Yang perlu anda ingat ketika hidup dimasa sekarang adalah bahwa perbuatan atau perkataan anda saat ini, bisa berpotensi diketahui, dikomentari dan dicaci oleh seluruh rakyat Indonesia dalam waktu yang bahkan anda tidak sempat sadari.
Pikiran itu datang beberapa hari yang lalu ketika saya melihat sebuah postingan Instagram tentang Nurul Akmal, seorang Atlit angkat besi kelas +87 Kg yang baru sampai di Bandara Soekarno-Hatta setelah berjuang dari Olimpiade Tokyo 2020. Di layar smartphone, saya bisa melihat suasana ramai oleh penyambut bermasker, riuh rendah suara tangan yang bertepuk dikala nama sang atlit dipanggil. Setelah memegang rangkaian bunga yang diberikan semua atlit yang disambut saat itu, kilatan cahaya datang menyerbu dari kamera para jurnalis. Disambut guratan senyum diwajah sang atlit yang terlihat jelas walau ditutupi masker.
Kehebohan yang terjadi di jagat dunia maya terjadi ketika keriuhan mulai mereda. Terdengar suara dari seseorang yang tidak kencang namun terdengar jelas. Hanya terdiri dari tiga kata: “yang paling kurus”. Sebuah sarkas yang menjadi perundungan dunia maya.
Masyarakat media sosial yang mempermasalahkan kata-kata yang mempunyai maksud tersirat dan mengandung Body Shaming karena mengacu pada berat badan dan bentuk tubuh sang atlit. Memang sebagai atlit angkat besi di kelas +87 Kg, menuntut sang atlit harus menyesuaikan berat tubuhnya. Tidak mungkin dengan tubuh seperti model Victoria’s Secret dapat mengangkat beban seberat itu. Tapi tidak juga harus diteriakan didepan khalayak umum.
***
Saya sempat berfikir untuk ikut menghujat dan memanaskan kolom komentar sosial media. Namun setelah saya berfikir lagi, saya merasa seseorang yang mengatakan kalimat itu hanya ingin bercanda.
Saya yakin tidak ada motif kebencian yang terkandung dari kata-kata “yang paling kurus” tersebut. Tidak ingin menyinyir apalagi berniat meninggalkan trauma emosional kepada sang atlit. Entah kenapa saya beranggapan, sang oknum yang mengatakan hal tersebut hanya ingin menghangatkan suasana diruangan tersebut.
Beberapa dari kita mungkin familiar dengan hinaan fisik yang bermaksud sebagai bercandan untuk mengakrabkan suasana ketika masih belum menemukan kata body shaming diperbendaharaan kata yang tersimpan dikepala kita.
Mungkin ada teman-teman atau keluarga yang meledek bentuk tubuh anda yang unik, namun anda tahu itu sebuah bercandaan dan tetap tertawa mendengarnya. Saya ingat ketika kecil dan bertubuh gempal saya harus siap sepanjang hari harus mendengar joke yang memperingatkan saya agar hati-hati berkeliaran setiap Idul Adha akan tiba. Takut ikut dipotong jadi kurban katanya.
Saya yakin ada beberapa teman di lingkaran tongkorongan anda yang mempunyai panggilan khusus bedasarkan bentuk unik dari fisik tubuh mereka. yah mungkin ada yang dipanggil keling, ‘ndut, cungkring, kribo, atau bahkan pitak.
Kita masyarakat yang terbiasa dengan bercandaan yang mengandung fisik, ras dan suku. Ada kalanya anda akan gatel memanggil temen anda yang berhidung super mancung dengan sebutan arab atau memanggil koko kepada teman anda yang sipit matanya. Dan tentu kita tahu maksud bercandaan itu ya hanya bercanda. Kita punya level yang luar biasa dalam menanggapi dengan ikut tertawa dan mengiyakan bercandaan tersebut.
