Sore hari kala itu, aku tengah menangis sambil memeluk guling hingga membuatnya basah oleh air mataku.
Entah untuk apa aku menangis, yang ku tahu hanyalah aku belum siap menerima terpaan dunia luar yang menyakitkan.
Bahkan aku sempat berpikir bahwa dunia terlalu kejam untuk manusia lemah sepertiku.
Ibu mengetuk pintu--mungkin karena khawatir saat melihat ku pulang dengan raut wajah suram--namun tidak ku buka karena aku belum siap bercerita padanya.
Aku butuh waktu untuk sendiri.
Setelah puas menumpahkan air mata pada guling kesayangan ku itu, aku memutuskan untuk mandi. Berharap air akan meluruhkan semua rasa lelahku.
"Naura. Sini nak, Ibu punya sesuatu buat kamu," ucap Ibu saat aku hendak memasuki dapur untuk mengambil minum.
Aku pun menghampirinya.
Ibu sedang melukis di ruang tengah, melukis memang kegemarannya sejak kecil.
"Apa Bu?" tanyaku seraya duduk disampingnya. Ibu menunjukan hasil lukisannya, terdapat
gambar bunga matahari yang cantik dengan langit berwarna jingga sebagai latar belakang lukisan tersebut.
"Cantik. Ini buat aku Bu?"
"Ya, Ibu harap kamu belajar dari bunga matahari ini."
"Maksud Ibu?"
"Nanti Ibu jelaskan, sekarang kamu ke kamar gih simpen lukisan ini baik-baik abis itu istirahat. Ibu tau kamu lagi capek."
Aku beranjak menuju kamar dengan pikiran yang bertanya-tanya, bahkan aku melupakan air minum yang menjadi tujuan utamaku saat keluar kamar.
Keesokan harinya saat aku terbangun aku terkejut ketika melihat jam dinding yang menunjukan pukul delapan pagi lebih lima belas menit.
Hari ini hari minggu, tapi Ibu biasanya tidak pernah membiarkanku tidur melewati pukul tujuh pagi walaupun di hari libur.
Rumah begitu sepi, biasanya dipagi hari Ibu selalu menyiram bunga-bunga kesayangannya di taman samping rumah.
Aku memeriksa taman tapi ternyata Ibu tidak ada di sana, kemudian aku memutuskan untuk memeriksanya dikamar, aku takut Ibu sedang sakit karena penyakitnya kambuh lagi.
Aku mengetuk pintu kamarnya tapi tidak ada sahutan dari dalam sana, aku bergegas mencari kunci cadangan dilaci yang berada di ruang tengah kemudian membuka kamar Ibu. Dugaan ku benar, Ibu sedang berbaring dikasur dengan wajah pucat.
"Bu, kita kerumah sakit ya?" Aku meletakan telapak tanganku dikening Ibu.
Aku sangat terkejut karena kening Ibu sangat dingin bahkan tidak ada nafas yang keluar dari lubang hidungnya.
Aku terpaku cukup lama sampai detik berikutnya air mataku jatuh tanpa izin.
Aku tidak percaya ini, Ibu pergi saat aku tidak bersamanya. Ibu pergi meninggalkanku sendirian di dunia ini.
Aku terus menggoyangkan tubuh Ibuku, berharap ia membuka matanya kembali dan memelukku erat.
Tuhan, aku belum siap untuk menghadapi dunia kejam ini sendirian. Hanya Ibu satu-satunya alasanku untuk tetap berlari mengejar mimpi saat banyak rintangan yang menghadang.
Hanya kebahagiaannya lah tujuan hidupku, lalu sekarang aku harus apa jika Ibu tiada? Jangan ambil Ibuku Tuhan, aku sungguh tidak siap.
Seminggu sudah berlalu semenjak kematian Ibuku, sudah seminggu pula aku tinggal dirumah Ayah dan Istrinya.
Ibu dan Ayah sudah bercerai dua tahun yang lalu, tepatnya saat aku baru saja lulus SMP.
Setelah perceraian itu sifat ku sedikit berubah dari aku yang periang menjadi lebih pendiam dan menutup diri, aku juga sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman-teman sekolahku.
Awalnya aku tidak peduli apapun yang mereka nilai tentangku, tapi seiring berjalannya waktu aku mulai jengah.
Aku kesal mendengar hinaan mereka yang sebagian besar tidak sesuai fakta, aku juga bosan harus selalu membersihkan mejaku yang selalu dipenuhi sampah saat aku tiba dikelas.
Aku tidak tahu apa kesalahan ku pada mereka sehingga mereka melakukan itu semua padaku, setiap aku bertanya pada mereka yang kudapat bukan jawaban melainkan hinaan.
Dan yang membuatku semakin merasa tersisihkan adalah tidak ada satupun yang mau berteman denganku disekolah, setiap kali aku menghampiri mereka selalu menghindar.
Alasannya klise, karena aku korban buli dan mereka tidak mau ikut dibuli jika berteman denganku.
