Isu bullying kembali ramai dibincangkan baru-baru ini setelah tersebarnya video mahasiswa berkebutuhan khusus yang mengalami bullying di Universitas Gunadarma.
Tidak selang beberapa hari, timbul lagi video viral tentang pengeroyokan yang dilakukan sejumlah siswi SMP kepada seorang siswi lain di Thamrin City. Netizen ramai-ramai mengkritik pihak yang melakukan bullying dan mengutuknya sebagai perbuatan yang tidak terpuji. Tapi pertanyaannya kini: bagaimana kita menyikapi kasus bullying yang tengah hangat kini?
Bullying bukan cerita baru. Ini cerita lama yang menjadi hangat karena diberitakan dan disebarluaskan keadaannya. Kenyataannya, bullying selalu ada, terjadi hampir setiap saat dan tidak mengenal batasan budaya. Kasus ini bukan hanya milik kita, ini keadaan yang hampir terjadi di seluruh institusi pendidikan dan pekerjaan di seluruh belahan dunia.
Beberapa penelitian yang dilakukan di luar negeri menyebutkan, jika dari laporan 38 negara di dunia, ditemukan setidaknya satu dari tiga anak mengalami bullying. Di Indonesia sendiri, pada laporan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada 2011 menyebutkan, terdapat 139 temuan kasus di sekolah yang kemudian meningkat menjadi 369 kasus pada 2014. Tapi, temuan kasus tidak mencerminkan sepenuhnya keadaan di lapangan.
Seperti yang penulis telah sebutkan sebelumnya, sekalipun kasus yang hangat kini tidak muncul di permukaan, pada dasarnya bullying akan tetap ada. Banyak korban bullying yang tidak bisa melaporkan keadaan yang dialaminya karena berbagai faktor, seperti dari keluarga, dari sekolah, dan dari masyarakat sekitarnya.
Ada semacam keheningan, sebuah pembiaran yang membuat perilaku bullying terus hidup di antara pelajar-pelajar kita. Keheningan yang dilakukan secara meluas oleh orang tua siswa, pihak pendidik dan segala lapisan masyarakat kita terhadap tunas-tunas bangsa penerus peradaban kita.
***
Dalam budaya populer, representasi terhadap bullying sebenarnya sangat umum. Tokoh Giant dalam cerita Doraemon adalah salah satu karakter bully yang sangat kita kenal. Komik dan animasi Doraemon yang diciptakan pada dekade 1970-an memberi gambaran bahwa bullying adalah bagian umum dari masyarakat Jepang ketika itu.
Giant adalah penindas karakter-karakter lain yang lemah, seperti Suneo dan Nobita. Ia merampas mainan, makanan, komik, dan melakukan kekerasan fisik kepada Suneo, Nobita, dan bahkan Doraemon. Tapi, tidak adanya kritik dalam pembentukan karakter Giant oleh publik Jepang, menunjukkan bahwa bullying antara anak-anak adalah lumrah ketika itu.
Namun, setelah animasi Doraemon mengalami pembuatan ulang dan pembaruan di dekade 2000-an, karakter Giant mengalami perubahan. Meski Giant tetaplah Giant yang dapat menghajar Nobita dan Suneo, agresi yang dilakukannya kini mulai beralasan dan hanya bertindak ketika diganggu.
Dia menganggap Nobita adalah temannya dan hanya kesal karena Nobita dianggapnya bodoh dan bukannya lemah. Dalam beberapa film animasi Doraemon, Giant ditampilkan lebih loyal dan heroik kepada teman-temannya ketika mereka mengalami kesukaran.
Kontras antara karakter Giant 1970-an dan 2000-an menunjukkan adanya pergeseran persepsi masyarakat Jepang mengenai bullying. Ada usaha yang dilakukan beberapa studio animasi untuk menampilkan bullying sebagai sesuatu yang asing dari kehidupan umum. Usaha positif inilah yang melahirkan kesadaran publik bahwa bullying itu amoral dan tidak boleh lagi ditoleransi.
Usaha serupa juga dilakukan di Korea Selatan lewat serial drama “School”. Serial drama yang telah ditayangkan sebanyak tujuh musim sejak 1999 hingga 2017 menggambarkan keadaan pelajar di Korea. Kasus bullying menjadi salah satu perhatian khusus pada musim kelima, yakni “School 2013”.
Dibintangi Kim Woobin dan Lee Jongsuk, “School 2013” menunjukkan bahwa bullying di Korea Selatan adalah umum. Drama itu menggambarkan bullying sebagai hasil tekanan yang didapatkan siswa dari pendidikan, buramnya gambaran masa depan setelah lulus, keterasingan anak dan keluarga, dan pengabaian yang dilakukan pendidik terhadap masalah yang dialami siswanya.
Drama itu menggambarkan bahwa dalam kasus bullying, tidak hanya korban yang patut menjadi perhatian. Pelaku bullying sendiri adalah “korban” dari pengalaman hidup yang dijalaninya.
