Burung dalam Sangkar
Burung terkurung dalam sangkar
Sebagai keindahan ia dibanggakan
oleh pemiliknya. Yang mengurungnya
Ia melompat-lompat dan bersiul
hanya dalam sangkar. Tak lebih
Namun makan minum tercukupi
Di sangkar itu, ia mematuk besi besi
yang memisahkannya dari dua hal
Kenyamanan dan kebebasan tak tentu
Dalam sangkar kebutuhan terjamin
Di luar? Barangkali ia yang jadi santapan
Namun sayapnya kan leluasa membawanya
Dalam hidup selalu ada pilihan
Setiap pilihan dibayangi oleh risiko
Dan kita bebas memilih dan menjalani
Seekor burung dalam sangkar
Hanya melompat bersiul, tak lebih
Bahkan sekadar kepakan sayap pun sulit
Terus Berjalan
Seorang perempuan berjalan terseok memikul beban
di hatinya. Bersama debu dan panas aspal kota
Kota yang kian hari bertambah sumpek oleh orang-orang
dan segenap permasalahan yang tak habis-habisnya
Permasalahan yang seolah sengaja mereka buat
Agar tetap bisa hidup. Begitulah adanya kota ini, kini
Kota di mana perempuan itu terus berjalan membawa beban
yang telah lama keluarganya ingin pendam namun tak pernah bisa
“Jika ingin kalian pendam, gali liang untukku pula
Kubur bersamaku jika mau. Ini bukan aib, tapi terserah
jika kalian tak bisa menerimanya.” Ucapnya suatu masa
sebelum perjalanannya ke kota ini. Perjalanan yang ia yakini
“Bukan begitu, Nak” Ibunya coba menenangkan hati
Yang sudah kacau sedari penolakan malam itu
Membuang kretek yang masih panjang, duduk tegang
“Apa kata orang terhadap keluarga kita nanti, pikir itu!”
Begitulah perempuan itu meninggalkan rumah. Pergi
dari segenap orang yang mencintainya. Memilih jalanan,
kota, dan orang-orang yang tak pernah sibuk bertanya
tentang pilihannya dan membiarkannya menjalani pilihan itu
Kertas Kusam
Kertas kusam terjatuh mengikuti kecerobohanku menarik paksa buku di rak
Di pojok bawah kertas itu tertulis nama kita. Nama yang darinya pernah tumbuh
bunga-bunga. Dari nama itu pula lahir seekor ular. Hingga pada suatu masa dulu
kita sadari, bahwa rangkaian nama kita adalah wangi bunga dan bisa beracun
Di atas nama kita, tertulis beberapa paragraf. Masih cukup bisa dibaca
meski di beberapa bagian kabur oleh usia kertas dan tinta. Mungkin, dulu
harusnya tak kita tulis kebahagiaan ini di kertas macam ini. Namun kita tak tahu
perihal masa depan. Hanya saling mengerti tentang rasa yang sama saat menuliskannya
Di kertas kusam itu dulu, kita pernah saling berdebat tak terima dan memaki
hanya untuk menentukan satu kalimat pembuka di paragraf awal. Kau sibuk
dengan diksi-diksi indahmu. Dan aku yang takut kehilangan makna kalimat
Kini, kalimat itu kubaca berulang-ulang. Sambil mengingat perseteruannya
Kuingat, perseteruan itu tak berlanjut saat kita menuliskan kalimat-kalimat lain
“Awal adalah tumpuan utama. Selanjutnya akan lebih mudah.” pedoman kita dulu
Dan itulah sebab dari pertengkaran tiap memulai suatu tulisan. Memang aneh
terkadang kedamaian harus ditempuh dengan cara bertengkar terlebih dahulu
Empat paragraf lain sebelum paragraf penutup tak banyak mengingatkan
tentang apa-apa. Barangkali ingatan kita memang dicipta dengan ruang
yang lebih besar untuk keburukan dan sisanya baru untuk hal-hal baik
Mungkin itu pula sebabnya sering lupa ibadah. Dan adanya pemakluman atasnya
Lalu, di paragraf penutup kembali terbayang perdebatan kita
Kau menuliskan, “tanpa cinta, kemerdekaan hanya laut hampa.
