Buku yang ditulis oleh dosen Universitas Notre Dame Amerika Serikat asal Indonesia ini sangat memberikan stimulasi kepada saya untuk mencoba lebih teliti dan hati-hati dalam membaca sejarah, terutama sejarah Islam. Penulis memberikan nuansa baru dalam melihat sejarah kemunculan Islam. Tentu saja penulis ini sudah cukup terkenal dengan berbagai tulisannya yang kontroversial. 

Saya, sebelum membaca buku ini, telah membaca bukunya yang lain berjudul “Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal”. Buku ini adalah buku terbaru yang terbit di tahun 2018. 

Buku itu hanya berupa kumpulan artikel tulisannya dalam membahas beberapa isu. Buku itu cukup “bandel” jika diletakkan di alam Indonesia. Akan tetapi, saya lebih tertarik untuk me-review buku Kemunculan Islam karena memberikan penjelasan yang cukup luas dari tesis-tesisnya tentang sejarah lahirnya Islam.

Maka buku “bandel” yang ditulis Mun’im ini berhasil menarik saya untuk membacanya. Kata penulis buku, yang saya baca ini merupakan edisi lengkap dari buku sebelumnya yang pernah terbit melalui penerbit Mizan pada tahun 2015. 

Buku ini terdiri dari lima bab, yakni Sumber Masalah dan Masalah Sumber; Teori Kemunculan Islam; Formasi dan Kanonisasi Alquran; Pencarian “Muhammad Historis”; Dari ajaran Ekumenis Menjadi Agama.

Dari kelima bagian buku ini, saya tidak akan mengulas setiap bab buku ini, akan tetapi saya lebih tertarik membahas bab pertama dari buku ini. Sebab menurut saya, awal atau dasar perdebatan islamic origins bermula dari bab satu. 

Sebelum saya menuliskannya, perlu dicatat bahwa penulis buku ini sedari awal telah memberi peringatan: Buku ini ditulis tidak untuk meragukan, apalagi mengubah keyakinan anda, para pembaca. 

Jadi, sudah dipastikan bagi mereka yang tidak mau mendengar pandangan berbeda dari yang diyakini, maka buku ini bukan untuk mereka. Lebih lanjutnya penulis menjelaskan bahwa penulisan buku itu tidak lain hanya untuk menawarkan sebuah perspektif berbeda di antara para konvensionalis.

Dalam membicarakan sejarah kemunculan Islam, maka kita akan melihat kepada zaman Nabi Muhammad. Sebab ia merupakan sosok pembawa agama Islam. 

Selanjutnya para sejarawan melakukan pelacakan dokumen-dokumen apa pun, baik berupa tulisan atau benda-benda peninggalan. Dan dokumen tersebut harus dari masa yang sama dengan kehidupan Nabi Muhammad, atau paling tidak dokumen yang paling dekat dengan zaman tersebut. 

Sekarang yang jadi masalah adalah apakah ada dokumen yang sezaman dengan Nabi Muhammad? Jawabannya ada. 

Yang non-tertulis seperti bangunan atau peninggalan yang lain seperti baju, sandal, rambut, dan lain sebagainya banyak tersimpan di museum-museum. Akan tetapi, dokumen yang demikian tidak bisa memberikan gambaran yang luas mengenai fakta-fakta atau pristiwa-pristiwa yang banyak, seperti yang tertulis dalam kitab-kitab sejarah Islam atau sejarah Nabi Muhammad.

Oleh karenanya, dokumen yang paling memungkinkan untuk dapat bercerita banyak adalah dukumen tertulis. Pertanyaannya, apakah dokumen tersebut ada yang ditulis sezaman dengan Nabi Muhammad? Jawabannya ada, yakni Alquran. 

Kendati kitab tersebut bukan spesifik sebagai kitab sejarah, akan tetapi sangat memberikan peran dalam menggambarkan sedikit-banyak peristiwa di masa awal Islam. Karena kitab Alquran bukan spesifik kitab sejarah, oleh karenanya cuplikan-cuplikan sejarah yang mendetail tidak banyak terrekam dalam Alquran.

Selanjutnya para sejarawan mencari lagi dokumen lain selain Alquran, dan hasilnya tidak ada. Dokumen tertulis paling mendekati masa Nabi Muhammad adalah kitab Sīrah (Biografi) Nabi dari Ibnu Ishaq. 

Ia merupakan sejarawan Muslim yang meninggal tahun 150 H/764 M, dan dia adalah yang paling awal menulis Sīrah Nabi. Dokumen ini berhasil sampai kepada kita sekarang atas jasa Ibnu Hisyam yang meninggal tahun 218 H/833 M. Jadi, tulisan Ibnu Ishaq tidak secara autentik sampai kepada kita langsung, melainkan melalui penulisan yang dihimpun oleh Ibnu Hisyam.

Kedua tokoh ini tidak pernah bertemu sama sekali. Serta jarak antara Ibnu Ishaq dengan zaman Nabi berada di antara empat sampai lima generasi alias lebih dari satu abad kemudian. Pertanyaannya, apakah masih autentik dan terpercaya? 

Untuk menjawab pertanyaan historis semacam ini tidaklah mudah. Oleh karenanya, banyak sarjana kemudian yang bahkan tidak percaya dengan referensi tradisional tersebut. 

