Buya Syafii Maarif adalah salah satu guru terbaik saya, meskipun beliau sendiri tidak akan merasa bahwa saya adalah muridnya. Ya, saya berguru pada Buya hanya melalui buku-buku yang ia tulis, dan ceramah-ceramah yang pernah ia lakukan di berbagai forum.

Saya sebenarnya berkesempatan untuk berguru langsung pada Buya, seperti beberapa teman aktivis di Jogja dulu yang sering menemui beliau. Buya terkenal sangat terbuka pada anak-anak muda yang sekedar ingin mengajak diskusi perkara agama, politik, maupun pergerakan. Kata beberapa senior, jika ingin berbincang dengan Buya, pergilah Sholat Subuh, Maghrib, atau Isya berjamaah di Mesjid daerah Nogotirto tempat tinggal Buya, Insya Allah kita bisa bertemu dengan beliau dan berbincang-bincang beberapa saat. Namun tak jarang pula senior yang sowan langsung ke rumah Buya, dan diterima dengan ramah.

            Saya sebenarnya punya pilihan untuk melakukan hal tersebut, karena pernah lebih dari tujuh tahun tinggal di Jogja. Tapi itu tak pernah saya lakukan, karena saya agak gagap dalam membangun hubungan interpersonal, wabilkhusus dalam perkara mengambil hati orang tua. Namun bukan berarti sama sekali saya tak pernah berjumpa langsung dengan Buya. Seperti yang sudah saya singgung di atas, setidaknya saya pernah mengikuti ceramah-ceramah beliau. Dan sebagai mantan aktivis Muhammadiyah, saya pun pernah menjadi panitia acara yang menghadirkan Buya. Beliau menjadi pembicara, dan saya adalah orang yang membukan pintu ketika beliau akan masuk gedung, atau ketika beliau akan dijamu makan siang.

            Ketertarikan saya pada pemikiran Buya sebenarnya berawal dari sebuah alasan yang lumayan “dangkal”: Primordialisme. Saya tahu Buya adalah anak Minang yang malang melintang di rantau. Saya juga tahu bahwa Buya pernah menjadi santri Madrasah Mualimin Muhammadiyah di Lintau Buo selama tiga tahun. Kebetulan Lintau Buo adalah daerah asal kedua kedua orang tua saya, tempat saya pulang setiap kali momen hari raya Idul Fitri. Dan kemudian saya juga tahu bahwa Buya berasal dari suku Caniago, suku yang sama dengan saya. Kesamaan kampung dan suku inilah kemudian yang membuat saya tertarik untuk lebih jauh mengenal Buya Syafii Maarif.

            Setidaknya ada dua buku Buya yang masih ada di koleksi saya hingga hari ini. Yaitu “Islam Dalam Bingkai Keindonesian dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah”, dan autobiografi “Titik-Titik Kisar Di Perjalananku”. Buku pertama adalah satu-satunya buku bertemakan Islam yang benar-benar saya baca sampai tuntas tanpa melompat-lompat halaman. Betapa motivasi primordialisme berhasil membuat saya melakukan hal-hal tertentu.

Buku tersebut juga berhasil membuka mata saya tentang indah dan damainya Islam. Walaupun tetap menekankan misi dakwah Islam, namun buku tersebut tak sedikitpun membawa gerak-gerak paksaan apalagi kekerasan. Laa Ikraha fiddin bunyi surat Al Baqarah ayat 256, “Tiada paksaan dalam beragama”. Ahabbu al-din ila Allah al-hanifiyyah al-samhah bunyi salah satu hadis dari Ibn Syaibah dan Bukhari: “Agama yang paling dicintai Allah adalah ajaran yang lurus-toleran”.

Dari buku Buya ini saya mulai memahami bahwa ajaran Islam harus disebarkan dan ditegakkan melalui tauladan dan jalan-jalan damai, bukan melalui paksaan, apalagi kekerasan. Tetapi ini hanyalah hasil pemahaman saya yang ilmu dan imannya masih sangat dangkal.

