Dalam perjalan sejarah Republik Indonesia DPR adalah lembaga negara yang paling sering disoroti kinerjanya. Sejak awal terbentuk pada tanggal 29 Agustus 1945, kini DPR telah mengalami delapan belas kali pergantian kepemimpinan. Setiap kali pergantian kepemimpinan disitu juga muncul gagasan dan harapan pembenahan kelembagaan ini.

Seiring perjalanan waktu kinerja DPR tetap menjadi sorotan. Menurut survei kinerja DPR yang dirilis Popily Center, menggambarkan bahwa semua fungsi yang dilakukan DPR tidak mendapat penilaian baik dari responden. Survei yang dilakukan pada tanggal 7 sampai 6 Februari 2018 menghasilkan kinerja DPR menepati urutan ke-5 dengan persentase angka 4,7 % dibandingkan lembaga dengan kinerja terbaik KPK sebesar 30.0%.

Pada kesempatan yang sama Populi juga merilis hasil survei tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR. Hasilnya DPR tetap menjadi lembaga yang tidak mendapat apresiasi dari masyarakat. Kepercayaan masyarakat kepada DPR menepati urutan ke-5 dengan persentase angka 6.6%, tertinggal dari KPK yang menepati urutan teratas sebesar 27,1% (8/2/18).

Secara teori untuk melihat kinerja DPR dapat diukur dengan menggukan teori evaluasi, yaitu dengan membandingkan seberapa besar fungsi DPR dapat terimplementasi oleh anggotanya. Mari kita lihat realitas fungsi DPR di lapangan.

Pertama, Belum Produktif Fungsi Legislasi. Indikator kuantitatifnya adalah dengan membandingkan tingkat kehadiran DPR terhadap jumlah produk yang dihasilkan. Menurut catatan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia yang dirilis Kumparan.com (21/12/2017), pada tahun 2017 DPR hanya mampu menyelesaikan 6 Rancangan Undang-undang (RUU) dari 52 RUU yang menjadi Prolegnas prioritas. Alasannya dalam UU MD3 nomor 17 tahun 2014, kehadiran akan berkaitan dengan pengambilan keputuasan, maka tidak heran beredarlah kampanye ruang rapat kosong, Anggota DPR malas dan tidur dalam ruangan hingga Prolegnas tak tercapai.

Kedua, Lemahnya Fungsi Pengawasan. DPR tidak maksimal dalam mengontrol pelaksanaan kegiatan pemerintahan oleh eksekutif. Hal ini dapat diukur dari minimnya pembahasan DPR terhadap temuan dan rekomendasi Badan Pemerikasa Keuangan yang menunjukkan beberapa Kemetrian dan Lembaga yang berstatus Wajar dengan Pengecualian dan Tidak Memberikan Pendapat.

Selain itu juga masyarakat merasakan DPR lengah terhadap kebijakan Pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada kebutuhan masyarakat. DPR dirasakan tidak peka dan awas atas terjadinya sejumlah peristiwa yang menonjol dan berdampak luas di Tanah Air. Sebagai contoh isu gizi buruk di Asmat, kenaikan harga Sembako, BBM dan Listrik, tenaga kejra asing dan isu persatuan bangsa.

Ketiga, Transaksionalnya Fugsi Anggran. Indikator untuk mengukur kinerja fungsi Anggaran adalah Kapabilitas. Lemahnya kemampuan DPR dalam pembahasan anggaran dari Eksekutif, membuat DPR tidak mepunyai alternatif dan koreksi terhadap mata anggaran (RAPBN) yang diajukan Eksekutif. Program dan kegitan yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan pemborosan anggaran dengan mudah disetujui.

Indikator lain adalah transaparansi dalam pembahsaan anggaran. Masih banyaknya pembahasan anggaran yang dilakukan secara tertutup membuat ruang yang nyaman bagi ognum (DPR dan Eksekutif) untuk melakukan penyimpangan anggran dalam pembahasan Anggaran.

Sebagai penutup, kedepanya diharapakan setiap Anggota DPR dapat  memaksimalkan kemampuanya dalam melakukan artikulasi dan agregasi  kepentingan dari basis konstituenya untuk disuarakan menjadi ide DPR. Dari sisi kelembagan, sebaiknya Lembaga DPR menyediakan infrastruktur berpikir yang menunjang lahirnya ide cemerlang bagi anggotanya, karena produk dari lembaga DPR adalah ide cemerlang yang dituangkan dalam bentuk undang-undang dan koreksi untuk eksekutif.