Biarpun seseorang menghabiskan waktu bertahun-tahun belajar di sekolah dan universitas, jika hanya menerima deposito pendidikan untuk menjinakkannya, maka secara politis mereka masih tergolong “buta huruf”. (Paulo Freire, 1921-1997)
Berbicara tentang ide-ide revolusi dalam pendidikan, tentu kita tidak mungkin alpa dengan nama Paulo Freire. Seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Brazil ini, mengukir namanya dalam gagang pintu saat orang berbicara pedagogi kritis. Seperti tak ada pembicaraan pedagogi krits tanpa mengingatnya, seperti halnya membincangkan kapitalisme, sulit rasanya untuk tidak membincangkan Karl Marx.
Perjalanan hidup Freire yang berliku setelah kelahirannya di Reciefe (1921), mempengaruhi lahirnya pikiran-pikiran otentik dan revolusionernya dalam bidang pendidikan. Berkabung dengan kemiskinan (pasca depresi 1929) dan hidup di lingkungan miskin, terinternalisasi secara ideologi tersendiri akan ide-ide keberpihakannya kepada kaum kecil. Disini menjadi relevan untuk mengatakan, bahwa ideologi yang kuat lahir dari proses kehidupan itu sendiri: merasakan dan refleksi.
Dari sekolah kehidupanlah, Freire merumuskan ide-ide pendidikannya yang berwatak pembebasan. Sebagai seorang guru, dengan optimisme yang tinggi, ia meletakkan pendidikan sebagai roda yang harus mempercepat perubahan sosial. Karena itu, ia sangat menentang sistem pendidikan tradisional yang dianggapnya hanya memperlambat perubahan, memperkukuh status quo penindasan.
Tak pernah terpikirkan, lembaga pendidikan yang disucikan dari berbagai aspek itu, tiba-tiba dituduh sebagai perangkat yang menindas. Freire berbicara banyak bagaimana pendidikan pada kenyataannya menjadi alat penindasan oleh segelintir orang. Pendidikan yang terpisah dari persoalan keseharian manusia, hanya hadir untuk melegitimasi dan memproduksi suatu kesadaran naif. Yang ujung-ujungnya hanya menyuplai energi baru langgengnya suatu sistem sosial yang menindas. Pendidikan menjadi realitas yang tidak bebas nilai dalam konteks ini.
Budaya bisu dan pembisuan
Realitas adalah dasar untuk merumuskan konsep untuk kembali ke realitas itu sendiri. Begitulah kira-kira cara Freire merumuskan idenya. Subjek keberadaannya yang berpikir berdialektika dengan realitas yang terkonsepsi. Dari realitas kembali ke realitas. Konsep ini sangat mirip dengan konsep sekolah kerakyatannya Tan Malaka; pendidikan dari rakyat untuk rakyat, untuk pembebasan.
Freire sendiri merumuskan gagasannya itu bertumpu pada pengalamannya. Dalam pengamatannya dari kehidupan masyarakat Brazil saat itu yang sangat terkungkung budaya paternalisme, Freire menemukan adanya budaya naif dalam masyarakat, suatu proses budaya yang menciptakan budaya bisu. Dengan terbaginya masyarakat dalam hirarki yang akut, ia melihat hubungan budak dan mandor sekalipun terpola dalam budaya diam dan tertindas, dimana tidak ada dialog di antara mereka dengan para tuan tanah, kalangan elit, dan pemerintah dalam konteks untuk bertanya sekalipun. Dinamika kehidupan hanya menjadi milik elit. Menyisakan sikap fatalisme dan kepasifan para budak, petani dan orang-orang kecil lainnya.
Freire mencoba menarik garis pemahaman atas realitas tersebut, hingga sampai pada suatu kesimpulan, bahwa isu-isu alienasi (keterasingan), dominasi, dan penindasan pada tataran sosial bertendensi kuat dengan budaya bisu masyarakat. Budaya bisu tidak lahir begitu saja, tetapi melibatkan proses kerja struktur kekuasaan dan elit. Atau lebih tepatnya disebut terjadi proses pembisuan. Salah satunya lewat sistem pendidikan yang fatalistik yang ikut melegitimasi dan mengkondisikan suatu dominasi sosial terbentuk dan bertahan.