Semua panggilan yang bermuatan body shaming itu dianggap lumrah dan mengahangatkan hubungan antara rekan.
Bedasarkan hal itu, saya yakin Bapak oknum yang mengeluarkan kata-kata itu hanya bermaksud melempar joke yang dianggap biasa karena sering didengar disekitarnya. Agar suasana hangat dan semua tertawa.
***
Tapi apa kata-kata oknum itu bisa dibenarkan? Tentu tidak. Lantas apa yang salah dengan joke Bapak oknum itu sampai membuat masyarakat dunia maya meradang jika memang kita sudah terbiasa dengan joke tersebut?
Bapak oknum itu hanya the wrong man in the wrong place at the wrong time.
Pertama mungkin Bapak oknum tersebut terlalu kolot untuk menyadari bahwa joke fisik tersebut tidak bisa digunakan ke setiap orang. Joke fisik itu sangat tidak tepat kalau kita layangkan kepada orang yang bahkan kita tidak saling kenal secara pribadi.
Coba bayangkan ada orang asing yang melayangkan bercandaan fisik kepada anda saat pertama kali bertemu. Misal pertama masuk kerja, anda bertemu teman baru yang menghampiri anda dengan menyapa: “Hai, gendut. Selamat pagi” sambil menyengir lebar. Anda bisa bayangkan betapa malasnya berkomunikasi dengan orang yang sok asik ini.
Mungkin oknum tersebut tidak tahu, atau mungkin terlalu malas membaca situasi bahwa yang dibercandakan adalah orang yang dia tidak kenal secara pribadi. Dia tidak tahu kepribadian, emosi, latar belakang dan lingkungan sang atlit. Jelas-jelas dia bukan teman atau keluarga dari lingkungannya yang bisa dengan entengnya jadi bahan objek joke.
Lalu jika dilihat dari situasi acaranya, Bapak oknum tersebut mungkin sekedar ingin terlihat asik atau terlihat humoris. Tapi saking kebeletnya ingin ngeluarin joke, dia lupa sesaat kalau sedang berada agenda penyambutan yang dihadiri banyak orang, bahkan Menpora ikut hadir.
Seharusnya Bapak oknum tahu momen itu sedang diliput banyak media nasional. Sehingga seseorang mungkin akan lebih menjaga ucapan dan tindakannya. Wong, yang lagi asik-asik bermesraan dipojokan rumah kosong bisa viral kok, apalagi ini, didepan puluhan mata kamera yang sedang bekerja.
Semua hal bisa menjadi sesuatu yang sensitif jika dilempar ke media sosial untuk diperbincangkan.
***
Sudah melupakan keinginan untuk ikut berkomentar tentang insiden tersebut, suatu pagi saya membuka aplikasi berita dan membaca bahwa akhirnya sang atlit buka suara tentang kejadian itu. Sang atlit tidak mengambil hati dan berlapang dada menganggap itu semua hanya guyonan semata.
Mungkin sang Bapak oknum tersebut sekarang sudah menyesal dan tak mengira joke yang biasa digunakan sehari-hari dilingkungannya, bisa menjadi isu sensitif yang memancing komentar masyarakat luas.
Dari Bapak oknum tersebut saya terus ingat bahwa dijaman yang kegiatan sosialnya kebanyakan kita habiskan di dunia maya, saya suka lupa membawa tata krama yang dijaga ketat saat berinteraksi langsung di dunia nyata, kadang suka saya tanggalkan ketika berinteraksi di dunia digital. Padahal kita tahu, kalau kita jelek beretika di dunia nyata, mungkin hanya beberapa orang satu desa kita yang tahu. Itupun dari mulut kemulut. Dan kita takut dikucilkan disana. Tapi kalau kita jelek beretika dalam media sosial, bisa dalam hitungan detik, seantero negri tau aib kita.
Dari Bapak oknum tersebut saya juga belajar agar menjaga tingkah saya didunia nyata, agar tidak menjadi pergunjingan di dunia maya.