Buku ini sangat saya anjurkan untuk dibaca sebagai upaya memahami konsep kehidupan Islam yang cocok dengan Indonesia. Belakangan saya tahu, bahwa bukan dimensi primordialisme yang memotivasi saya membaca buku ini, melainkan penggunaan perspektif sejarah Islam dan sejarah Nusantara-nya yang sangat jernih. Apalagi bahasa Buya yang sangat renyah, lugas dan mengalir, membuat buku ini gampang dipahami siapapun.

            Buku kedua Buya lebih membekas lagi dalam hidup saya. Jika buku pertama sudah bertahun-tahun tidak saya sentuh lagi, buku kedua ini adalah salah satu buku yang sangat sering saya bawa bepergian ke luar kota sebagai teman untuk dibaca. Dari buku ini saya tahu bahwa Buya memilik perjalanan hidup yang sangat rumit. Perjalanan hidup Buya benar-benar membuat manusia perantau seperti saya merasa tegar dalam menghadapi tantangan-tantangan. Di usia remaja, Buya sudah nyantri ke Jogjakarta, lalu mengabdi bertahun-tahun di Lombok dan Baturetno, bersekolah lagi di Solo, hingga melanjutkan kuliah ke Amerika Serikat.

            Buya adalah tipikal manusia petarung yang hidupnya sederhana. Bayangkan, seorang dosen yang sudah 3 kali bersekolah di negeri Paman Sam, baru di usia 50 tahun mampu membeli sebuah rumah sederhana melalui cicilan KPR. Buya juga baru mampu membeli mobil setahun kemudian, itupun hanya sebuah mobil pick-up tua, yang uang pembeliannya didapat dari honor sebagai dosen tamu selama 100 hari di Universitas Iowa.

            Keterbatasan harta biasanya membuat orang minder, terutama dalam menyampaikan pendapat dan kritik. Tapi ini tidak berlaku bagi Buya. Kesederhanaannya tidak membuat Buya menghamba pada kekuasaan. Buya banyak sekali bercerita bagaimana beliau mengkritik Rektor dan pejabat-pejabat yang sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaannya. Setidaknya saya mencatat ada banyak kalimat berikut ini di dalam autobiografinya: “Aku diajarkan Muhammadiyah untuk tidak takut kepada sesuatu selain ALLAH. Aku ingin tetap bersikap sebagai manusia merdeka berhadapan dengan siapapun”.

Buya menggunakan kalimat ini tiap kali menjelaskan mengapa ia tak takut menghadapi Profesor, Pejabat, Tokoh, bahkan seorang Presiden. Maka ini relevan dengan kesaksian Zen RS dalam sebuah artiklenya beberapa waktu lalu, bahwa Buya kerapkali mengutip kata-kata Bung Hatta yang ditujukan pada Tan Malaka “Tulang punggungnya terlalu keras untuk membungkuk di hadapan siapapun”. Dan mas Zen mengira bahwa Buya sedang berbicara tentang dirinya sendiri.

            Dari kedua buku Buya di atas, saya juga tahu bahwa beliau memiliki beberapa pandangan progresif terhadap beberapa tafsiran kajian Islam. Dari mulai konsep Negara Islam yang dianggapnya sebagai proyek yang serba mewah, hingga persoalan maraknya fundamentalisme agama.

Bagi buya, sebutan negara Islam tidak diperlukan lagi. Tetapi bahwa moral Islam harus menyinari masyarakat luas adalah sebuah keniscayaan. Perangkat hukum Islam dapat dikawinkan dengan sistem hukum nasional melalui proses demokratisasi. Beliau sering mengutip ungkpan Bung Hatta: “Janganlah gunakan filsafat gincu, tampak tetapi tak terasa; pakailah filsafat garam, tak tampak tapi terasa”.

Buya tak rela Islam sering digunakan untuk tangga mendapatkan keuntungan duniawi yang rendahan. Baginya Islam adalah pedoman maha sempurna. Itulah mengapa Buya pernah berpuisi pada Sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar 2002: “Politik mengatakan: si A adalah kawan, si B adalah lawan. Da’wah mengkoreksi: si A adalah kawan, si B adalah sahabat. Politik cenderung berpecah dan memecah, Da’wah merangkul dan mempersatukan”.