Mungkin kesarjanaan Muslim akan menjawab bahwa dalam tradisi akademis Islam ada yang namanya Isnad/sanad (silsilah trasmisi). Kaum tradisional berpendapat bahwa walaupun penulisan tersebut terjadi belakangan, akan tetapi keautentikannya dikuatkan oleh sanad.

Kemudian sanad ini pun menjadi masalah, karena konsep ini ada bahkan keilmuannya terkodifikasi jauh ratusan tahun setelah wafatnya Nabi. Walaupun Ibnu Ishaq mengunakan konsep ini, akan tetapi orang-orang sebelumnya yang terlibat dalam silsilah transmisi ini tidak dapat dipastikan menggunakan konsep sanad. Karena pada dasarnya sanad itu menitik-beratkan kepada derajat ke-terpercaya-an sang pembawa berita (matan).

Dan selain itu, keautentikan berita itu sendiri. Konsep ini menurut beberapa sarjana berputar-putar, yang ujung-ujungnya menjadikan berita-berita tentang Sīrah Nabi atau islamic origins tidak serta merta menjadi otomatis dapat menjadi bukti historis yang terpercaya. Lagi pula kemunculan teori isnad/sanad menunjukkan bahwa di kalangan kesarjanaan Muslim sendiri terjadi keresahan mengenai adanya berita-berita yang tidak autentik.

Selanjutnya selain perihal keautentikan adalah masalah kontradiksi. Sebagai contoh Thabari  (w. 310 H/923 M) dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk dan Baladuri (w. 279 H/896 M) dalam Futuh al-Buldan. Keduanya mendeskripsikan tentang penaklukan (fath) sebuah kota, tetapi mereka berbeda tentang nama kota yang ditaklukkan. 

Diriwayatkan oleh Thabari bahwa Umar bin Khatab pernah bertanya kepada mantan jendaral Persia, Hurmuzan, tentang kota mana yang menjadi target penaklukkan: Fars, Azarbaijan, atau Isfahan. Huemuzan menyarankan kota Isfahan karena kota itu adalah sentral. 

Dia menggambarkan kota itu seperti kepala burung dan kedua kota sisanya, Fars dan Azarbaijan seperti sayapnya. Jika kepala bisa ditaklukkan, maka sayap akan ikut. Maka dari riwayat ini Thabari mendeskripsikan kota yang diinvasi militer adalah kota Isfahan. Akan tetapi, Baladuri mengaitkan cerita yang disebutkan oleh Thabari tersebut dengan kota Nihawand, bukan Isfahan.

Bagaimana dalam episode sejarah yang sama menghasilkan informasi yang berbeda? Mana di antara keduanya yang benar? 

Dalam hal ini, sejarawan Jerman Albrecht Noth (1994) melakukan studi kritis tentang nomenklatur Muslim tersebut. Menurutnya, yang kemungkinan besar benar adalah Baladuri, kemudian dia mengajukan dua argumen. 

Pertama, Baladuri adalah orang yang hidup lebih dahulu dari pada Thabari. Selain itu, nama yang disebutkan oleh Baladuri yakni Nihawand disebutkan juga oleh Abu Yusuf (w. 182 H/798 M) yang kemungkinan mendengar langsung dari orang-orang yang terlibat langsung dengan pristiwa penaklukan Nihawand. 

Kedua, pahlawan yang meninggal dalam perang tersebut adalah Nu’man bin Muqarrin yang terkenal mati syahid di Nihawand. Lalu kemudian Noth menjelaskan bahwa kesalahan yang dilakukan oleh Thabari dikarenakan kesalahan dalam interpetasi perumpamaan ketiga kota tersebut. 

Di sini kita dapat lihat bahwa yang namanya sejarah tidak terlepas dari interpetasi. Selain itu, tidak jarang juga kontradisi yang terjadi tidak dapat diverifikasi. Hal ini menjadikan kita sulit mengkonfirmasi mana yang benar.

Dua hal ini, yakni autentifikasi dan kontradiksi, menjadi masalah yang paling mendasar dalam melihat kontruksi sejarah yang sesungguhnya tentang islamic origins. Dan dari kedua hal ini pula kita bertanya-tanya tentang berita atau peristiwa Nabi Muhammad. Serta berhubungan pula dengan sejarah Alquran dan segala polemiknya. 

Oleh karenanya, banyak kalangan sarjana yang memberikan pendekatan yang berbeda dalam melihat permasalahan ini, baik kaum tradisionalis, revisionis radikal, dan revisionis moderat.

Ketiga golongan ini sering dibicarakan dalam buku tersebut. Yang intinya bahwa agama Islam yang kita lihat sekarang tidak terlepas dari proses sejarah sampai bisa mengkristal seperti sekarang. Jadi, anggapan bahwa agama Islam sudah jadi utuh dari zaman Nabi itu kurang tepat. 

Selain itu, Mun’im Sirry menyatakan di akhir bukunya bahwa segala diskusi dan pendekatan yang diajukan belum mencapai jawaban yang final. Sehingga buku tersebut bukan benar-benar memberikan sebuah jawaban, akan tetapi lebih kepada memberikan iklim diskusi baru di tengah kesarjanaan tentang islamic origins.

Riwayat Buku

  • Judul Buku: Kemunculan Islam dalam Kesarjanaan Revisionis
  • Penulis: Mun’im Sirry
  • Penerbit: Suka Press, Yogyakarta
  • Cetakan: Pertama, Desember 2017
  • Jumlah Halaman: 332
  • Jenis Buku: Non-fiksi, Sejarah, Islam