Sesuai peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu 2019, tahapan pilpres akan dimulai pada bulan Agustus 2018 diawali dengan pendaftaran capres dan cawapres. Saat ini suhu politik pun mulai menghangat, berbagai survey, pencitraan, dan isu sudah dimainkan baik oleh lembaga survey, politisi, parpol, maupun relawan. Hari-hari ini di ruang publik, media online, televisi dan media sosial sudah dipenuhi dengan ‘jualan’ para kandidat, ada iklan, poster, baliho dan tagar.
Oleh banyak pengamat politik, pilpres 2019 diprediksi akan mempertemukan kembali Jokowi melawan Prabowo. Dengan peta politik seperti itu, pertarungan sesungguhnya justru pada perebutan cawapres yang akan mendampingi kedua tokoh tersebut. Dan saat ini, sudah banyak tokoh yang mulai caper dan memoles pencitraannya, berharap nantinya dipinang oleh Jokowi atau Prabowo.
Salah satu politisi yang sudah mengincar posisi cawapres adalah ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. Berbagai tagline dan tagar seperti Pemimpin Jaman Now, Gue Banget, Panglima Santri, Pembela Nelayan dan #TerimaKasihCakImin sudah memenuhi ruang publik dan media sosial. Berbagai organ relawan pun massif terbentuk diseluruh Indonesia, ada Kocak (Jokowi – Cak Imin), Becak (Bela Cak Imin), dan Rancak (Relawan Cak Imin).
Cawapres Imajiner
Posisi cawapres pada pilpres 2019 sangat strategis, terutama untuk menjadi pendamping Presiden Jokowi yang diprediksi oleh banyak lembaga survey akan memenangkan pilpres dengan mudah. Wajar apabila para tokoh lebih memilih berpasangan dengan Jokowi daripada Prabowo yang elektabilitasnya terus tergerus. Juga posisi Jokowi yang tinggal satu periode lagi untuk menjadi presiden menjadikan kursi wapres menjadi incaran semua parpol.
Untuk itu segala upaya, daya, dan dana digerakkan untuk meningkatkan posisi tawar sebagai cawapres. Pun demikian dengan Cak Imin, mulai dari klaimnya sebagai pembela nelayan, pemimpin jaman now dan panglima santri. Sayangnya segala klaim tentang dirinya tidak sesuai dengan fakta yang ada, lebay dan pencitraan semata. Cak Imin lupa, masyarakat sudah cerdas dan kritis, mana pemimpin berkualitas dan mana pemimpin hasil ‘goreng dadakan’.
Pertama, klaim Cak Imin sebagai pembela nelayan hanya omong kosong dan menyesatkan, apa yang dilakukan pada kasus penggunaan cantrang adalah pembelaannya terhadap orang-orang kaya pemilik kapal besar, bukan membela nelayan. Sementara nelayan kecil yang sebagaian besar warga nahdliyin justru menjadi korban dari penggunaan cantrang yang ia bela demi pencitraan dan ambisi politiknya.
Sikap Cak Imin yang lebih membela orang-orang kaya pemilik kapal cantrang telah mengecewakan warga nahdliyin di pesisir pantura. Sebagai ketua umum partai yang mengklaim sebagai satu-satunya partai hijau di Indonesia harusnya lebih berpihak kepada nelayan kecil dan mendukung penggunaan alat tangkap ramah lingkungan. Tapi faktanya, Cak Imin berkolaborasi dengan orang-orang kaya pemilik kapal cantrang untuk merusak isi laut. Masa depan laut yang berkelanjutan telah ia abaikan.
Kedua, benarkah Cak Imin Pemimpin Zaman Now? Pemimpin Zaman Now harus anti korupsi dan berintegritas. Cak Imin sangat diragukan sikap anti korupsi dan integritasnya. Bukan rahasia lagi kalau Cak Imin diduga terlibat dalam kasus korupsi saat menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi . Dalam fakta persidangan untuk tersangka Jamaluddin Malik mantan Dirjen Pembinaan dan Pembangunan Kawasan Transmigrasi (P2KT), Cak Imin disebut menerima uang hasil korupsi sebesar Rp 400 juta, dan KPK masih mendalami kasus ini.
Integritas Cak Imin juga diragukan dalam kasus pemberian gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari Universitas Airlangga Surabaya, menurut Forum Dosen Fisip Unair gelar tersebut bersifat politis, tidak sesuai dengan kontribusi yang sudah diberikan Cak Imin kepada masyarakat, dan cacat prosedur. Secara intelektual dan moral, Cak Imin tidak bisa jadi panutan anak muda zaman now, apalagi disebut sebagai pemimpin jaman now.
Ketiga, memang harus diakui kalau Cak Imin seorang santri tulen, ia lahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren. Tetapi gelar sebagai Panglima Santri belum layak disandangnya, kenapa? Karena ia lebih banyak diam saat intoleransi dan radikalisme marak di negeri ini. Sebagai ‘tokoh’ santri yang mempunyai kekuatan politik dan dukungan sosial, harusnya Cak Imin lebih berani untuk menghadapi gerombolan pengacau tersebut, tidak hanya beretorika di media dan mencari aman saja.
Cak Imin bukan Harga Mati
Dalam survey terbaru yang dirilis Lingkaran Survey Indonesia tentang figur cawapres yang mempunyai daya tarik agama, popularitas Cak Imin menempati posisi pertama dibandingkan tokoh lainnya seperti Muhammad Romahurmuzy, Shohibul Iman, M Zaiunul Majdi dan Zulkifli Hasan. Sentimen agama dan identitas dipastikan akan berlanjut pada pilpres 2019, untuk itu mengambil tokoh Islam sebagai cawapres adalah salah satu opsi untuk menghentikan kegaduhann politik berkepanjangan bagi para capres.
Meski menempati posisi teratas survey cawapres dari kalangan Islam, menjadikan Cak Imin sebagai cawapres sangat beresiko. Integritas dan rekam jejak Cak Imin yang masih bermasalah akan menjadi beban capres yang memilihnya, alih alih mendapatkan suara justru akan tergerus dan jeblok. Akan lebih bijak ketika posisi Cak Imin di belakang layar, dan memberikan dukungan kepada tokoh yang lebih baik dan berintegritas.
Tokoh dari kalangan Islam seperti Mahfud MD atau Yenny Wahid bisa menjadi alternatif pilihan, kedua tokoh ini mempunyai integritas, bersih dan bisa diterima semua kalangan, Cak Imin bisa mendorong dan memberikan dukungan untuk kedua tokoh ini maju sebagai cawapres. Jadi, Cak Imin itu bukan harga mati.