Dari puisi tersebut saya juga tahu bahwa Buya memang tidak tergoda terjun ke dunia politik, padahal sahabat-sahabatnya sangat banyak yang menjadi politisi handal. Sampai saat ini, Buya istiqomah di dunia dakwah dan pemberdayaan masyarakat.

Buya juga memiliki pandangan progresif mengenai pemimpin perempuan. Baginya yang membedakan manusia hanyalah ketaqwaan terhadap Allah SWT. Seorang Muslim laki-laki dan perempuan yang bertaqwa dijamin untuk meraih kemuliaan di sisi Allah, asal diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Posisi pemimpin formal (laki-laki atau perempuan) akan menjadi mulia di mata rakyat jika ia bertaqwa, menegakkan keadilan, serta bekerja keras untuk menciptakan kemakmuran bersama.

Selain perkara kekuasaan seperti di atas, Buya juga memiliki pandangan progresif mengenai pernikahan. Baginya sistem monogami sudah final. Walupun Surat Al-Nisa ayat 3 terkesan membolehkan Poligami, tetapi kesan itu akan runtuh dengan menghubungkannya dengan ayat 129 yang mengatakan bahwa keadilan itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Bagi Buya, pernikahan dalam Islam adalah Monogomi, sedangkan pintu Poligami tertutup kecuali dalam kasus-kasus yang sangat darurat.

Begitulah Buya Syafii Maarif. Dengan tafsirnya yang sangat progresif, maka wajarlah bila ia kerap dikatakan sebagai muslim hasil didikan asing/barat, antek liberal dan bahkan dikatakan sebagai seorang sekuler. Munculnya tuduhan-tuduhan seperti ini sangat disadari oleh Buya. Dan di dalam autobiografinya kerap kali ia singgung. Ia beberapa kali berkomentar “Tuduhan-tuduhan seperti itu jarang sekali aku tanggapi, sebab hanya menguras energi dan sebuah kesia-siaan. Biarlah sejarah nanti yang “mengadiliku”, sekiranya aku telah menyimpang dari Islam sebagaimana yang aku yakini sepenuh hati”.

Dari sini, ditambah dengan ragam polemik yang pernah dihadapi Buya, serta prinsip beliau untuk tidak takut terhadap apapun selain Allah, telah membuat saya merasa Buya tidak perlu dibela dari beragam cercaan dan hinaan yang belakangan banyak menimpa beliau. Buya adalah guru yang tangguh, yang tidak akan gentar menghadapi apapun. Beliau memgegang teguh komitmennya terhadap Islam yang inklusif, sangat sadar atas apa yang ia lakukan, dan tahu bagaimana resiko yang akan dihadapinya.

Dan yang saya lakukan melalui tulisan ini adalah layaknya apa yang biasa saya lakukan terhadap orang-orang tercinta yang pernah terkena fitnah. Ketimbang saya melakukan tindak pembalasan (apalagi kekerasan) kepada para pemfitnah tersebut, lebih baik saya menyiarkan kebaikan orang-orang yang saya cintai tadi. Biar seluruh dunia tahu, bahwa orang yang saya cintai ini adalah orang yang luar biasa yang sedang tertimpa fitnah. Hal ini barangkali perlahan akan meredakan, dan memunculkan obyektifitas pandangan.

Dan di akhir tulisan ini, saya akan mengutipkan kata-kata buya di akhir autobiografinya sebagai bentuk teropong untuk melihat komitmen buya atas semua lisan dan perbuatannya akhir-akhir ini:

”Dalam usia yang sudah larut ini, agenda utamaku adalah turut berbuat sesuatu, betapapun kecilnya, agar Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara tetap utuh, tidak terkoyak oleh berbagai kepentingan politik jangka pendek yang tidak sehat”.

Tetaplah sehat dan tegar, guru bangsa!