Karena itu, Freire menempatkan pendidikan sebagai alat yang harus menjalankan fungsi pembebasan dari budaya bisu tersebut. Pembebasan praksis struktur sosial harus berangkat dari pembebasan di tingkat kesadaran, kata Freire. Masyakat harus melangkah secara kolektif dari kesadaran paling magic, naif menuju tingkat kesadaran kritis. Namun, kesadaran kritis yang dimaksud, bukanlah sesuatu yang terberi dan diberikan, ia hanya bisa lahir dari proses pendidikan yang berkarakter emansipasi, yang berproses dalam rupa untuk “menemukan”. Ia mendefinisikan proses itu sebagai concietizacau atau proses “menyadari”.
Melek huruf melek politik
Freire mencoba meramu pendidikan kerakyatannya ini ke masyarakat petani dan buruh buta huruf saat itu, mengingat Brazil dan beberapa daerah eksprimennya memperlihatkan tingkat buta huruf yang cukup tinggi. Selain itu realitas ‘’buta huruf sinkron dengan buta politik’’, memang melanda masyarakat saat itu. Jadi, terdapat pertautan antara hak-hak pendidikan yang dikebiri dengan hak-hak politik yang dkebiri. Di Brazil sendiri saat itu, masyarakat buta huruf tidak diperkenankan ikut dalam pemlihan politik. Karena itu dari 34,5 juta jiwa penduduk Brazil saat itu, diperkirakan hanya 15,5 juta jiwa saja yang memiliki hak suara.
Berangkat dari pemahaman atas realitas yang utuh, Freire melihat dimensi manusia sebagai makhluk politik dalam konteks tersebut. Manusia adalah episentrum, ia tidak bisa dipisah dari pendidikan itu sendiri, sebab pendidikan yang membebaskan harus menempatkan manusia sebagai subjek pendidikan itu sendiri. Hal itu sebagai antitesa atas realitas pendidikan tradisional yang terus memposisikan manusia sebagai objek. Upaya untuk menjadikan manusia sebagi subjek yang berkesadaran inilah yang ia sebut sebagai proses humanisasi pendidikan.
Dalam proses pendidikan yang diperkenalkan, Freire menolak segala bentuk pemusatan otoritas dalam pendidikan. Ia mengedepankan dialog sebagai alternatif. Yang populer dikenal dengan istilah metode dialogis. Dialog dalam memperhadap-hadapkan manusia dengan persoalan kesehariannya hingga ke persoalan sosial politik lainnya.
Bagi Freire, upaya untuk memperkenalkan huruf dan kalimat dalam struktur baca, adalah sama halnya sebagai upaya untuk memperkenalkan hal-hal politis lainnya. Tidak ada keterpisahan di antaranya: melek baca adalah melek politik itu sendiri. Karena itu dengan nada satire, Freire menyebut mereka yang pernah belajar baik di sekolah maupun di universitas, yang hanya pandai melafalkan kata, tapi buta dengan kehidupan politik, adalah buta huruf itu sendiri.
Kalau belajar hanya untuk bisa mengenal huruf dan membaca huruf, tentu burung beo pun bisa ketika dilatih. Freire kembali menegaskan bahwa kita behadapan dengan makhluk yang bernama manusia saat kita belajar. Belajar adalah proses investigasi kenyataan, untuk didorong di tingkat perubahan sosial. Karena itu belajar adalah proses mengenali persoalan-persoalan kehidupan, ditelah dengan cara-cara yang kritis. Mengenal huruf adalah selaras dengan pengenalan kita tentang persoalan-persoalan kita, hingga hak-hak politik kita.
Di tingkat operasional, Freire menggunakan dan memperkenalkan kata-kata generatif untuk proses pengentasan buta huruf tersebut. Kata-kata generatif yang dimaksud disini adalah kata-kata yang mewakili kehidupan keseharian para petani buta huruf tersebut. Kata-kata yang merepresentasikan situasi dan kondisi hidup sekelilingnya, seperti kelaparan, kemiskinan, penindasan, kesehatan, pendidikan, kumuh, dll.
Realitas
Sebagai tokoh dunia, mewakili pikiran-pikirannya yang menglobal, ide-ide Freire masih sangat relevan hingga saat ini, pun tak terkecuali di Indonesia sendiri. Meski demikian di Indonesia sendiri, gagasan Freire lebih lazim dijumpai pada gerakan-gerakan sipil yang mendaraskan diri pada pikiran Freire, seperti ide-ide sekolah kerakyatan, sekolah pembebasan, sekolah alternatif, dan lain sebagainya.
