Berbicara mengenai pelayanan maskapai penerbangan di Indonesia memang tak ada habisnya. Potret buram mengenai pelayanan, khususnya dalam manajemen waktu dan tingkat kedisiplinan yang masih minim, sering membuat kita geleng-geleng kepala dan heran.
Betapa banyaknya kasus penumpang yang terlantar di bandara tanpa ada kepastian dari pihak maskapai yang bersangkutan. Kalau pun ada penjelasan, pasti sifatnya normatif. Alasan paling sering adalah, pesawat mengalami gangguan teknis, sehingga kedatangannya sering molor dari jadwal yang telah ditentukan.
Beberapa waktu yang lalu, kita juga sempat dihebohkan oleh pilot salah satu maskapai penerbangan yang ngawur dan hendak menerbangkan pesawat dalam kondisi setengah mabuk. Aneh bin ajaib, memang!
Saya rasa, ini hanya terjadi di Indonesia. Bagaimana bisa seorang pilot mengemudikan pesawat terbang dengan kondisi setengah sadar. Benar-benar membahayakan keselamatan para penumpang. Ingat bro, yang dibawa itu orang lho, bukan boneka Barbie!
Lagi-lagi, kenyamanan konsumen terganggu. Sebagai konsumen, kita sejatinya memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang maksimal. Bukan sekadar mendapat salam, senyum dan sapa dari para pramugari maskapai saja. Hal yang paling penting justru terkait dengan ketepatan waktu yang dijanjikan. Kita pun sebagai penumpang berusaha disiplin untuk mematuhi setiap peraturan yang diberikan pihak maskapai.
Tapi apa mau dikata, kita sebagai penumpang terkadang hanya bisa bergumam sambil kecewa. Jika maskapai melakukan kesalahan, kita hanya bisa permisif dan menerima setiap penjelasan dengan tenang, yang penting kita sampai ke tujuan. Namun, jika penumpang yang melakukan kesalahan, aturan maskapai dengan sigap ditegakkan dan segala resiko harus ditanggung oleh penumpang.
Beberapa waktu lalu, teman saya datang 30 menit sebelum pesawat diberangkatkan. Namun, pihak maskpai tidak menolerir dan tidak bersedia melayaninya karena sudah terlambat 15 menit (katanya). Ya, begitulah bentuk disiplin maskapai di Indonesia.
Sejatinya, antara pemberi jasa dan penerima jasa minimal posisinya sama dan setara. Namun kenyataannya, konsumen seringkali diharuskan untuk memaklumi segala kekurangan atau kesalahan maskapai, tapi tidak berlaku sebaliknya.
Saya rasa, dalam berbagai kasus, pelayanan maskapai di Indonesia memang masih jauh dari kata maksimal, baik pesawat yang berwarna merah maupun yang berwarna hijau. Kalau molor, bukan main. Gak asyik!
Saya menulis curhatan ini karena merasa kurang nyaman dengan pelayanan maskapai penerbagan kita saat ini. Saya mengalami bukan satu atau dua kali. Bahkan untuk menempuh Yogyakarta-Padang, (Kamis, 5 Januari 2017 nanti), saya harus menghabiskan waktu selama 14 jam. Wow!
Bertolak dari Yogyakarta menuju Jakarta pukul 06.00 WIB dan diperkirakan sampai di Jakarta pukul 07.00 WIB. Yang ajaib adalah, saya harus menunggu pesawat yang berangkat dari Jakarta ke Padang pukul 19.30 WIB dari jadwal sebelumnya pukul 11.00 WIB. Sepertinya menjadi gembel di bandara akan terulang kembali. Luar biasa, memang!
Secara pribadi, saya kurang nyaman dengan hal seperti ini. Jika memang aturannya dari awal demikian, saya legowo untuk menerimanya. Namun yang aneh adalah, adanya klarifikasi dadakan yang mencerminkan ketidakmatangan maskapai dalam menyusun seluruh jadwal penerbangan.
Kemungkinan lainnya, estimasi waktu yang ditawarkan hanya dijadikan sebagai bahan promosi untuk menarik penumpang. Jika sudah dipilih dan tidak bisa dilaksanakan, tinggal ganti jadwal. (Gitu aja kok repot!)
Soalnya, waktu pembelian tiket tersebut saya melihat estimasi waktu yang ditawarkan untuk sampai ke tujuan memang lebih singkat dibandingkan dengan maskpai yang lain. Jika maskapai merah estimasi waktu transit berada pada kisaran 8-9 jam, maskapai hijau hanya dengan waktu 4 jam dengan harga yang tidak jauh berbeda.
Saya rasa, hampir semua orang di Republik ini juga akan memilih estimasi waktu perjalanan yang singkat, makanya dengan bangga saya mengambil maskapai hijau untuk keberangkatan. Namun sayang seribu sayang, tiket sudah dibeli, klarifikasi pun datang dengan bahasa yang santun:
"Maaf, penerbangan Anda dialihakan dengan keberangkatan jam 19.30, karena gangguan operasional. Terima kasih.” Kira-kira itulah pesan yang sampai ke ponsel saya setelah melakukan pembayaran tiket.
Ajaib memang, jadwal penerbangan yang tentatif.
Untuk beberapa kondisi, mungkin kita bisa memakluminya. Namun dengan alasan faktor operasional yang tidak dijabarkan detailnya, saya sebagai konsumen hanya bisa geleng-geleng kepala saja. Sementara itu, mau dibatalkan pun tidak mungkin. Sudah tak punya duit lagi untuk beli tiket. Maklum, mahasiswa, gitu lho.
Mau tidak mau, harus diterima meskipun sedikit kecewa karena kemungkinan sampai di Padang jam 21.00, dan sudah dipastikan tidak ada satu pun transportasi yang akan membawa saya ke kampung halaman, karena mobil terakhir yang biasa mengangkut penumpang sampai ke kampung saya berangkat jam 17.00. Solusi terbaik adalah kembali menggembel di bandara sampai pagi.
Harapan yang bisa kita panjatkan pada awal tahun baru ini adalah, mudah-mudahan pelayanan transportasi publik bisa terus dibenahi. Jangan sampai demi promosi dan komersialisasi jasa untuk mendapatkan benefit yang aduhai, konsumen yang lantas dikorbankan. Tapi, semuanya kembali pada prioritas maskapai, apakah mau memprioritaskan pelayanan atau fulus semata.
Sekali-kali mungkin kita bisa belajar banyak dari Jepang mengenai pelayanan transportasi publik. Coba Anda bayangkan, sepanjang sejarahnya, kereta Shinkansen di Jepang hanya mengalami keterlambatan paling lama 6 detik dari waktu yang telah ditentukan. Saya tidak bisa membayangkan jika keterlambatan kereta Shinkasen 10 jam, mungkin semua jajaran pengelola Shinkansen bunuh diri masal karena gagal dalam melayani penumpangnya.
Ya, itulah segenap cerita awal tahun yang kurang mengasyikan. Apalah daya, kita hanyalah mahasiswa biasa yang tak mungkin bisa protes karena alasan operasional.