Akhir bulan saat kantongmu menipis kau gelisah
Pulang ke rumah kau temui anak-istri terdiam
Tabungan tak ada lagi, habis untuk makan dan
pengeluaran lain. Juga untuk rokokmu, membuat
istrimu kesal dan sering marah padamu.
“Pilih aku atau rokokmu!” bentak istrimu
Kau hanya diam lalu pergi berlalu. Kau mencintai
rokok sebelum mengenal istrimu. Penuhi paru-paru
dengan asap nikotin dan tak bisa lepas darinya
Menuju kamar, tumpukan buku temani harimu
Bertahun-tahun kau kumpulkan, jadi amunisi
kala menulis bagi penulis-seniman sepertimu.
Tak semua buku kau baca, ada yang bertahun-
tahun tak kau sentuh hingga berdebu dan kusam
Saat seperti ini buku-buku menjadi benda mati
Mereka tak bisa menolongmu. Pengarang mati
sebelum kau membacanya. Tak ada lagi yang
berharga. Hanya tumpukan debu dan kelu.
“Jual saja buku-bukumu. Koleksimu langka”
Temanmu berkata suatu malam. Kau bimbang.
“Masih ada uang?” istrimu selalu bertanya
Kau makin gelisah kemudian setengah berbisik
meracau tentang nama-nama yang kau ingat
Dostoyevsky, Nietzsche, Camus, Virginia Woof,
Pramoedya, Wiji Thukul, Rusmini, Cok, Nanoq
Bibirmu bergetar menyebut mereka, kau berteriak
dan berlari ke jalan, hingga orang-orang memanggil
polisi pamong praja untuk meringkus-membawamu
ke rumah sakit jiwa. Kau mengidap skizofrenia!
Di kamarmu tak ada buku-buku dan kau bukan
penulis. Sewaktu kecil kau ingin menjadi penulis
Orang tuamu menjadikanmu pegawai bank
Di bank kau kerap membaca puisi keras-keras
Kau dipecat dan dianggap sakit jiwa. Kau belum
menikah tak punya kekasih. Tak ada perempuan
yang mau dekat denganmu. Kau menjadi pemurung,
sering menyendiri di kamar bersama bayanganmu.
2018