Sebagian novel Albert Camus, La Peste (diterjemahkan menjadi  Sampar), memotret kerinduan para kekasih yang terpisah oleh karantina Kota Oran, Algeria. Pembatasan Sosial Berskala Besar karena pandemi Covid-19 membuat kita merasakannya secara langsung.

Raymond Rambert, wartawan dari Prancis, terkurung oleh karantina Kota Oran saat wabah Sampar mulai berjangkit. Setelah permintaannya untuk bisa keluar dari kota ditolak para pejabat di Oran, ia datang ke Dokter Bernard Rieux. Kepada dokter itu, ia memohon dibuatkan surat keterangan sehat supaya bisa keluar dari kota untuk berkumpul bersama kekasihnya yang ditinggal di Paris. 

“Bodoh, ya, Dokter! Saya tidak dilahirkan untuk menulis reportase. Tapi barangkali saya dilahirkan untuk hidup bersama seorang wanita. Bukankah itu wajar?” tanya Rambert.

Sebelum wabah Pes menyerang Oran, Rieux narator dalam novel ini, menganggap Rambert sebagai orang yang tegas, bermata hitam, dan tampak cerdik. Mereka pertama kali bertemu saat Raymond berkunjung ke klinik Rieux, mencari berita. 

Rambert sangat antusias saat Rieux memberi tahu bahwa banyak tikus-tikus yang mati. Peristiwa itu menjadi tanda akan datangnya wabah ke Kota Oran. “Ah, itu menarik!” Rambert berseru.

Antusiasme Rambert tak bertahan lama. Perasaan itu berubah menjadi frustrasi. Dia harus berpisah dengan kekasihnya karena kota Oran di-lockdown.

Rambert mewakili perasaan yang dialami sebagian besar penduduk Oran. Ketika pintu kota ditutup, mereka menyadari harus hidup dengan kondisi yang berbeda. Termasuk untuk pengalaman pribadi, yaitu perpisahan dengan seseorang yang tercinta. Orang-orang mengalami perpisahan tanpa persiapan. 

Pemerintah kota mengarantina Oran tanpa diawali pemberitahuan. Mereka yang beberapa jam sebelumnya masih sempat mengantarkan kekasih pergi menggunakan kereta, kini digelayuti kesedihan karena perpisahan mendadak yang ternyata berlangsung lama.

Rambert langsung mengirim telegram kepada kekasihnya begitu Kota Oran ditutup. Semula ia mengira bahwa penutupan kota Oran hanya bersifat sebentar. “Semua baik-baik. Sampai bertemu secepatnya,” kata Rambert di telegramnya. 

Keesokan harinya, seketika ia menyadari bahwa keadaan ini akan berlangsung lama. Rambert memutuskan harus keluar dari Kota Oran secepatnya.

Setelah permintaannya ke pejabat kota ditolak, Rieux menjadi harapan terakhir Rambert. Pemerintah menutup Oran, salah satunya karena saran dari Rieux. Kepada Rieux, Rambert memohon dibuatkan surat sehat sehingga dibolehkan meninggalkan kota.

Rieux menolak. Ia beralasan semua orang berada dalam keadaan yang sama dengan Rambert. Rambert marah dan menganggap Rieux, dokter yang tak kenal perasaan cinta. “Tuan tak akan paham.” kata Rambert, “Tuan pakai bahasa nalar, bukan hati. Tuan hidup dalam sebuah dunia abstrak.”

Rieux diam-diam mengakui itu. Perintah penutupan kota tidak mungkin mempertimbangkan kasus orang per orang yang pasti akan menyulitkan. Keputusan karantina, didasarkan pada asas abstrak, yaitu demi kepentingan umum.