Sekolah-sekolah alternatif, sebenarnya adalah sebuh antitesa atas sekolah formal yang ada yang dianggap gagal memanusiakan manusia sebagai manusia, selain sekadar meniupkan kesadaran pasar dan kapital. Karena itulah perubahan ke arah nilai-nilai kemanusiaan seperti persamaan, kebebasan, kesetaraan, keadilan, agak sulit untuk disemai di sekolah-sekolah formal yang sudah terlanjur terkontaminasi kepentingan elit dan industri. Di sekolah formal pembicaraan-pembicaraan tentang keadilan, ketertindasan, kemiskinan, menjadi tidak menarik dan tidak relevan.
Pasca era Soekarno, hingga saat ini kondisi “buta huruf” melanda pendidikan kita bertahun-tahun lamanya. Pendidikan makin kehilangan arah dan orientasi ideologisnya yang membebaskan. Pendidikan yang hipokrit dan berorientasi pasar, membuat semua orang yang terlibat di dalamnya menjadi “buta huruf”. Guru ataupun dosen, hanya menjadi pihak pentransfer tata cara baca yang kaku dengan kekuasaan otoritasnya. Dalam konteksnya gagal memperdekatkan realitas kehidupan itu sendiri secara kritis dalam ruang-ruang belajar.
Ada proses keterpisahan yang sangat nyata, antara sekolah dan realitas kehidupan masyarakat, bahkan kadang-kadang muncul secara kontradiktif. Sekolah yang melangit ini seperti mengalami kesulitan untuk membumi. Ide-ide yang lahir sekalipun, tidak memiliki sisi aksiologis dengan kebutuhan rakyat kecil misalnya. Berbeda dengan sekolah-sekolah revolusioner yang pernah digagas oleh pendiri bangsa seperti Tan Malaka.
Dari pola yang berbeda, ide-ide lahir dari analisas dan kehidupan rakyat kecil, sedangkan sekolah yang ada saat ini ide-ide lahir dari tuntutan pasar yang tidak peduli dengan rakyat kecil. Bahkan tidak sedikit berakhir memunggungi bahkan menjadi bakteri bagi kehidupan rakyat kecil itu sendiri pada kenyataannya.
Di tingkat sekolah-sekolah pinggiran, yang dihuni kelas masyarakat kecil, ide-ide menjadi sesuatu yang didiktekan melumpuhkan nalar untuk berpikir. Ide-ide yang diajarkan menjadi sesuatu yang asing, dipaksakan untuk diterima, hingga akhirnya hanya mengasingkan manusia dari kehidupannya.
Seorang anak yang hidup di gubuk, dari keluarga buruh tani, justru diajar menulis cerita dengan judul “Ayah pergi ke kantor" atau "Keluargaku Berlibur ke pantai", dll. Tuntutan kurikulum, dan penyeragaman buku dan kurikulum hingga pengstandardisasian nilai, hadir sebagai konsep yang mengalienasi kesadaran pelajar dan masyarakat itu sendri. Dalam konteks ini pendidikan seperti ini menjadi sangat tidak manusiawi untuk bisa disebut pendidikan.
Sekolah terus mengasingkan pelajar dari kehidupannya. Mendeterminasinya dengan suatu habitus yang tak lahir dari kehidupannya. Memaksakan suatu kultur elit, seolah-olah menjadi satu-satunya jalan hidup yang beradab. Upaya untuk mengadabkan ini, sebenarnya adalah suatu cara pandang kolonial yang menjadi parasit di tubuh pendidikan kita. Upaya-upaya untuk mensegregasi kultur hidup rakyat kecil, yang dianggap kurang beruntung, malas dan sejenisnya. Pendidikan seperti ini terus berjalan dengan karakternya, yang lagi-lagi antikemajemukan.
Karena itu pikiran-pikiran Freire ini, sangat relevan untuk terus ditelaah. Di tengah situasi bahwa kita terus berada dalam zona “buta huruf” yang akut hari ini. Bukan hanya pelajar, masyarakat, dan para pendidik sekalipun mengidap penyakit “buta huruf” ini. Buta huruf yang merupakan buta realitas itu sendiri terus menghantui sendi-sendi pendidikan yang berjalan saat ini!