"Sarah, besok sekolah ya? Udah seminggu loh kamu gak sekolah."
Ayah mengelus rambut panjangku.
Ayah benar sudah seminggu aku tidak sekolah, jangankan pergi sekolah keluar kamar pun tidak pernah.
Dengan terpaksa aku mengangguk.
"Ayah. Boleh gak aku pulang ke rumah?" tanyaku kemudian.
"Loh, ini kan udah dirumah sayang."
"Maksud aku... aku pengen pulang ke rumah yang dulu."
"Mau ngapain?"
"Loh, ini kan udah dirumah sayang."
"Maksud aku... aku pengen pulang ke rumah yang dulu."
"Mau ngapain?"
"Sebentar kok Yah. Aku mau ngambil lukisan yang pernah Ibu kasih."
"Yaudah besok dianter sama supir ya? Ayah sibuk soalnya."
Aku menghela nafas. "Ya," jawabku datar. Itulah yang tidak ku suka dari Ayah, terlalu
sibuk.
Selama seminggu ini Ayah tidak pernah mengobrol lama denganku, ia lebih memilih pekerjaannya ketimbang menghiburku yang tengah bersedih karena kepergian Ibu.
Tapi aku sadar, aku tidak boleh egois karena sekarang Ayah punya keluarga baru yang harus ia penuhi kebutuhannya.
Esok hari yang kutunggu pun tiba, saat ini aku sedang menatap lukisan yang Ibu berikan tempo hari.
Aku juga sangat mengingat perkataannya waktu itu, ia menyuruhku belajar dari bunga matahari dan sampai saat ini aku masih tidak faham apa maksudnya.
Aku membawa lukisan itu keluar kamar, saat hendak menuruni tangga mataku tertuju pada pintu kamar Ibu.
Entah mengapa aku merasa harus masuk kedalam sana, akupun mengikuti kata hatiku dan mulai membuka pintu kamar.
Air mataku berjatuhan seiring langkah yang membawaku masuk kedalam kamar wanita yang seminggu ini sangat kurindukan.
Aku duduk di tepi kasur, mencium rakus aroma Ibu yang masih tersisa di kamar itu.
Setelah lama duduk aku membaringkan tubuhku kemudian tertidur, tak peduli dengan Pak supir yang sedang menungguku di luar rumah.
Tak berapa lama aku tidur, aku terusik oleh suara ketukan pintu.
Aku terbangun dan duduk dengan mata yang masih terpejam.
"Naura bangun nak! Buka pintunya! Ini udah jam delapan lebih lima belas menit loh. Gak biasanya kamu susah dibangunin."
Terdengar teriakan Ibu dari balik pintu.
Tunggu... Ibu?
Aku membuka mata dan secepat kilat berlari menuju pintu lalu membukanya, Ibu berdiri diambang pintu dengan wajah kesal.
"Kamu ini gimana sih? Ibu bangunin dari jam tujuh loh."
Aku tersenyum mendengar Omelan nya--omelan khas yang kurindukan--kemudian memeluk tubuh ringkih itu.
"Ibu jangan pernah tinggalin aku lagi ya, aku takut sendirian."
"Loh, Ibu gak pergi kemana-mana tuh, dari tadi Ibu berusaha bangunin kamu yang kebo ini."
Ibu menjitak keningku dengan ekspresi gemas.
Aku merasa bingung tapi sudahlah yang terpenting Ibu kembali.
Seminggu yang kujalani itu ternyata hanya mimpi dan aku bersyukur karena itu.
"Bu... tolong jelasin maksud Ibu yang semalem ya."
"Yang bunga matahari itu?"
"Iya."
"Yaudah sini duduk dulu dan Ibu akan jelaskan."
Kami berdua pun duduk di atas kasurku yang masih berantakan dan Ibu menjelaskan tentang aku yang harus belajar dari bunga matahari.
Hari itu aku merubah penilaian ku tentang dunia dan aku bertekad untuk tetap mengejar mimpiku apapun yang terjadi di suatu hari. Aku akan buktikan pada dunia bahwa aku bukan manusia lemah yang mudah menyerah.
Kamu tahu apa yang Ibuku maksud dari bunga matahari itu? Ibu bilang bunga matahari berputar mengikuti arah cahaya matahari yang menjadi sumber energinya, tapi ketika cahaya matahari redup karena terhalang awan bukan berarti bunga matahari juga ikut redup.
Bunga matahari akan memancarkan energinya sendiri untuk tetap bersinar dan bermekaran sampai cahaya matahari kembali menyinarinya.
Begitupun dengan hidup, saat aku kehilangan sesuatu yang membuatku semangat bukan berarti semangat ku harus ikut redup saat itu juga.
Aku harus tetap menjalani hidup dengan semangatku sendiri, aku harus tetap bercahaya dengan cahaya ku sendiri agar dunia tidak punya kesempatan untuk menghina dan menjatuhkanku kedalam kegelapan.
Aku harus selalu siap disituasi serberat apapun dan tanpa siapapun.
END