Goenawan Mohamad menyebut abstraksi sebagai keangkuhan akal terhadap kenyataan yang kompleks. Ia tidak mengakui hal-hal yang antah berantah, yang tak terhingga aneka-ragamnya, yang bisa membuat manusia bingung, gembira, atau sedih. Dengan abstraksi, Rambert hanya akan masuk hitungan sebagai salah satu penghuni Kota Oran yang tidak unik. 

Birokrasi pemerintah, pencatatan statistik, ilmu epidemiologi akan memandang Oran dengan ‘pendekatan’. Pendekatan selalu berakhir pada hasil yang tidak utuh.

Begitu pun, pemerintah Jokowi menggunakan pendekatan-pendekatan itu-ditambah surplus pendekatan EKONOMI-saat menerapkan PSBB karena Covid-19. Pendekatan itu mengesampingkan kasus-kasus yang dianggap remeh, seperti perpisahan sepasang kekasih. Semua kasus dipukul rata untuk tujuan yang disebut mencapai kebaikan bersama.

Karena itu, wajar bila data yang diumumkan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto setiap sore tak pernah memasukkan kasus perpisahan. Data pemerintah mengklasifikasikan penduduk hanya menjadi enam kategori: orang dalam pengawasan; pasien dalam pemantauan; positif covid; sembuh; meninggal; dan penduduk lainnya yang mesti dicegah supaya tidak sakit.

Dalam data itu, Adit (bukan nama sebenarnya) seorang pegawai swasta asal Jakarta dimasukkan ke dalam kategori yang terakhir. Tak ada kategori khusus untuk kasus pria 27 tahun ini, yang tiba-tiba dicekam perasaan cemas pada tengah malam di pekan kedua penerapan PSBB. Ia rindu kepada si pacar.

Baru sepekan tak bertemu dengan si dia, pikiran Adit mulai memberikan makna kepada tanda-tanda yang dulunya sama sekali tak memiliki arti. Ia mulai menghitung berapa lama pacarnya membalas pesan. Instastory, tanda ‘online’ di WhatsApp, hingga obrolan di ponsel yang tidak asyik, ia maknai sebagai peringatan bahwa hubungannya sedang tidak baik-baik saja.

Pernah suatu kali, Adit menegur pacarnya yang sibuk membalas pesan ketika sedang mengobrol melalui ponsel. Pacarnya bilang harus menjawab pesan dari bos. Pekerjaan sedang banyak. Adit meminta pacarnya mengirim tangkapan layar percakapan itu. “Ini pertama kalinya gue kayak gitu.” 

Tiap kali perasaan cemburu itu muncul, pacarnya harus meyakinkan Adit berulang kali, bahwa hubungan mereka baik-baik saja. Ketika Adit sudah tenang, si pacar jadi punya waktu luang untuk lanjut menonton serial The World of Married.

Adit bisa jadi lebih beruntung dibandingkan para kekasih di Kota Oran. Teknologi komunikasi memungkinkan dirinya untuk sering berbicara dengan si pacar. Sementara, dalam novel Sampar yang ditulis Camus pada 1947, penduduk Kota Oran cuma punya mesin telegram milik kantor pos yang harus dipakai bergantian. 

Kondisi itu membuat penduduk kota Oran, manusia-manusia yang terikat oleh kecerdasan, rasa kasih sayang atau cinta fisik, turun derajatnya menjadi sekumpulan orang yang mencari sisa-sisa hubungan masa lalu melalui huruf-huruf besar pesan telegram. 

Dan karena kalimat yang digunakan pada telegram paling banyak hanya sepuluh kata, maka ingatan tentang hidup bersama yang panjang atau rasa rindu yang pedih hanya tercakup dalam rumus pendek: “Saya baik-baik saja. Ingat kepadamu. Kasih.”

Sepuluh kata dalam telegram tentu tak bisa mewakili seluruh perasaan. Tidak juga pesan WhatsApp yang tak terbatas jumlahnya atau percakapan lewat panggilan video. Melihat wajah, mendengar suara kekasih dari layar ponsel pintar yang dingin tidak bisa menggantikan hangatnya pertemuan langsung atau menangkap getar suara dalam sebuah perjumpaan di restoran.

Dalam kerinduan yang tidak tuntas, para kekasih terpaksa memberikan bentuk baru untuk hubungannya. Sekarang, semua harus serba jarak jauh dan serba sendiri-sendiri. Sebagian yang tidak terbiasa dengan perubahan, memilih mengakhiri hubungannya sekalian. 

Selama pandemi Covid-19, The Guardian, mencatat muncul istilah baru bernama Zumping. Zumping akronim Zoom Dumping, berarti memutuskan hubungan melalui aplikasi panggilan video Zoom. Istilah ini populer karena banyak orang yang mengalami Zumping dan membagikan kisah mereka ke media sosial.

Mereka yang masih mencari bentuk suatu hubungan, lebih tak diuntungkan dengan perpisahan yang mendadak karena PSBB. Apalagi untuk hubungan yang rumit. Kondisi mereka menjadi seperti terbentur dinding. Mereka kesulitan untuk terus maju, tapi tak kuasa menahan godaan untuk mengintip ke kemungkinan di masa depan. 

Menghadapi yang serba tidak pasti dan pilihan perpisahan yang bisa terjadi dalam sekejap tanpa pemberitahuan menguras banyak tenaga. Mereka bisa mengira bahwa waktu yang dimiliki terbatas, tapi tidak pernah siap untuk sebuah perpisahan. PSBB Covid-19 mencuri waktu untuk bersama orang terkasih yang mungkin tidak akan lama lagi.

Perpisahan, kata Rieux, membuat mereka  merasakan penderitaan yang dalam dari semua yang terpenjara dan yang terkucil: hidup bersama kenangan yang tidak berguna! 

Masa lalu yang dipikirkan terus menerus itu terasa sebagai penyesalan. Mereka ingin menambah kenangan itu dengan perbuatan yang tidak dikerjakan bersama si dia yang kini tak bisa ditemui. Mereka lelah dengan penyesalan karena melewatkan kesempatan itu.

Hingga tiga bulan penerapan PSBB, Rio, pegawai di lembaga negara masih menyesal telah membatalkan rencana pergi dengan perempuan yang dia suka ke bazar buku, Big Bad Wolf pada pertengahan Maret 2020. Kencan itu dibatalkan, karena rentetan kejadian yang menandai dimulainya krisis Covid-19 di Indonesia: Seorang menteri dinyatakan positif tertular; kepala lembaga intelijen keuangan meninggal dengan gejala Covid-19; dan jumlah orang yang terinfeksi mencapai angka 100. 

Buat Rio semua peristiwa yang terjadi pada 14 Maret 2020 itu, telah menggagalkan rencananya untuk menyatakan perasaan dan memperjelas hubungan tanpa nama yang sudah berlangsung selama hampir dua tahun.

Rambert cuma butuh waktu satu hari untuk menyadari bahwa dirinya akan terkurung lama di Oran. Rio hanya butuh satu hari dengan tiga kabar buruk untuk menggagalkan semua rencananya. 

Rio dan Rambert adalah dua orang yang paling terasing dalam keterpisahannya. Rambert terkurung di kota yang tidak dia kenal dengan ingatan terhadap orang yang ia cintai. Rio terpisah dari orang yang ia cintai dengan status hubungan yang tidak Ia tahu apa namanya.

Rio mengawali hari-hari pertama PSBB dengan menunggu pesan balasan dari si perempuan. Seringkali, butuh waktu berhari-hari untuk si perempuan membalas sebuah pesan yang sebetulnya sederhana. Kebiasaan ini yang membuatnya ragu untuk menyatakan perasaannya lewat ponsel.

Suatu kali, dia pernah memprotes kepada si perempuan soal pola komunikasi itu. Si perempuan bersedia mengubah kebiasaannya. Namun, bukan rasa tenang yang didapatkan, Rio justru merasa bersalah dengan jawaban si perempuan. “Apa hak gua menuntut?” kata dia. 