Langit yang tak punya cakrawala!” yang dengan cepat ku coret
Itu kau kutip dari puisi Langit dan Laut-nya Agus Noor
Kita memang saling menggandrungi penulis sekaligus sutradara teater itu
Tapi tak serta merta menggunakan kalimatnya -meski dengan mencantumkan namanya
Tiga kalimat tercoret. Ketiganya dari penulis yang sama tapi entah dari judul yang mana
Ku yakin, aku yang mencoretnya. Aku tak pernah bisa menulis serapi itu.
“Aku tak mau menjadi terang bila kau hanya bayang-bayang” juga ku coret
“Bahkan surga dan kebencian kini sulit dipisahkan” yang terakhir sebenarnya menarik
Tapi tetap kucoret. Tak harus bagus dan indah asal bermakna dan berkesinambungan
Kuingat keras kepalamu dulu untuk tetap menggunakan salah satu yang tercoret
Di sana -di akhir paragraf dalam kertas kusam itu- tertulis kalimat lain
yang dengan sedikit penyesuaian kuambil dari ucapan yang sering kau gunakan
untuk melerai kegelisahan-kegelisahanku dulu. Ucapanmu itu selalu ampuh
Sebagaimana pula ampuh tuk menyudahi perdebatan kita di paragraf penutup itu
Kertas kusam itu adalah satu dari sekian tulisan yang pernah kita tulis bersama
Akhirnya, setelah beberapa kali membaca, kucukupkan dan kusimpan kembali
kertas kusam itu di antara buku-buku di rak. Dan kusimpan pula kenangannya
di sela-sela ingatan bersama ingatan-ingatan lain tanpa perlu mengistimewakannya
Bukan Tentang Kemerdekaan
Ini bukan perihal kemerdekaan. Sama sekali bukan
Di sini, kata merdeka sudah tinggal dongeng
Tak lebih dari cerita yang diulang-ulang belaka
Tanpa makna berarti yang diberikan dan diambil
Barangkali kata merdeka terakhir yang bermakna
ialah saat diucapkan oleh Bung Tomo
tuk membakar semangat warga Surabaya
agar menolak tunduk dan balik melawan
Merdeka atau mati!
Kini, kata merdeka telah mati
oleh tumpang tindih arti
penuh maksud tersendiri
Ini bukan tentang kemerdekaan
Sama sekali bukan tentang itu
Kami tak begitu paham kepalan tangan
dan teriakan pembelaan kalian
Seingat kami, ucapan pembelaan yang murni
terjadi di negeri ini sudah lama sekali
“Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati”
Sejari kepala, sejengkal tanah dibela sampai mati
Pajak Puwasa bagi petani di Tegalrejo
menjadi awal pembelaan Pangeran Diponegoro
Di Selarong medan perang diukir
Bersama masyarakat menekan Belanda
Tentang pengorbanan? Juga bukan
Kata itu sering digunakan tuk dalih
agar bisa diterima dan dihargai
Bukankah pengorbanan tak butuh pengakuan!
Sebagaimana perjuangan Sentot Alibasyah
yang tak perlu pengakuan. Dilupakan sejarah
Dianggap membelot. Jasanya di Perang Jawa baru diakui
puluhan tahun setelah lewat pemindahan kuburnya
Ini bukan perihal kemerdekaan
Sama sekali bukan tentang itu
Lalu, tentang apakah semua ini?
Barangkali cuma omong kosong
Kami tetap melakukan yang kami yakini
Tapi bukan tentang semua itu, apalagi kemerdekaan
Ini hanya harapan kecil yang terus ditempuh
tanpa karena, tanpa mengapa. Kami hanya percaya