak semua aspek kenegaraan melulu adalah masalah infrastruktur dan uang. Terdapat amanat konstitusi yang harus ditegakkan penguasa, tidak hanya sekedar lip service lima tahun sekali. Kesejahteraan dan keadilan perlu dilaksanakan dengan penuh komitmen, sebagai upaya pertanggungjawaban kekuasaan menurut konstitusi. 

Selain itu, Pemerintah perlu mengembangkan etika berpolitik yang lebih inklusif dan transparan sesuai dengan asas pemerintahan yang baik, demi terjaminnya hak-hak rakyat. Jangan lagi mudah mengebiri suara publik, baik dengan pasal makar maupun UU ITE. Seharusnya pemerintah menjamin didengarnya saran dan kritikan publik, sebagai bentuk komitmen terhadap demokrasi.

Tulisan ini bukan untuk menjatuhkan, menyudutkan, apalagi menghakimi. Hanya ingin mengingatkan agar negara tetap berpolitik dalam koridor yang semestinya. Menggaungkan pentingnya penegakan hukum yang lebih ideal dan komprehensif hingga ke akar rumput, seperti yang dikehendaki konstitusi. 

Untuk membuktikan bahwa penguasa tidak imun terhadap kritik, karena Indonesia adalah negara demokrasi dan bukan negara autokrasi. Bahwa Pemimpin dan kekuasaan tidak boleh absolut, seperti pepatah yang diucapkan Lord Acton, "Power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely."