Di Indonesia masalah kemerdekaan kebebasan pers adalah apakah sudah sesuai dengan konstitusi serta peraturan yang berkaitan dengan fungsi dan peranan pers dalam kehidupan demokrasi. Hal ini sangat penting dirumuskan, mengingat pengalaman selama ini, hampir setiap sistem politik menyebut dirinya demokratis dan menjamin adanya kebebasan pers, tetapi dalam praktiknya otoriter dan membelenggu pers.
Pada rezim Orde Lama, dengan kembalinya Indonesia memakai Undang-undang Dasar 1945 dan menggunakan sistem politik pemerintahan presidensiil pada tahun 1959 sampai 1966 yang terjadi kemudian adalah sebaliknya. Demokrasi yang seharusnya tanpa embel-embel, diubah menjadi terpimpin atau dipimpin oleh seseorang, sedangkan kemerdekaan pers yang seharusnya dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945, justru dikebiri.
Begitu juga halnya dengan Orde Baru, pada mulanya memang mengiming-iming terjaminnya kemerdekaan pers dengan dikeluarkannya Undang-undang Pokok Pers Nomor 11 Tahun 1966. Undang-undang ini sebetulnya hanya semacam cek kosong yang kalau dipraktikkan tidak sesuai dengan yang tertulis.
Dalam konsideran undang-undang ini disebutkan bahwa pers harus mencerminkan kehidupan demokrasi, karena itu, berbagai ketentuan yang berkaitan dengan ketentuan pers, misalnya, Penpres Nomor 6 Tahun 1963 tentang pembinaan pers dicabut.
Sepintas, Undang-undang No. 11 Tahun 1966 ini memberikan kemerdekaan pers, tetapi jika ditelusuri lagi pasal-pasalnya, ternyata di balik itu terdapat berbagai belenggu bagi kehidupan pers di Indonesia.
Dalam Pasal 4 Undang-undang No. 11 Tahun 1966, disebutkan ”Terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan”. Celaka nya, pada pasal berikutnya yaitu Pasal 20 ayat 1 Undang-undang No. 11 Tahun 1966 dikatakan ”Untuk menerbitkan pers diperlukan Surat Izin Terbit.
Undang-undang No. 11 Tahun 1966 ini kemudian diganti dengan Undang-undang No.21 Tahun 1982 tentang SIUPP, tetapi yang terjadi secara substansial tidak ada perubahan. Kontrol pemerintah terhadap pers memiliki keharusan mendapatkan surat izin terbit makin kuat.
Bagi yang tidak punya izin, tidak boleh menerbitkan pers. Selain terjadi pembatasan- pembatasan yang dikaitkan dengan kepentingan pemerintah juga cenderung melahirkan praktik korupsi, karena permintaan terhadap surat izin begitu banyak, tetapi mendapatkannya begitu sulit.
Demikianlah realitas pers Indonesia di masa Orde Baru. Kemerdekaan pers secara sistematis dikebiri melalui Undang-undang Pokok Pers Nomor 11 Tahun 1966 kemudian diganti dengan Undang-undang Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1980.
Pengebirian itu dilakukan dalam bentuk pemberlakuan SIUPP; pembredelan pers melalui pencabutan SIUPP; pembatasan fungsi pers melalui pemanggilan-pemanggilan wartawan dan pemimpin redaksi oleh penguasa; dan melalui teror telepon bahkan ancaman fisik dan pembunuhan.
Jelas sekali bahwa kemerdekaan pers tidak hanya dipasung melalui pembatasan melalui kegiatan jurnalistiknya seperti pembredelan, budaya telepon, ancaman, bahkan pembunuhan terhadap wartawan yang dinilai mengganggu kepentingan orang yang dekat dengan kekuasaan.
Pada acara-acara briefing terhadap para pemimpin redaksi, tak jarang pula dipesankan agar tidak memuat berita kegiatan mahasiswa di halaman depan. Gejala ini terus berlangsung hingga menjelang kejatuhan Orde Baru.
Bersamaan dengan penekanan terhadap kemerdekaan pers, hal yang sama juga dilakukan terhadap para mahasiswa, misalnya dengan dilakukannya penculikan dan penembakan mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, pada aksi menuntut Soeharto mundur dari jabatan Presiden (Mei 1998). Bahkan, dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, beberapa penerbit anti pemerintah, seperti Tabloid Delik, Majalah Berita Tempo, dan Editor dicabut SIUPP nya oleh pemerintah pada tahun 1996.
Majalah SINAR, yang waktu itu penulis pimpin sebagai pemimpin redaksi, mendapat peringatan keras terakhir dari Deppen, karena memuat berita penyerangan kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro Jakarta, serta memuat foto uskup Belo di sampul depan setelah ia mendapat hadiah Nobel Perdamaian.
Pencabutan SIUPP Majalah Tempo, berkaitan dengan pembongkaran kasus dugaan korupsi yang dilakukan mantan Wakil Presiden BJ Habibie yang diduga melakukan manipulasi pembelian kapal perang bekas Jerman Timur, sedangkan Tabloid Delik dan Majalah Editor dinilai tidak loyal terhadap pemerintah, dan selalu memberitakan kegiatan mahasiswa dengan porsi yang besar.
Oleh karena itu, SIUPP ketiga penerbitan itu dicabut oleh Deppen tanpa melalui proses pembuktian dan hukum yang adil dan benar. Pencabutan itu, pasti menggunakan dasar hukum Permenpan Nomor 1 Tahun 1984 setelah mendengar Dewan Pers. Dengan kata lain, selain Menteri Penerangan, Dewan Pers ikut bertanggung jawab terhadap pembredelan tanpa melalui proses peradilan.
Melalui uraian di atas terlihat dengan jelas keterkaitan antara pemasungan, sensor dan pembredelan pers dengan konfigurasi politik yang otoriter, serta semakin maraknya praktik buruk birokrasi, korupsi, kolusi dan nepotisme. Rezim otoriter dan korup itu berjalan tanpa kontrol sama sekali dan menyebabkan lahirnya rezim yang tampak kokoh dari luar, akan tetapi di dalamnya rapuh.
Realitas demikian pada akhirnya membuat ekonomi bangsa Indonesia bertambah terpuruk. Lebih-lebih akibat krisis moneter yang diawali dengan depresiasi nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, banyaknya utang luar negeri yang dipakai untuk proyek fiktif, tinggi- nya inflasi, dan munculnya pemutusan hubungan kerja, serta pengangguran besar-besaran. Hal ini mengakibatkan kian tingginya tingkat penolakan rakyat terhadap rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto.
Kehidupan pers seperti di atas kemudian berdampak terhadap corak isi penerbitan di Indonesia yang cenderung menjadi instrumen bisnis para pemilik modal dengan melupakan fungsi kontrol sosialnya. Di satu sisi, terkesan terjadi perubahan yang signifikan dalam perkembangan pers di Indonesia, dengan ditandai banyaknya jumlah surat kabar, majalah dan televisi swasta.
Akan tetapi, di sisi lain, gejala ini diiringi pula dengan menguatnya rezim otoriter yang tak terjamah oleh kritik dan kontrol pers. Berdasarkan fenomena pers yang demikian, mana mungkin pers dapat melakukan fungsi kontrol karena hak hidupnya sangat tergantung pada SIUPP yang dikuasai pemerintah.
Selain itu, sistem politik Orde Baru yang otoriter dan korup itu, ternyata tak sekuat yang tampak di permukaan. Hal ini, antara lain, disebabkan kekuasaan yang dimilikinya tidak sepenuhnya didukung oleh entitas demokrasi, antara lain oleh pers yang bebas menyampaikan kritik dan kontrol.
Seperti dikatakan, kehadiran kemerdekaan pers sebenarnya dapat memperkokoh masyarakat dan penguasa sehingga terhindar dari keburukan yang pada gilirannya menyebabkan kejatuhannya.
Faktanya, faktor utama yang menyebabkan tumbangnya Orde Baru adalah terlalu banyaknya kebobrokan pemerintah, seperti banyaknya utang luar negeri Indonesia, tingginya tingkat korupsi, macetnya peran lembaga demokrasi, seperti legislatif, termasuk dibelenggunya kemerdekaan pers.