Hubungan kita dengan buku adalah hubungan intelektual.

Buku itu, kalau didefinisikan, adalah kumpulan gagasan tertulis. Suatu buku pada umumnya memang berbicara gagasan-gagasan yang biasanya pula bersifat khusus. Khusus artinya membahas satu tema pokok yang dari awal buku itu ditulis hingga akhir, hanya berbicara topik tersebut.

Sebut saja bukunya tokoh muda Indonesia, Muhammad Al-Fayyadl yang berjudul “Filsafat Negasi”. Dari sejak pembuka kalimat pada bagian satu di buku itu, hingga penutup kalimat di bagian akhir buku itu, secara konsisten membahas bagaimana gagasan filsafat negasi tersebut.

Disebut buku—kemudian—karena ditulis. Kalau gagasan itu masih di angan-angan, tanpa ditulis, tanpa jatuh pada kertas-kertas yang kemudian dicetak atau terkumpul menjadi satu gagasan yang utuh, maka belum bisa dianggap buku. Nah, sampai di sini, buku yang baik itu bisa berciri sebagai berikut:

  1. Memuat gagasan khusus yang utuh.
  2. Gagasan dibahas dengan konsisten dari bagian awal hingga akhir.
  3. Tertulis atau tersusun dengan baik—ejaan, dst—, artinya kosakata yang digunakan tidak mengaburkan makna dan membuat pembaca pusing. Beda lagi kalau justru pembaca yang tidak bisa menangkap isi buku tersebut.
  4. Membawa pencerahan pikir—di samping membawa pengetahuan.
  5. Dapat dijadikan landasan berpikir kritis dan lebih terbuka. Artinya, dengan membaca buku tersebut, kita bisa lebih peka memahami persoalan dan pikiran kita menjadi lebih terbuka menerima perbedaan-perbedaan gagasan.

Membaca Buku

Membaca bisa berarti melantunkan, bisa berarti lain; semisal, menelaah, berpikir, menganalisis, dst.

Di dalam konteks pementasan, membaca atau pembacaan hanya dimaknai sebagai pelantunan atau pelisanan. Misal, “Pembacaan Surat Keputusan” itu dimaknai sekadar pelantunan atau sekadar pelisanan teks, dst. Beda lagi makna “membaca-pembacaan” dalam konteks pembahasan ini.

Dalam konteks membaca buku, kata “membaca” dimaknai memahami isi. Membaca buku artinya memahami (isi) buku. Proses memahami ini tentu atau sudah pasti melibatkan segenap nalar-akal-logika-pikiran.

Tidak akan kita bisa memahami buku dengan baik kalau kita tidak bisa melibatkan nalar kita dengan baik. 

Nah, di sini, membaca itu sebenarnya sedang memanfaatkan/menggunakan nalar. Nalar itu daya akal untuk menelaah. Kemudian, membaca itu bisa dimaknai begini: membaca adalah proses interaksi antara teks dan nalar kita yang pada akhirnya akan menghasilkan pemahaman-pemahaman atau lebih jauh lagi akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan.

Dalam pembahasan yang lebih sederhana begini: ketika Anda membaca buku berjudul “Derrida”, pengetahuan atau pemahaman apa yang Anda peroleh? Atau, pemahaman apa yang Anda peroleh saat nalar Anda bertemu teks buku “Derrida” tersebut?

Jadi, pada dasarnya, membaca buku ini adalah proses interaksi nalar dan teks (buku) untuk memperoleh pemahaman. Maka jelas, semakin banyak yang kita baca, semakin luas pemahaman kita. Dan sudah pasti pula, pemahaman yang rendah itu lahir dari minimnya proses membaca.

Lalu, pemahaman apa yang hendak kita andalkan saat nalar kita tidak banyak bersentuhan dengan buku-buku?

Sampai di sini, saya tegaskan bahwa hubungan kita dengan buku adalah hubungan nalar dan teks, atau hubungan intelektual, atau hubungan dalam menambah pemahaman.

Buku dan Kita

Bagi mahasiswa, buku sudah bertumpuk di perpustakaan, tinggal masuk, baca di tempat atau pinjam bawa ke kos. Baca di sana—ingat, kata “baca-membaca” itu tidak sederhana maknanya. Sudah saya ulas di atas.

Bagi masyarakat pedalaman, buku sulit dijangkau. Perlu menunggu teman-teman yang kuliah di kota yang pulangnya nanti bawa buku—itu pun kalau pulang bawa buku.

Bagi anak terdidik, baik di kota maupun di pelosok, buku itu didapat dari proses membeli dengan menyisihkan uangnya. Jadi bermacam-macam jenis orang (pembaca) di muka bumi ini dalam memperlakukan buku:

  1. Orang yang mau membaca kalau ada buku. Baik karena pinjam, atau “ngambil milik teman dekat—pinjam tanpa izin”, dst. Kalau tidak ada, ya tidak membaca.
  2. Orang yang tetap akan mencari atau membeli buku untuk dibaca jika tidak ada buku. Nah, ini kesadaran membacanya tinggi. Bahkan sampai rela berutang hanya untuk membeli buku. Peradaban literasi tumbuh di titik ini.
  3. Orang yang tidak mau membaca padahal buku-buku sudah di depan mata. Orang semacam ini biasanya cenderung malas. Bahaya!
  4. Orang yang tidak sama sekali peduli terhadap buku-buku. Ini lebih parah lagi, mau ada buku atau tidak ada, tetap tidak peduli. Peradaban kalap.
  5. Orang yang setengah hati memperlakukan buku. Kadang sampai rela beli, tapi pas didapat tidak dibaca, hanya “sok” menumpuk buku agar dianggap cerdas.
  6. Dll. Tambah sendiri macam-macamnya.

Buku dan kita ini dua hal yang kadang tidak dapat dipisahkan sama sekali. Kita menjadi cerdas karena bacaan atau buku-buku itu. Kalau membaca buku, kapan saja kita bisa melakukannya. Kapan pun.

Belajar pada buku itu bisa dianggap bebas waktu. Di sinilah menariknya. Maka benar, buku itu teman setia. Kalau belajar di bangku atau di kelas-kelas, kita perlu menunggu jadwal.

Sebenarnya, jika disimpulkan lebih jauh lagi, orang menjadi terbelakang pemahamannya disebabkan oleh dua hal:

  1. Lingkungan. Misal, memang tidak ada sekolah, tidak ada buku di lingkungan tersebut. Wajar kalau terbelakang pemahamannya.
  2. Diri sendiri. Misal, sekolah lengkap, buku lengkap, teman diskusi lengkap, dan fasilitas penunjang lengkap. Kalau masih terbelakang pikirannya, jangan salahkan siapa-siapa, salahkan diri sendiri. Titik!

Oleh sebab itu, buku dan kita ini punya hubungan intelektual. Dari buku-buku kita bisa belajar banyak hal. Belajar teliti. Kritis. Terbuka. Dialektis. Dialogis. Dst.

Kadang, sebagai orang yang sudah berpikir dewasa, kecerdasan kita hanya lahir dari proses membaca buku-buku.