Sebagai salah satu mantan korban gempa Palu tahun 2018 lalu, penulis merasa terusik dengan kondisi saat ini. Karena kondisi saat ini sangat memberikan nuansa nostalgia, wabah yang begitu mirip dengan bencana alam walaupun tak sepenuhnya alam.
Di saat situasi pasca bencana (dalam hal ini pasca gempa), tindakan moralis begitu sangat langka. Beruntung bagi penulis bisa melaluinya dan bertahan dengan selamat. Di saat itu sang penulis menemani sang istri dinas dengan kondisi lagi hamil lima bulan.
Keadaan mewabah saat ini begitu mengusik sehingga sang penulis selalu berpikir jalan terbaik apa yang harus dilakukan sebagai suatu negara besar. Jalan terbaik atau solusinya itu tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Sepulang dari Palu, sang penulis kembali pulang di kota Makassar. Respons dari teman-temannya malah bukan simpati walaupun tak semua merespons seperti itu, justru responsnya mewajarkan kematian para korban di sana. Katanya ada kaitannya dengan pesta pora, LGBT, dan seterusnya.
Memang tak dimungkiri saat itu adalah momen-momen penting bagi kota Palu karena pada waktu itu bertetapan dengan Hari Ulang Tahun kota Palu. Tapi bukan berarti kita memantaskan kematian para korban. Banyak dari mereka yang tidak berdosa.
Moralitas yang memantaskan ini sebenarnya muncul semasa pilpres dua tahun kemarin. Karena politiklah, moralitas kita menjadi seperti itu. Ini bukan persoalan simpati, baik ataupun buruk, melainkan menyoal kepentingan siapa yang mengatur moralitas kita. Baik itu terjadi secara sadar maupun tak sadar. Sialnya bagi mereka yang tak sadar.
Situasi seperti itu tidak jauh dari situasi saat ini. Kepentingan terselubung dan tersembunyi selalu saja menjadi patokan utama dalam bertindak. Bukannya itu hal yang lucu ketika kita membiarkan sikap kita seperti itu tanpa mencari tahu alasan mengapa kita seperti itu?
Dalam situasi mewabah ini memang dibutuhkan kerja sama yang tinggi. Tapi itu pun bisa terjadi ketika kita memiliki kesadaran yang tinggi, dan kebiasaan yang bagus. Ini tercermin pada masyarakat Jepang. Orang-orang asli di sana sangat bisa bekerja sama dengan pemerintahnya.
Mungkin karena budaya mereka yang telah lama membentuk kebiasaan sejak dini. Alhasilnya, rakyat dan pemerintah bisa akur.
Sebenarnya di beberapa wilayah di Indonesia juga memiliki hal yang serupa. Seperti Jogjakarta ataupun Bali. Budaya sangat memengaruhi kebiasaan-kebiasaan kita. Wilayah-wilayah tersebut bisa menjadi panutan kita. Tapi untuk merealisasikannya membutuhkan waktu yang cukup lama.
Jogja dan Bali memang memiliki sejarah yang begitu kental akan budayanya. Berbeda dengan kota-kota lainnya yang begitu kental nuansa kekotaannya.
Jadi moralitas itu tergantung pada kompas moral yang kita miliki. Dan sejarah sangat memengaruhi. Akan tetapi, di kehidupan kota, sulit untuk menebak moralitas seseorang. Itu dikarenakan terlalu banyak kepentingan-kepentingan politis yang bertabrakan.
Namun, kita mungkin harus mencari tahu motif seseorang yang sadar akan kepentingan politis ini. Apa yang mereka dapatkan ketika mereka mampu menggunakan moralitas sebagai penggerak kepentingannya? Buruk belum tentu buruk, kan? Lantas apa?
"Apa yang mereka dapatkan...?" sebenarnya mengisyaratkan bahwa ini hanya persoalan materi. Jadi yang lebih tepatnya adalah "keuntungan apa yang mereka dapatkan...?". Buruk tidak menjadi buruk jika membahas persoalan keuntungan.
Jadi ini bukan lagi persoalan moralitas baik dan buruk tapi tentang untung dan rugi semata. Di situasi genting seperti ini, justru ada yang memanfaatkannya demi keuntungan. Memang tak bisa diungkiri kita juga harus hidup untuk mencari penghidupan layak tapi bukan berarti kita harus mengeksploitasi hidup orang banyak dan bahkan, menelan korban jiwa.
Mungkin inilah alasan mengapa korupsi di negeri ini sangat susah ditaklukkan. Ditanam agar bisa menumbuhkan uang yang banyak daripada hanya ditumbuhi daun moralitas yang begitu naif dan polos. Inilah yang mungkin terjadi pada pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Jika ini persoalan baik dan buruknya sesuatu, itu sudah jelas hukuman yang diberikan pada pelakunya tidak hanya setahun penjara saja, melainkan hukuman yang seberat-beratnya.
Jadi ini bukan buruknya perilaku seseorang atau tidak melainkan seberapa untungnya bagi dia maupun orang-orang yang terkait. Ini memang tentang persoalan relasi internal. Sulit untuk orang awam menembus pemahaman yang benar-benar membawa kenyataannya.
Mungkin untuk sebagai penutup, penulis memiliki pengalaman yang mungkin unik. Ini masih terkait sewaktu di Palu. Sewaktu itu kami berdua (sang istri dan penulis) terpaksa harus mencari bantuan lain untuk bertahan hidup. Alhamdulillah, ada saja orang yang ingin menerima kami. Bahkan, mereka memberikan kami tempat tinggal di lapangan terbuka.
Awalnya penulis takut apakah orang-orang ini orang baik atau tidak. Namun, kebaikan mereka terbukti saat kami diantar ke bandara Mutiara Sis Al Jufri Palu. Mereka tak menerima uang yang kami berikan. Bahkan mereka memaksa untuk menolaknya. Padahal mereka sama-sama menderitanya dengan kami. Kami diantar dengan dua motor dengan meteran bensin yang hampir eror.