Bagaimanapun, hak muncul oleh adanya status. Status mereka: bukan pacar, tapi jelas lebih dari teman. Dia sangat rindu, tapi terlalu khawatir untuk menyampaikannya lewat pesan teks yang datar dan dingin.

Tiga bulan setelah penerapan PSBB, si perempuan menjadi semakin asing untuk Rio. Pesannya semakin lama dibalas. Ia memutuskan, Lebaran ini akan menjadi batas waktu untuk tetap mengupayakan hubungannya atau tidak. Dia menjalani skenario terburuk dari hubungan-tak-jelas-jarak-jauh: kerinduan yang tak bisa diucapkan. 

“Begitulah! Yang pertama-tama dibawa oleh sampar kepada penduduk kota kami adalah perasaan pengucilan dan keterasingan,” kata Rieux.

Dalam filsafatnya, pemaknaan Albert Camus mengenai keterasingan tentu lebih luas daripada hanya soal asmara. Filsafat eksistensialisme Camus menawarkan cara menjalani hidup yang tak bermakna atau absurd. 

Dalam novel Sampar, wabah merupakan gambaran dari kehidupan yang datang tiba-tiba tanpa dikehendaki. Orang-orang terkurung di dalamnya tanpa tahu alasan dan tujuan hidup mereka. Dalam keterdamparan itu, wabah membuat penduduk Kota Oran harus berupaya mengerti dan memaknai arti kehidupan sebenarnya.

Di antara upaya penduduk Oran, ada kasus Rambert yang memaknai bahwa tujuan hidupnya adalah bersama dengan seorang perempuan yang ia cintai. Ia menjadi orang asing di kota Oran, ketika harus terpisah dengan tujuan hidupnya.

Lain Rambert, lain pula Rieux. Rieux digambarkan sebagai orang rasional dan dingin. Buat Rieux, sikap yang benar dalam menghadapi wabah ialah menerima ketidakmampuan manusia untuk memaknai kehidupan dengan jujur, lalu mencoba hidup seperti apa adanya, di waktu yang sekarang. Kelak, Rieux menjadi teladan bagi penduduk Kota Oran dalam menghadapi pandemi, termasuk kerinduan yang menyiksa mereka.

Penduduk Oran menyadari bahwa keinginan untuk bertemu orang terkasih adalah sia-sia di masa karantina kota. Tidak masuk akal membayangkan untuk kembali ke belakang atau mempercepat waktu ke depan. Pikiran itu hanya membuat kenangan dan harapan terasa lebih menusuk. 

Mereka sadar bahwa perpisahan hanya akan berakhir bersama epidemi. Tetapi, memperkirakan tibanya waktu perjumpaan itu akan sama pedihnya dengan mengenang masa lalu.

Maka, yang bisa dilakukan setiap orang adalah sendirian menghadapi takdir ini dan berdamai dengan waktu. Perpisahan, kata Camus, memberikan waktu kepada penduduk kota Oran mengenali lebih jauh perasaan-perasaan yang mereka kira mengenalnya dengan baik. 

Kekasih yang dulu mempercayai kesetiaan pasangan mereka, menyadari bahwa kini merasa cemburu. Para lelaki hidung belang, kini mendapati diri mereka sebagai orang yang setia.

Mungkin saja, perpisahan oleh PSBB dapat memberikan waktu berpikir untuk mereka yang sedang menjalin hubungan dengan atau tanpa nama. Atau juga mereka mereka yang terlanjur berada dalam keterikatan satu sama lain yang sulit, untuk memikirkan kembali tujuan yang ingin mereka capai(?). 

“Kami mengetahui, perpisahan kami sudah ditakdirkan akan berlangsung dan bahwa kami harus berusaha berdamai dengan waktu.”

Referensi