Pada 17 Maret 2021, publik Tanah Air dihebohkan dengan adanya larangan bertanding dari Federasi Bulutangkis Dunia (BWF) kepada seluruh atlet bulutangkis Indonesia yang berlaga di ajang Inggris terbuka atau lebih dikenal All England.
Alasannya, pesawat yang dinaiki oleh pemain Indonesia diduga juga diisi oleh seorang suspek Covid-19. BWF menambahkan bahwa mereka sudah mengupayakan agar atlet Indonesia dikecualikan. Namun, regulasi dari lembaga kesehatan Inggris (NHS) tidak mengijinkan.
Sontak isu ini ditanggapi warganet, termasuk dari Indonesia. Mayoritas warganet Indonesia mengecam keputusan BWF yang mengikuti perintah, bahkan banyak yang menghujat. Para pemain pun kompak menggunggah konten berisi protes atas ketidakadilan yang dirasa.
Rasa diskriminasi itu muncul karena atlit Indonesia sudah mentaati protokol kesehatan secara ketat, bahkan mengikuti tes PCR. Melihat kondisi yang ada, warganet menilai seharusnya kompetisi dibatalkan atau setidaknya ditunda, bukan mendiskualifikasi.
Sejauh ini, Menpora serta Menlu Indonesia ditambah Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) London telah memberi pernyataan yang bernada melindungi hak atlet bulutangkis Indonesia. Hal ini mengindikasikan olahraga sudah masuk ranah politik. Apakah masuknya politik dalam isu ini diperlukan?
Politik dan Olahraga
Melihat sejarah, Indonesia pernah menggunakan olahraga sebagai alat politik. Pada 1964, Indonesia pernah merasa disingkirkan oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC) setelah organisasi yang menaungi Olimpiade itu menyatakan Indonesia bersalah karena tidak mau mengundang Taiwan dan Israel dalam Asian Games 1962. IOC menganggap Indonesia mencampurkan olahraga dan politik. Padahal, IOC dinilai tidak konsisten karena African Games 1929 juga melibatkan politik.
Bung Karno, kemudian, membentuk Games of New Emerging Forces (GANEFO) dengan tujuan menandingi Olimpiade. Sukarno menambahkan pula bahwa GANEFO merupakan perwujudan perlawanan terhadap neokolonialisme.
Langkah Sukarno ini memunculkan konsep baru bernama Politik Mercusuar. Politik ini bermaksud menjadikan Indonesia sebagai pemimpin negara non-blok.
Di tempat lain, misalnya, sepakbola Spanyol pun tak lepas dari politik. El Classico atau pertandingan akbar antara Real Madrid melawan Barcelona selalu panas. Tingginya tensi pra hingga akhir pertandingan antara keduanya berkaitan dengan sejarah politik Negara Matador.
Barcelona diibaratkan mewakili masyarakat Catalonia yang pernah ditindas oleh Jenderal Franco karena ingin melepaskan diri dari Spanyol. Sementara itu, Real Madrid merepresentasikan Kerajaan Spanyol dan Jenderal Franco. Tiap El Classico berlangsung bak rezim monarki Spanyol melawan pemberontak.
Pada Olimpiade 2008 pun, China dapat dibilang sedang menerapkan soft diplomacy. China sukses menunjukkan kepada dunia bahwa Negara Tirai Bambu merupakan negara maju. Acara pembukaan hingga penutupan Olimpiade Ghuangzhou nyaris tanpa cela. Alih-alih, event tersebut justru menuai pujian.
Padahal, persiapan Olimpiade di China seringkali menuai protes dari negara Barat, terutama Amerika Serikat, yang mengecam China terkait isu hak asasi manusia. Namun, Beijing berhasil "menenggelamkan" isu politik tersebut dengan kesuksesan pergelaran Olimpiade.
Lantas, apakah langkah politik Indonesia diperlukan dalam menyikapi permasalahan atlet Indonesia di Inggris Terbuka?
Sikap Politik
Memang, KBRI London, DPR RI, Kemenlu, dan Kemenpora sudah bersuara. Namun, Presiden Jokowi masih belum angkat bicara secara langsung. Apakah pernyataan Jokowi secara langsung diperlukan? Apakah perlu membawa isu ini ke ranah politik praktis?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, masyarakat perlu memahami makna dari pernyataan seorang kepala negara. Dalam diplomasi, figur seorang kepala negara dan kepala pemerintahan merepresentasikan suara satu negara.
Jadi, jika Presiden Jokowi berbicara melalui pidato memprotes kebijakan BWF, pernyataan Jokowi mewakili suara rakyat Indonesia. Meskipun begitu, hal ini masih mempertimbangkan perspektif Jokowi sendiri. Bila Presiden memandang didiskualifikasinya pemain bulutangkis di Inggris Terbuka merupakan isu yang berat, pernyataan langsung dari beliau sangat diperlukan.
Memang, walaupun nantinya permasalahan isu mungkin dibawa ke Pengadilan Arbitrase Olahraga, pernyataan Jokowi bisa mengimbangi sikap politik dari Pemerintah Inggris yang diwakili Dubes Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Owen Jenkins. Melalui akun Twitter resmi Kedubes Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Jenkins cenderung membela keputusan BWF dan NHS, meskipun sangat berhati-hati.
Cara kedua, Indonesia dapat “membalas” perlakuan tersebut dengan getol mengkampanyekan keadilan (fairness) saat Indonesia Masters dan Indonesia Open. Kampanye dapat berupa slogan keadilan dalam olahraga yang digaungkan lewat situs kedua acara, kaos pemain, maupun umbul-umbul di stadion yang dipakai.
Menjadi juara umum pada kedua ajang tersebut memperkuat pesan simbolik bahwa Indonesia bisa merespon diskriminasi di Inggris Terbuka dengan cara yang elegan. Cara ini juga secara tidak langsung sebagai soft diplomacy yang dijalankan oleh negara dan didukung pemain.
Singkatnya, menggunakan cara-cara politis dalam olahraga kadangkala memang diperlukan. Hanya, apakah pemangku kepentingan akan memandang masalah yang terjadi menimpa tim bulutangkis Indonesia di Inggris dianggap penting atau tidak dan bagaimana cara yang tepat untuk menyuarakan ketidakadilan tersebut.