Kebanyakan dari pelaku terasing dari keluarganya. Kehangatan yang jarang dirasakannya secara personal membuat mereka menjadi kurang empatik terhadap lingkungan teman sebayanya. Mereka telah menjadi “monster” kecil sebagai akibat dari kesepian dan keterasingan yang dirasakan secara pribadi.
***
Penulis sendiri telah beberapa kali dalam kapasitasnya sebagai mahasiswa Psikologi menemui kasus-kasus bullying di lapangan. Selain itu, penulis juga secara personal adalah korban bullying itu sendiri.
Seperti yang dialami saudara Rinhardi Aldo dalam tulisannya Membalas Bully yang (Tak) Selesaikan Masalah, penulis merasakan bullying saat berada di bangku Sekolah Menengah Pertama. Tindakan-tindakan bullying, baik secara fisik hingga psikis, telah saya rasakan selama tiga tahun. Dari penamparan, peludahan, ejekan, pelecehan lewat media sosial, hingga pengucilan adalah ‘makanan’ sehari-hari saya ketika itu.
Dampak dari perlakuan yang penulis alami itu harus penulis tanggung bertahun-tahun lamanya. Hingga awal penulis menginjak bangku perguruan tinggi, ada pergulatan mental yang luar biasa yang penulis alami. Penulis mengalami masa-masa depresi ketika harus dihadapkan dengan tuntutan bersosialisasi ketika menjadi mahasiswa.
Hanya setelah dua tahun menjadi mahasiswa, atau kurang lebih delapan tahun sejak penulis mengalami bullying, lewat dukungan moral dari orang-orang terdekat dan pembulatan tekad, penulis bisa lepas dari bayang-bayang kelam tersebut.
Di lapangan, penulis sering menemui pelajar-pelajar yang mengeluhkan tentang bullying yang dialaminya. Ketika penulis berada di sebuah Sekolah Menengah Pertama untuk melakukan tugas lapangan di mana sekolah itu penulis duduk dulu, penulis mendapatkan keluhan dari seorang siswi yang pendiam dan pemalu.
Siswi itu mengalami bullying dari teman-temannya yang berada di kelas yang berbeda lewat media sosial. Meski sudah dilaporkan ke pihak Bimbingan Konseling, tetap saja siswi itu merasa bahwa apa terjadi padanya tidak ditindak secara tuntas.
Apa yang diceritakan siswi tersebut, menjadi beban tersendiri bagi penulis. Pasalnya, siswi itu ketika penulis temui duduk di kelas yang sama dengan kelas di mana penulis duduk delapan tahun lalu. Apa yang dialaminya pun hampir serupa dengan yang penulis alami. Memang tepat jika kita menyebut bullying itu “lingkaran setan”. Dia selalu ada dan tidak pernah berubah adanya.
Cerita itu hanya satu dari segelintir kasus-kasus yang penulis temui. Penulis menemukan kasus lain pada jenjang SMA hingga Perguruan Tinggi. Mereka yang pernah mengalaminya cenderung menjadi mudah stress, sulit bersosialisasi, dan terlalu sensitif terhadap lingkungannya. Dampak yang mereka rasakan bertahan bertahun-tahun lamanya.
***
Bagaimana kita menyikapinya? Hal yang paling dasar dan inti adalah memutus mata rantai bullying. Harus ada kesadaran dari semua pihak terkait bullying. Pihak yang terkadang paling sering diam dan bahkan menutupinya adalah pihak pendidik di sekolah. Alasannya, mereka tidak ingin jika sekolah mereka tercemar dengan kasus bullying. Padahal mereka sebagai pendidik adalah barisan terdepan dalam penindakan kasus tersebut.
Penulis tidak habis pikir, mereka lebih peduli reputasi sekolah dibandingkan lengan seorang teman penulis yang diirisnya sendiri dengan silet karena depresi akibat bullying. Pihak sekolah tidak boleh menutupi kasus-kasus bullying tersebut dengan alasan apa pun. Mereka juga tidak boleh dibiarkan melihat bullying sebagai suatu yang lumrah dalam pergaulan pelajarnya.
Kemudian, pemerintah harus bertindak lebih aktif lagi menyikapi kasus-kasus bullying di sekolah. Pemerintah tidak boleh diam saja dan membiarkan mekanisme hukum berlaku. Bahkan pemerintah lewat Menristi Mohamad Natsir hanya bersikap normatif dan mengancam pelaku lewat sanksi.
Tindakan afirmatif seharusnya dilakukan dalam pendidikan kita untuk melindungi para pelajar. Serta, harus ada keberanian pemerintah untuk turun ke lapangan dan menyelidiki seberapa parah bullying yang terjadi.
Berhenti menutup mata dari bullying. Diam saja ketika ada mereka yang mengalami kasus seperti itu, berarti sama saja ikut berpartisipasi. Apa pun alasannya dan apa pun wujudnya, bullying adalah kekerasan.
Dibandingkan dengan apa yang kita bayangkan, dampak bullying bertahan lebih lama dan memiliki konsekuensi psikis jangka panjang. Diskusi tentang bullying harus masuk ke ruang publik kita dan tidak hanya sebatas ketika ada video yang viral.
Hentikan bullying, hentikan diam!***