…gerakan kekuatan massa, semacam People Power…

Merangkak Dari Keterbatasan Dana Sebagai Kesulitan Awal

Partai-partai Koalisi Perubahan, KP, kudu kompak jika benar-benar berniat mengusung Pak Anies Baswedan (PAB) dalam ajang Pemilihan Presiden, Pilpres Indonesia pada tahun 2024. Kabarnya partai Nasdem, PKS, Demokrat mulai ada friksi, lebih pada kurang sepakatnya alokasi anggaran, dengan kata lain yang begitu klise, yakni; duit terbatas.

Dalam berpolitik memang mau tak mau, suka tak suka, kudu mau berteman dengan orang-orang kaya, yang meski tadinya berseberangan.

Meski sementara ini, PAB sudah banyak pendukung tak hanya di Jawa namun juga luar Jawa, yang dikenal dengan Relawan Anies, RA. Namun untuk urusan uang yang praktis menjadi kebutuhan utama dalam ajang persaingan pesta demokrasi nasional, maka mengandalkan militansi relawan semata, belumlah cukup.

Nah, apabila petinggi ketiga partai itu mau transparan mengakui bahwa mereka gak punya cukup modal bertarung mengusung PAB pada Pilpres 2024, ada pilihan menyampaikan secara terbuka ke kantong-kantong RA bahwa fakta nyata, brutal fact, yang dihadapi sekarang adalah dana yang terbatas.

Ada peluang semacam gerakan kekuatan massa, semacam People Power, dalam bentuk sumbangan sukarela dari RA kepada ketiga partai koalisi itu.

Tapi ya gak mudah, soalnya dari banyak RA yang berasal dari beragam partai, juga pikir-pikir nanti duit yang disumbangkan bener gak digunakan buat mendukung PAB. Karena, partai Demokrat pernah terjerat kasus Hambalang. Lalu, PKS pernah kesandung sapi dan kasus mahasiswi di kampus bilangan Senayan dengan seorang anggota partai.

Sementara, partai Nasdem meski belum pernah kesandung, namun manuver politis pucuk pimpinan tertingginya, itu sama sekali gak mudah ditebak. Mewakili tipikal politisi kaya yang gak sudi didikte. 

Dalam kondisi buntu, partai Nasdem malah bisa menarik diri dari koalisi awal, terus menclok ke koalisi lain. Bukankah dalam berpolitik tak ada teman pun lawan abadi? Tapi kepentingan yang sama dalam memilih kebijakan.



Bukankah berpolitik berarti kelak bakal ada kebijakan-kebijakan yang menuai harapan?

Berpolitik Santun Itu Menghargai Setiap Aspirasi

Jika mau serius, maka RA kudu mulai bikin gebrakan yang bersifat empati, seperti merangkul orang-orang kaya, mendapatkan dana secara elegan. Semacam mengambil rencana kontingensi, berupa pengajuan Calon Presiden, Capres, secara Independen.

Bisa?

Tiada yang tak mungkin. Jalur independen bisa berpeluang menampung aspirasi politis bagi kalangan tertentu yang sudah jenuh dengan arah berpolitik dalam tingkatan bernegara, butuh perubahan segera. Bukankah berpolitik berarti kelak bakal ada kebijakan-kebijakan yang menuai harapan?

Atau, apabila berpikir dengan logika terbalik, maka itu suasana yang seolah kisruh pada partai-partai KP bisa jadi adalah strategi meraih empati. Semacam mengukur tumbuhnya empati dari masyarakat, yang apabila berhasil maka partai-partai yang seolah gak punya dana tadi bisa panen empati dari masyarakat luas terutama RA, baik dalam hal kelak mendapat suara dan tentunya adalah tambahan dana.

Patut diakui, RA itu militan dalam hal mengusung sosok. Diam-diam, di beberapa propinsi seperti Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan tentunya DKI Jakarta, telah tumbuh kantong-kantong RA. Jika jejaring partai-partai dalam KP bubar, masih ada peluang Capres independen.

Namun jelas, karena rencana mengusung sosok dalam bersaing sebagai pemimpin nomor satu pada suatu negara itu adalah proyek besar, maka modal, baca: duitnya, cukup apa gak? 

Tahun 2024 masih dua tahun lagi dari tahun ini. Setiap kemungkinan bisa saja terjadi.



…tim komunikasi handal yang bisa membangun opini pada saat yang tepat, cerdas dan cermat.

Keberhasilan dan Kegagalan Masa Lalu Sebagai Hikmah Pembelajaran

Belajar dari sukses Pak Joko Widodo, Jokowi, sebagai Presiden Republik Indonesia selama dua periode berturut-turut, maka tim Pro-Jokowi, Projo, dulu benar-benar paham dan memaklumi bahwasanya manusia sejak 2005-an telah memasuki abad pengetahuan, Knowledge.

Oleh karenanya, selain menata mindset sosok berintegritas sebagai calon pemimpin negara, maka tim Projo pun menggandeng kaum akademisi, yang lalu memilih perguruan tinggi yang memiliki reputasi melegenda dan cerdas, yakni Institut Teknologi Bandung, ITB.

Meski tak semua insan ITB adalah Projo namun merapatnya kubu Jokowi ke ITB mengindikasikan mayoritas sosok ITB, adalah Projo.

Lalu, pengetahuan pun menjadi tertata dan mengalir dalam konteks membangun mindset, dipadu dengan tim komunikasi handal yang bisa membangun opini pada saat yang tepat, cerdas dan cermat.

Dulu Pak Prabowo Subiyanto mengabaikan itu. Hanya percaya dan pasrah, urusan komunikasi massa diserahkan ke Ahmad Dani sang pentolan band Dewa. Sama sekali tanpa strategi dan adab penerapan ilmu komunikasi. Hanya mengandalkan tabiat overpede.

Hasilnya? Buyar!

Jadi, dalam abad pengetahuan yang perilaku banyak orang berbeda dengan, misal, abad komunikasi beberapa dasawarsa lalu, maka upaya mengusung sosok calon pemimpin negara dalam ajang Pilpres 2024 mendatang, tiadalah cukup berbekal dengan kepercayaan diri pada tumbuhnya banyak relawan yang militan sekalipun, semata.

Dalam abad pengetahuan, loyalitas lebih termaknai apabila terdapat proses yang menghargai akan adanya ruang berbagi pengetahuan.

Menakar brutal fact dengan bijak, lalu mengemasnya dalam kegiatan-kegiatan yang menggurat empati massa, bakal menjadi masukan yang sangat berarti, sebagai bagian dari penataan mindset yang diperkaya oleh aspirasi, yang berarti; pengetahuan.